yuhana fetri

menjadi guru adalah panggilan jiwa. Menyampaikan ilmu dan mendidik adalah kewajiban setiap individu maka jalan yang paling mulus adalah berprofesi sebagai guru....

Selengkapnya
Navigasi Web
KESETIAAN IBU (Bagian ke-6)

KESETIAAN IBU (Bagian ke-6)

KESETIAAN IBU

Bagian ke-6

“Bu Geni, sungguh mulia hati Ibu!” kata Bu Haji tersenyum memandang perempuan yang telah berdandan cantik itu dengan setulus hatinya. Mata Bu Haji berbinar, senyum manisnya terbit demikian alami dari kebeningan jiwanya hingga mampu menarik bibirnya dengan sempurna.

“Itu mah biasa aja, Bu, nggak usah dibesar-besarkan,” balas Bu Geni sambil melirik kepada Nimas. “kalau begitu, saya permisi dulu, oh, ya, ini untuk belanja anakmu, Nimas,” ucap Bu Geni, tangannya mengangsurkan selembar uang kertas berwarna merah. Bu geni membuka dompetnya lebar-lebar, seakan ingin memperlihatkan bahwa ia punya lembaran kertas berharga itu demikian banyak.

Bergetar tangan Nimas menerima uang tersebut. Ia tak kuasa menatap manik mata perempuan aneh yang berada di hadapannya itu. Nimas mengucapkan terima kasih dengan suara parau.,Nimas tampak sungkan. Jauh di lubuk hati Nimas ada sebuah bisikan, bahwa ini bukanlah keikhlasan. Akan tetapi apa kuasanya menilai niat seseorang? bukankah amal itu adalah tanggung jawab masing-masing?

Nimas termenung dengan kejadian luar biasa yang dihadapinya. Hampir tidak pecaya, Bu Geni dalam sekejap bisa berubah sikap. Nimas memang pernah mendengar bahwa Bu Geni selalu ingin tampil lebih di banding Bu Haji. Bukan tanpa alasan, begitu banyak peristiwa yang mengarah kepada pembenaran pernataan tersebut. Pernah kejadian beberapa bulan yang lalu saat panitia masjid mengumpulkan dana untuk perbaikan tempat wudu, mereka menyambangi Bu Geni agar bisa berdonasi. Akan tetapi justru Bu Geni menceritakan banyaknya tagihan yang harus dibayarnya. Mulai dari cicilan mobil sampai kepada biaya kuliah dan belanja anaknya. Kesimpulannya, ia tidak ada uang untuk menyumbang.

Dua hari setelah kejadian itu, Bu Geni mendapat info bahwa Bu Haji menyumbang 20 sak semen. Betapa geramnya perempuan yang tidak mau dikalahkan siapa pun termasuk Bu Haji, ia mendatangi panitia dan langsung menyerahkan uang dua juta rupiah. Berkali-kali Bu Geni bepesan bahwa namanya dituliskan paling atas di daftar para penyumbang. Waktu jumatan, juga diumumkan kepada jamaah. Alasan Bu Geni agar menjadi pemicu bagi yang lain untuk beramal seperti yang ia lakukan. Ah, entahlah, Bu Geni demikian pandai dalam meajut kata.

Banyak lagi kisah serupa yang didengar oleh Nimas. Akan tetapi Bu Haji tidak pernah mau menceritakan tentang sikap dan tindak Bu Geni yang ingin lebih dari siapa pun. Bu Haji terlalu bersih untuk membicarakan hal-hal yang tiada manfaatnya.

“Nimas!” panggil Bu Haji, tangan perempuan paruh baya itu memainkan perca kain yang kelihatan baru digunting Nimas.

“Ya, Bu Haji,” jawab Nimas sambil mengubah posisi duduknya menghadap lurus kepada Bu Haji yang sangat diseganinya. Nimas menunggu kalimat yang akan disampaikan perempuan yang baik hati itu.Melihat dari tanda-tandanya, Bu haji ingin membicarakan sesuatu dengan serius.

“Saya sangat paham dengan sikapmu terhadap keluargamu. Kau ingin berbakti kepada suami, dengan harapan memperoleh ridanya. Tidak inginkah Kau memasuki surga besama suami dan anak-anakmu?” tanya Bu Haji, kali ini tanpa senyum.

“Bu, siapa yang tidak mau memperoleh nikmat itu, sungguh siang dan malam saya bedoa agar Allah sampaikan niat itu,” jawab Nimas, matanya mulai berembun. Sikap suaminya yang sudah bertahun-tahun seperti itu kadang memancing air di matanya. Sesak di dada yang ia tahan, ketika ia begitu lelah dalam mencukupi kebutuhan keluarganya, padahal ia punya suami yang sehausnya memikul tanggung jawab besar itu.

