yuhana fetri

menjadi guru adalah panggilan jiwa. Menyampaikan ilmu dan mendidik adalah kewajiban setiap individu maka jalan yang paling mulus adalah berprofesi sebagai guru....

Selengkapnya
Navigasi Web
KESETIAAN IBU (BAGIAN KE-4)

KESETIAAN IBU (BAGIAN KE-4)

KESETIAAN IBU

BAGIAN KE-4

Nimas tergugu, sesaat dunia seakan gulita di hadapannya. Nimas meremas kain itu kuat-kuat. Seolah dengan cara itu ia bisa mengembalikan keutuhan kain yang telah rusak parah. Bayangan Bu Geni, perempuan yang merasa diri paling kaya itu akan bisa berbuat semaunya, sangat menakutkan bagi Nimas. Ucapannya yang lebih pedas dari cabe rawit itu akan berhamburan dari mulutnya. Tindakan yang akan dilakukannya tidak akan memikirkan posisi oang lain yang berada pada nilai tawar yang sangat rendah.

“Astaghfirullah!” Nimas menjatuhkan kepalanya ke lantai, segala lara dan kesempitan hatinya diadukan kepada pemilik segala makhluk. Entah mengapa tiba-tiba ia ingat kisah yang selalu diulang oleh Bapak Haji Marin, guru mengaji sewaktu ia menjelang remaja dulu.

“Anak-Anakku, ada kisah yang menjadi pelajaran besar bagi kita. Kisah tiga oang saleh yang terjebak di dalam goa. Ketika tiada satu pun usaha yang bisa mereka lakukan untuk keluar dari tempat maut itu, lalu masing-masing mereka bedo’a dengan menyebutkan amal saleh yang pernah mereka lakukan. Dengan doa seperti itu, akhirnya Allah mengeluarkan mereka dari tempat yang mengerikan itu.” Suara Pak haji seolah-olah dekat dan nyata.

Seperti mendapat kekuatan, Nimas bersegera bewudhu, ia akan memasrahkan segala keadaannya dengan segenap jiwanya. Hanya Dia yang mempunyai daya dan upaya.

“Wahai Allah, inilah aku, hamba-Mu yang dhoif, setiap waktu selalu menadahkan tangan ke hadapan-Mu. Jika saja ketaatanku kepada suamiku bernilai ikhlas di hadapan-Mu, maka tunjukkan aku jalan keluar terhadap masalahku saat ini. Tiada satu pun jalan yang dapat aku tempuh, selain Engkau yang menunjukinya. Tiada terang yang akan kupandangi, selain dari cahaya yang akan Kau pancarkan. Wahai pemilik jiwa, berikan kelapangan hati bagiku dan bagi Bu Geni, karena kecerobohanku, masalah ini terjadi. Aku mohon dengan segenap hatiku, wahai Allah, berikan ketenangan kepadaku dan jangan biarkan lara bersemayam di sukmaku.” Nimas menghiba ke hadapan Allah, di atas sajadahnya.

Entah berapa banyak air mata yang tumpah, Nimas tiada peduli, ia berulangkali menyebut doa yang sama, agar Allah berikan penyelesaian dari kekusutan masalahnya. Matanya terpejam, kepedihan hati perlahan luruh. Nimas tidak mendengar lagi dentingan jam pada pukul dua dinihari. Ia terlelap dalam dekapan kasih-sayang-Nya dalam kekhusukan doa-doa yang ia bisikan.

#YF

Nimas terpana dengan pemandangan di sekelilingnya. Istana berwarna hijau dan bebatuan putih menyilaukan. Sungai dengan air berwarna-warni membuat Nimas melongo. Kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Buah ranum serupa anggur, apel dan banyak lagi yang ia tidak pernah kenal dengan namanya, merunduk hampir menyentuh tanah.

“Apakah ini surga?” Nimas betanya kepada dirinya sendiri.

Orang yang lalu lalang melemparkan senyum kepadanya dengan sangat ramah. Nimas terpaku di tempatnya, ia bingung mengapa berada di lokasi yang tiada pernah terbayangkan sebelumnya.

“Bu, tuan kami ingin bertemu dengan Ibu,” suara yang sangat merdu dengan mata bak mentari pagi, hangat menyilaukan, tiba-tiba berada di depan Nimas. Perempuan empat puluhan itu ternganga, siapa yang akan berjumpa dengannya di tempat maha megah ini?

“Kalau boleh tahu, siapakah tuan Anda?” tanya Nimas memberanikan diri bertanya dengan putri yang hanya bejarak beberapa depa dari ia bediri.

“Tuan kami bernama Muthiah, pernahkah Ibu mendengar namanya?” gadis itu tersenyum, kilauan mutiara tersembul dari balik bibir indah, merah seperti delima.

Nimas terdiam, sekuat kemampuannya ia mencoba menelusuri setiap lorong di memorinya, jika ada satu di antaranya terekam nama Muthiah. Perempuan itu kemudian tesenyum, bukankah Muthiah seoang muslimah yang sangat dikaguminya, termasuk perempuan yang lebih awal masuk surga karena ketaatannya kepada suaminya? Nimas yakin pastilah perempuan itu yang dimaksudkan.

Kereta kencana dengan ukiran dindingnya serupa terbuat dari cahaya, berhenti persis di depan Nimas. Seorang perempuan dan dayang-dayang turun dari kereta dengan keanggunan yang luar biasa, bejalan ke arah Nimas. Nimas menahan napas, tiada yang dapat diperbuatnya pada detik yang sangat menegangkan itu.

“Muthiah,” perempuan bak bidadari itu menyebut namanya. Tangannya terulur, senyumnya menghias wajah yang serupa bulan purnama.

Nimas menyambut tangan indah itu, ia pun menyebut namanya, hampir tiada terdengar. Nimas mengumpulkan keberaniaannya untuk betanya, mengapa Muthiah mengenalnya. Wanita yang bernama Muthiah itu tersenyum, bibirnya mulai bergerak...(Bersambung)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren...

28 Feb
Balas

Kusetia disaat yang tepat, hehehe

01 Mar

Hmmm, Nimas! mengapa kau pilih jalan yang jarang di lewati orang? kesetiaan yang tiada ujung

26 Feb
Balas

Keren say... Lanjutkan. Bagaiman kisah Nimas selanjutnya.

26 Feb
Balas

OK, Insya Allah, bund

26 Feb

Keren sekaliii...

26 Feb
Balas

Uniku!

01 Mar



search

New Post