yuhana fetri

menjadi guru adalah panggilan jiwa. Menyampaikan ilmu dan mendidik adalah kewajiban setiap individu maka jalan yang paling mulus adalah berprofesi sebagai guru....

Selengkapnya
Navigasi Web
KESETIAAN IBU ( BAGIAN KE-8)

KESETIAAN IBU ( BAGIAN KE-8)

Bagian 8

Dina mempercepat langkah. Matanya mengawasi rumahnya yang bercat biru yang sudah memudar. Beberapa bagian cat mengelupas dimakan usia. Sejak petama rumah ini dibangun, tidak pernah direnovasi. Kunsen pintu pun telihat sudah mulai digeranyang rayap dan kaca-kaca pada jendela juga ikut buram.

Bunga-bunga dengan berbagai warna menghiasi bagian halaman. Tangan terampil Nimas merawat bunga itu dengan penuh kasih saang. Bunga inilah yang menjadikan rumah ini masih bercahaya.

Jam sepagi ini ayahnya biasa belum bangun. Dina berharap kenyataan yang ia temui sesuai dengan prediksinya. Betapa terkejutnya gadis manis itu, di beranda laki-laki yang hanya menjadi pemicuh emosinya di rumah ini telah duduk bersandar di bangku kayu. Dina terkesiap, bagaimana pun ia sadar ayahnya sangat melarang tidur bertandang ke rumah siapa pun. Kini dia telah melanggarnya, maka konfrontasi mungkin tidak akan bisa dihindari.

Dina melangkah lambat-lambat, ia memutar jalan ke belakang, mudah-mudahan ibu sedang di dapur, pikir gadis itu. Dadanya sedikit berdebar, ia menahan napasnya agar ayahnya tidak mencium kehadirannya. Dina mengendap-endap, matanya tetap mengawasi ayah yang begitu menikmati kopi buatan ibu.

“Kakak!” pekikan Doni, adiknya yang berusia tiga tahun mengejutkan Dina. Dina terpeleset , kakinya menginjak kulit pisang yang serampangan saja dibuang adiknya. Dina jatuh. Ayah tersedak, laki-laki itu reflek berdiri. Ia memandang ke sumber suara. Sementara Dina meringis, kakinya terantuk batu. Darah terlihat merembes daribu jari kakinya. Akan tetapi ayah tiada sedikit oun bersimpati.

“Dina, sini!” panggil ayah dengan aroma kemarahan begitu nyata dari intonasinya. Mata laki-laki itu kelihatan melotot. Badannya ditegakkan. Kedua tangannya bertelekan kuat ke pinggangnya. Tampilan Alwi pagi ini sangat cocok memerankan sang tukang pukul dalam menagih hutang di film-film Indonesia

Dina melangkah sedikit pincang, ia balik ke arah ayahnya. Sambil menunduk, ia berjalan mendekati laki-laki yang dipanggilnya dengan sapaan ayah. Ia memejamkan mata, tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi beberapa saat lagi.

“Dina, dari mana saja kau?” hardik Alwi. Dina terdongak, ucapan kasar ayahnya membangkitkan perlawanan sebagai wujud kebencian yang ia peram bertahun lamanya.

“Nggak usah nanya, kan ibu sudah memberi tahu,”jawab Dina dengan tatapan menantang.

“Aku sudah bilang berkali-kali bahwa tidak ada ceritanya meninggalkan rumah ini untuk bermalam di tempat orang dengan alasan apapun! Kau tak ingat?” ucap Ayah dengan suara menggelegar.

“Aku ingat, tapi rumah ini tidak memberi kenyaman padaku, Ayah! di rumah ini aku selalu menonton potret yang terus berulang tentang penindasan terhadap perempuan yang tidak berdaya. Memikul beban yang tidak seharusnya terletak di pundaknya. Menyembunyikan tangis dan kesedihannya dari orang yang ia cintai. Lalu ia kuatkan dirinya atas nama pengabdian dan kesetiaan. Aku tidak sanggup dua puluh empat jam menyaksikannya. Apakah salah jika akumengentengkan pikiranku dengan sesekali bermalam di rumah temanku,” balas Dina berapi-api

“Anak kurang ajar! Berani sekali kau menjawab kata Ayahmu! Kau hanya anak yang tidak mengerti apa pun. Masih belum cukup umur, sudah pandai menantang orang tua sendiri. Belajar dari mana, Ha?” alwi terlihat tidak sabar.

“Ayah yang mengajariku! Setiap saat Ayah hanya pandai membentak ibuku, padahal ibu telah melayani segala keperluan Ayah. Namun apa yang Ayah berikan kepada ibu selain penderitaannya yang selalu bertambah? Jika hari ini aku melawan kepada Ayah, itu semata-mata karena perbuatan Ayah sendiri. Kelak jangan salahkan aku jika panggilan ayah hanya tinggal kenangann,” balas Dina semakin tidak terkendali. Dina melenggang ke dalam rumah tanpa perasaan.