“Jika kau tetap membiarkan suamimu tidak betanggung jawab terhadap keluarga ini, zalim kepadamu dan anak-anak, mungkinkah cita-citamu tewujud?” tanya Bu Haji menukik.

“Bu, apa yang harus saya lakukan, saya tidak berani membicarakan hal itu dengan Ayahnya Dina!” jawab Nimas sambill menahan gemuruh di dadanya.

“Nimas, jika kau membiarkan keadaan ini, selamanya suamimu tiada akan paham dan tahu tanggung jawabnya. Jangan-jangan di akhirat nanti, kau dituntut karena melakukan pembiaran. Bicarakan dengannya baik-baik tanpa tersulut emosi. Ingat, anak-anakmu perlu keteladanan darii Ayahnya dan juga butuh biaya besar dalam menuntaskan pendidikannya.” Sangat jelas dan jernih suara Bu Haji.

“Entahlah Bu, saya tidak yakin bisa melakukannya,” ujar Nimas pasrrah.

“Nimas, kau harus mencobanya demi kebaikan keluarga kalian ke depan. Saya tidak menjamin bahwa selamanyanya Kau bisa bertahan. Jangan biarkan masalah ini tiada penyelesaiannya. Saya tidak menyuruhmu durhaka, tetapi memintamu bepikir untuk menyelamatkan keluargamu,” jelas Bu Haji tegas.

Nimas termenung, apa yang dikatakan Bu haji adalah benar. Sekuat apa pun dia, kadang di tengah malam air matanya luruh di dalam sujudnya, ia mengadukan segala laranya kepada Allah. Dia tempat ia membagi segala cerita luka yang ia alami betahun-tahun. Tiada yang lain, termasuk suaminya sendiri

“Nimas, satu lagi yang ingin saya ingatkan, dulu Kau adalah satu di antara dua kembang di kampung ini. Kini seolah sirna. Rawatlah dirimu dan tunjukkan kepada suamimu bahwa kau masih layak untuk diperhatikan,” ujar Bu Haji.

Nimas mendongak, ia seakan baru tersadar bahwa selama ini ia sibuk memikirkan anak dan suaminya dan lupa mengurus dirinya sendiri. Kadang ia hanya menggulung rambutnya tanpa menyisir. Bedak dan sedikit lipstik? jauh dari dirinya.

“Terima kasih nasihat Bu Haji, saya akan berusaha sekuat kemampuan saya melaksanakan saran Ibu,” suara Nimas dengan tergagap.

“Sudah, ini ada sedikit makanan untukmu, salinlah rantang ini!” perintah Bu Haji. Nimas menerima bawaan Bu haji dan menyalinnya di dapur. Hati perempuan itu dipenuhi syukur. Tiada ia menyangka akan diberikan karunia berlipat pagi ini.

#YF

Alwi, suami Nimas terbangun, ia mencium aroma sambal dari tudung saji. Hidungnya dibelai-belai oleh bau sedap ang menguar. Ada kebahagiaandan harapan bahwa pagi ini akan menikmati menu yang beda dari hari sebelumnya.

“Kau masak apa Nimas?” tanyanya pada perempuan yang sibuk menjahit.

“Nggak, Bang, tadi Bu Haji ngasih sambal, ikan gurami,” jawab Nimas.

“Ikan? Selain itu apa lagi? aku mana suka ikan!” kata Alwi sambil duduk di kursi beberapa meter dari Nimas.

“Ikan, nasi dan sayur, Bang!” Nimas tidak mengalihkan pandangannya dari kain yang sedang ia gunting.

“kau masak lagilah untukku, bisa mual perutku makan ikan,” peintah Alwi pada isterinya itu

“Ya. Bang,” jawab Nimas. Kepala Nimas pusing memikirkan apa yang akan di buatnya pagi ini. Beruntung Bu Geni memberinya uang, jika tidak, ia akan menghutang lagi di kedai Tek Ideh. Terbit dalam ingatannya untuk membuat mie instan dan telur ceplok. Disamping biaya murah membuatnya pun tidak memakan waktu yang lama.

“Nimas, jangan sampai kau buat pula mie, perutku sudak kembung karena bumbunya. Telur pun sudah bosan aku memakannya.” Kalimat yang baru didengar Nimas, membuat matanya bekunang-kunang. Tiada sedikitpun ide yang muncul dari pikirannya. Semua perempuan tahu, memikikan sambal tekadang lebih sulit dari menjawab soal yang tingkat kesukarannya di atas rata-rata.

“Kok masih diam di situ, tidak mau lagi mendengar kata suami, sudah pandai melawan?” pekik suaminya. Matanya melotot, sedikit pun ia tidak memahami bagaimana perasaan isterinya. (bersambung)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Semoga bisa menghibur

02 Mar
Balas



search

New Post