yuhana fetri

menjadi guru adalah panggilan jiwa. Menyampaikan ilmu dan mendidik adalah kewajiban setiap individu maka jalan yang paling mulus adalah berprofesi sebagai guru....

Selengkapnya
Navigasi Web
KESETIAAN IBU (BAGIAN KE-13)

KESETIAAN IBU (BAGIAN KE-13)

KESETIAAN IBU

BAGIAN KE-13

Fidel mengibas-ngibas bajunya, padahal tidak kenapa-kenapa. Debu pun enggan singgah di kemeja yang super rapi itu. Itu hanya trik Fidelmenghilangkan kegugupan. Berkali-kali ia mencoba menyusun kalimat untuk menyapa Nimas, tetapi tidak satu pun yang meluncur darii mulutnya. Fidel menarik napas, cara kuno ini sangat manjur untuk menetralisir perasaan yang galau.

“Nimas, apa kabarmu?” ucap Fidel dengan suara sedikit serak. Fidel menggigit bibirnya karena ia sendiri pun merasa aneh dengan ucapan basa-basi yang memang sudah kadaluarsa. Fidel merutuk dirinya sendiri, mengapa ia seperti pesakitan yang tengah disidang di depan umum? Mana Fidel yang sangat ahli besilat lidah sehingga jika ada orang Minang yang akan menikah di perantauan, ia yang bertindak selaku Niniak Mamak yang akan melakukan “sambah kato.”

Nimas terdongak, matanya hanya menangkap punggung Fifdel yang besandar ke kursi jok mobil dengan sedikit gelisah. Kepala laki-laki itu juga mendarat idi head rest dengan sedikit bergoyang . Ia sama sekali tidak menoleh ke belakang saat menyapa Nimas. Namun bagi Nimas hal itu sangat menguntungkannya, tentu tak tanggung-tanggung kegugupannya kalau ditatap oleh laki-laki yang dulu hampir menikahinya.

“Seperti yang kamu lihat, Bang,” jawab Nimas datar. Tiada ia bermaksud merendahkan dirinya sendiri walau kehidupannya sangat pahit. Apalagi akan curhat tentang suaminya kepada laki-laki yang hanya berjarak beberapa senti darinya itu. Menerima bantuan diantar jemput dari rumah sakit saat ini pun ia sudah sangat berrhutang budi.

“Nimas, aku unjukkan jariku yang sepuluh untuk memohon maaf kepadamu atas semua kesalahanku di masa lalu. Jika kau mau, hinalah aku sejadi-jadinya, kupantas menerimanya. Ayo Nimas, ucapkan kata makian sebagai luapan kebencian yang pernah tersimpan di dalam hatimu bertahun-tahun lamanya.” Fidel berseru hampir hilang kendali. Bekali-kali ia memukul stir dengan kasar.

“Bang, aku tidak terbiasa menyimpan dendam. Tidak ada ruang yang aku sediakan dalam bilik hatiku untuk yang namanya sakit hati. Hidupku sudah sulit, untuk apa aku menambah beban lagi memikirkan masa lalu,” jawab Nimas dengan ringan. Ia memandang anaknya yang tertidur di pangkuannya. Tangan Doni menggapai-gapai sesuatu, mungkin ia sedang bermimpi. Nimas memeluknya sedikit lebih kencang. Bayangan buruk kalau anaknya tidak tertolong, berkali-kali menjejali kalbunya.

“Jadi, Kau telah memaafkan aku, Nimas?” Fidel bertanya dengan intonasi yang sedikit ditekan. Ia ingin memastikan bahwa hutang masa lalunya telah terbayar.

“Jauh sebelum Bang Fidel datang, aku telah mencurahkan segala maaf, mungkin jauh lebih banyak dari rasa bersalahmu. Bagiku perjalanan hidup ini adalah realitas yang telah terlukis dalam kanvas takdir yang mustahil untuk diprotes. Lalu apa alasanku untuk memenjara seseorang dalam kerangkeng dendamku?” ucap Nimas sambil memandang keluar, berharap Bu haji segera datang.

“Maaf Nimas, apakah Kau bahagia dengan kehidupanmu saat ini?” tanya Fidel hati-hati. Tadi ia mendapat kabar dari Tek Ideh bahwa kehidupan Nimas jauh dari sakinah. Keadaan ekonomi yang sangat sulit, kenyamanan yang tergadai, dan hilangnya tempat bersandar.

“Bang, adakah keharusan bagimu untuk mengetahui kebahagiaan dalam keluargaku? Sungguh aku rasa, tak perlu menjawab tanyamu. Kebahagiaan terletak jauh di lubuk hati, biarlah aku dan Allah yang tahu seperti apa riak bahagia yang betahta dalam jiwa. Maaf Bang, aku tidak suka dan tidak terbiasa membeberkan segala urusan yang tidak penting,” jawab Nimas mulai tidak sabar.

Fidel kehilangan muka dan kata-kata. Ia tertohok dengan kata-kata Nimas yang bernas. Semua kalimat yang telah berhasil disusunnya ambyar seketika. Sungguh perempuan yang pernah sangat dicintainya tidak pernah berubah, selalu memesona. Debaran yang pernah menghuni hatinya, kini hadir kembali, bahkan nyaris sempurna. Sebuah perasaan yang tidak tahu diri. Di usia empat puluh tahun lebih, ternyata bagi cinta terasa masih sangat muda.

Fidel melipat tangannya di dada, seolah mencari inspirasi agar bisa mengajak Nimas untuk bicara lebih panjang dan lama. Mendengar marah perempuan itu saja sudah sangat bahagia, bagaimana mendengar tawa renyah dan melihat wajah nya yang bersemu merah? Sungguh luar biasa. Tanpa sadar Fidel tersenyum, ia akan berjuang untuk mendapatkan cinta pertamanya walau pada kesempatan yang kedua.

Belum sepenuhnya Fidel menyusun segala rencana, tiba-tiba seseorang telah berdiri di dekatnya.

“Angkat tangan!” (Bersambung)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cinta ibu adalah cinta yang tidak biasa

09 Mar
Balas

Cinta ibu adalah cinta yang tidak biasa

09 Mar
Balas



search

New Post