yuhana fetri

menjadi guru adalah panggilan jiwa. Menyampaikan ilmu dan mendidik adalah kewajiban setiap individu maka jalan yang paling mulus adalah berprofesi sebagai guru....

Selengkapnya
Navigasi Web
KESETIAAN IBU (BAGIAN KE-15)

KESETIAAN IBU (BAGIAN KE-15)

KESETIAAN IBU

Bagian 15

“Chika, hidupmu adem banget, ya, punya keluarga yang asyik, bisa jalan-jalan, ke salon dan belanja di mall. Kalau aku, jangan ke salon dan jalan-jalan, makan tiga kali sehari aja udah untung,” ucap Dina ke Chika, temannya satu kelas. Dina menatap Chika dengan sikap takjub dengan keberuntungan yang dimikliki konconya itu.

“Dina, hidup ini sekali, rugi donk kalau kita isi dengan penderitaan dan kesedihan. Dunia iakan ndah dengan tawa dan kesenangan, tapi ia akan menjadi monster yang menakutkan jika dijalani dengan tangis.” Chika menjawab ringan, sementara tangannya lincah menulis jawaban tugas akhir yang diberikan Bu Dinda dengan mencontek pekerjaan pada Dina. Beruntung Dina punya wajah dan kepintaran di atas standar, kalau tidak mana mungkin ia bisa beteman dengan si seleb itu.

“Chi, aku pernah cerita tentang keluagaku, masalah ayah yang tidak peduli dengan keadaan kami. Menurutmu bagaimana sih agar aku dan ibu terlepas dari poblem yang berkepanjangan ini?” tanya Dina serius. Wajah gadis itu diselimuti kabut kesedihan.

“Gampang banget itu, cerai aja, maksudku ibumu menggugat cerai ayahmu. Nah, Kau terlepas dari masalah yang sudah menahun itu. Din, perempuan itu menikah agar ada yang bertanggung jawab, ada yang ngasih belanja buat senang-senang, bukan sebaliknya. Bodoh banget sih, ibumu. Cari dong laki-laki lain yang bisa ngebahagiaan,” jawab Chika seperti orang yang sudah pengalam betul dalam hidup.

Dina terdongak, mata bulatnya menatap Chika tak percaya, sesederhana itukah penyelesaian kekusutan hidupnya selama ini. Mengapa ia buta bertahun-tahun ke belakang. Membiarkan diri terperangkap dalam penjara yang berterali kedunguan. Penjara yang ia dan ibu ciptakan dengan penuh kesadaran. Hari ini gadis itu memperoleh pencerahan dengan sinar yang amat terang.

“lho, kok malah bengong, kurang penjelasanku?” tanya Chika ketika ia mendapati Dina hanya tenganga mendenga penjelasannya. “Din, kau tahu berapa kali mamaku kawin cerai? Empat kali Dina, semuanya mama yang nggugat. Kau tahu apa alasannya? gegara laki mama nggak sanggup memenuhi kebutuhan mama. Nah sekarang kau lihat, kami hidup makmur walau mama nggak secara resmi menikah. Bodoh amat,mau secara resmi atau siri, yang terpenting kami bisa berpuas-puas menikmati lezatnya roti kehidupan ini.” Chika menjelaskan panjang lebar bagaimana mama dan Chika menjalani dan memaknai hidup.

“Kau mau tahu bagaimana proses penggugatan itu?” Chika menatap Dina tanpa bekedip. Ia berharap temannya dapat mencicipi dunia yang teramat menggoda . Percuma wajah cantik kalau hidup susah, pikir gadis modis itu. Lalu mereka bedua sibuk mencari informasi tentang proses menggugat suami oleh isteri di Google.

Semenjak pembicaraan dengan Chika, keinginan Dina semakin menggunung agar ibunya terbebas dari kesewenangan ayah. Jika ibu nanti menikah lagi, semoga mendapatkan laki-laki mapan yang bisa membuat ibu berharga di tengah orang banyak. Dina tersenyum, harapannya melebihi mimpi yang pernah hadir menemaninya di dalam tidur.

#YF

Dina asyik menyantap semangkok mie ayam di warung bakso Bang Sugiono. Pikirannya beberapa hari ini tidak terlepas dari rencana membujuk Nimas, ibunya agar bisa terlepas dari kesemena-menaan suaminya. Tidak mudah meminta Nimas untuk mengabulkan keinginan ini. Perempuan nan penurut itu akan punya banyak alasan mempertahankan suaminya dengan kacamata dia sendiri. Kadang secara berseloroh tetangga pun mengatakan kalau Nimas sudah kena guna-guna. Nimas hanya tersenyum kecut menanggapi tuduhan itu.

“Hai, Dina, sendiri aja?” sebuah suara mengejutkan Dina. Laki-laki sebaya ayahnya sudah duduk berhadapan dengan gadis cantik itu . Senyumnya yang khas dan ramah membuat Dina terasa lebih akrab.

“Hai om, mau makan mie juga?” balas Dina. Gadis itu berhenti menyendok makanannya. Ia meelap bibir yang sedikit belepotan. Seteguk air membuat ia lebih fres. Senyum manisnya ia hadiahkan kepada laki-laki yang sedang menatapnya

“Dina, menatap senyummu, mengingatkan Om pada seorang perempuan dua puluh tahun yang lalu. Persis, serasa Om menjadi muda lagi.” Mata laki-laki itu tampak sedikit menerawang. Seolah ia sedang menarik benang masa lalunya yang sudah kusut dan rapuh.

“Wah, Om punya kenangan masa lalu yang istimewa, ya, betapa beruntungnya perempuan itu. Ia jadi isteri Om sekarang?” Dina telihat kepo.Laki-laki itu menggeleng lemah, sesaat ia beucap kembali.

“Sayang, Om terlalu pengecut saat itu, kami tidak jadi menikah. Padahal perempuan itu adalah gadis impian Om, gadis berkerudung yang pemalu dan sangat menjaga harga dirinya. Kami tidak pernah berjalan beduaan seperti anak muda sekarang. Tidak ada surat-suratan, dapat memandang dan menyapanya sudah keberuntungan luar biasa.” Mata laki-laki yang berusia sekitarr empat puluh tahun itu berbinar indah.

“Om masih mencintainya sampai sekarang?” Dina bertanya serius. Sangat menarik kisah cinta laki-laki yang tengah bebicara dengan Dirinya itu.

“Om tidak bisa mengatakan Iya, tapi senyum indahnya dan lesung di pipinya selalu saja membuntuti Om sampai kini. Tidak tahu kapan bayangan itu akan mau menghilang dari hidup Om. Sangat aneh tapi begitu nyata menghantui setiap keadaan.

“Sudah, kamu boleh lanjutkan makannya,” kata Laki-laki itu sambil memesan mie ayam yang terkenal paling enak di kampung ini. Lalu mereka berdua sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Boleh minta nomormu, Dina?” laki-laki itu mengeluarkan benda pipih segi empat itu. Dina tersedak, ia terasa sulit menelan ludahnya sendiri. Rasa minder tidak bisa ia sembunyikan. Zaman sekarang, adakah anak muda yang tidak punya HP?

“Maaf Om, Dina tidak punya Hape,”kata Dina dengan perasan tercabik. Ia menundukkan pandangannya, terasa dia adalah gadis paling malang. Tiba-tiba kebenciannya ke ayahnya bertambah dosisnya. Mengapa laki-laki yang dipanggilnya ayah tidak sama dengan ayah yang lain? Ayah yang merasa hina jika anaknya tetinggal dengan anak sebayanya?

“Tidak punya?” tanya laki-laki itu merasa heran. Mustahil di era serba digital ini anak seusia Dina tidak memiliki barang “wajib” itu. Dina menggeleng, sebagai jawaban untuk tanya yang baru saja dilontarkan padanya.

“Mau Om belikan, Dina?” tawa laki-laki itu serius. Tidak ada sedikit pun terselip canda dari kata yang ia lontarkan. “tapi ,ada syaratnya lho,” laki-laki itu menambahkan (Bersambung)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Apa syaratnya?..he..he pandai bana Opet manggantuang carito..

12 Mar
Balas

Bikin penasaran uni, keren

26 Mar
Balas

Menarik sekai bunda, bikin penasaran. Salam kenal

12 Mar
Balas

Terima kasih, Bund, salam kenal dari saya , Yuhana Fetri

12 Mar

Ditunggu aja bun...

31 Mar
Balas



search

New Post