Alwi, suami Nimas itu kalap, badannya menggigil, napasnya sesak, berkali-kali ia mengepalkan tangannya untuk meninju dinding atau meja yang dekat dengannya sebagai sasaran kemarahannya. Mata Alwi menangkap bayangan piring tadah gelas minumannya. Secepat kilat ia menjangkau piring itu dan melemparkan ke arah putrinya yang sedang berjalan menuju kamarnya.

“Praggg,” suara piring terdengar sangat keras ketika bersentuhan dengan lantai. Dina lincah menghindar. Piring itu tidak mendarat di tubuhnya. Saat yang bersamaan Nimas muncul di pintu. Ia tidak menyangka suaminya setega itu. Kemarahannya memuncak, darahnya naik ke ubun-ubun. Badan perempuan itu menggil. Ia menahan perasaan marah yang telah melampaui kemampuannya bertahan. Perlahan ia memandang sekelilingnya dengan nanar. Ia tidak bisa melihat apa pun. Kakinya pun tak kuasa menahan berat tubuhnya. Tiba-tiba Nimas ambruk.

“Ibuuuu! Toloooong!” Dina berlari kencang ke arah ibunya. Suaranya memanggil ibu dan minta tolong sekuat yang ia bisa. Doni berlari ke bawah meja, ketakutan yang beruntun menyebabkan ia tidak tahu akan ke mana. Doni memegang bajunya kuat-kuat, ia tidak paham apa yang telah terjadi. Ayah Dina hanya mematung, tiada tahu apa yang akan dilakukan.

Tek Ideh dan Fidel yang sedang melamunkan Nimas terkesiap. Teriakan yang membahana menyebabkan mereka serentak berlari ke rumah Nimas. Tek Ideh tak sempat lagi memasang sendalnya. Dengan bertelanjang kaki ia berlari saling mendahului dengan Fidel. Ia membiarkan saja pintu kedainya terbuka. Dari arah selatan, Bu Haji dan beberapa penduduk juga tergopoh-gopoh ke arah rumah Nimas.

Tek Ideh mendorong pintu kasar. Ia terkejut, mendaptkan Nimas yang ditangisi oleh anak gadisnya. Berkali-kali Dina mengguncang tubuh ibunya, tapi tiada sedikit pun tanda bahwa perempuan yang disayangnya itu akan menyahuti.

Fidel masuk, ia mendapati wajah yang pias. Betapa tak sampai hati Fidel memandang wajah yang telah lelah menapaki hidup. Kulit wajah yang dulu putih berseri, kini kusam tak terurus. Badan yang padat berisi telah berganti dengan bodi yang kurus-kering. Fidel meneteskan air mata demi melihat apa yanga ada di hadapannya.

Ingatan Fidel terbang ke masa sekitar dua puluh tahun yang lalu. Nimas adalah salah satu kembang di desa ini. Ia jadi rebutan bukan hanya karena wajahnya yang putih bersih, tapi lebih karena perangainya yang indah menyenangkan. Tiada ia akan dijumpai di tempat keramaian lancar tancap, tontonan terpopuler di masa itu. Tiada memilih dalam berteman karena status sosial, di hadapannya semua temannya bernilai sama. Gadis yang pintar tapi pemalu. Tiada suka ia menonjolkan kelebihan dirinya sendiri dan bukan lah sifatnya menjatuhkan teman. Fidel tergila-gila kepadanya. Tak bosan Fidel menunggunya di ujung jalan, lalu menyapanya dengan suara seindah mungkin. Nimas membalas dengan sopan, memerah mukanya menahan malu. Pemandangan yang sangat eksotis dan ditunggu-tunggu oleh laki-laki itu.

Kini di hadapannya, tiada lagi wajah ayu, putih kemerah-merahan, yang tersisa adalah wajah yang tampak menua dengan beberapa flek yang mendominasi.

“Fidel! Kenapa Kau terpana saja, ayo kita angkat Nimas dan bawa ke rumah sakit!” teriakan Tek Ideh mengebalikan ingatan Fidel pada kenyataan hari ini. Tangan Fidel bergetar, tiada sanggup ia menyentuh perempuan yang berada di hadapannya.

“Tek Ideh, saya menjemput mobil, tolong yang lain mengangkat Nimas,” ujar Fidel sambil berlalu. Dina memeluk ibunya dengan kuat. Air matanya semakin deras menghujan. Ia tidak dapat bayangkan seandainya ibu pegi meninggalkan ia dan Doni. Kepada siapa akan mengadu? Tiada sanak atau pun saudara dekat tempat bebagi.

“Dina, lepaslah ibumu, biar bisa diangkat ke mobil. Berdoa lah agar segalanya baik-baik saja,” bisik Bu haji lembut. Dina melepas ibunya, ia beralih memeluk Bu haji.

“Bu, ada apa dengan ibuku? Apakah beliau akan sehat kembali dan berkumpul lagi bersama kami?” tanya Dina di antara isaknya.

“Dina, berhentilah menangis, biaya ibumu berobat, aku yang akan menanggung,” kata Bu Geni yang sudah hadir saja di tempat itu. Bu Haji memaksakan senyum kepada Bu Geni.

Beberapa tetangga mengangkat tubuh ringkih Nimas, sementara Fidel hanya memandang dengan gugup. (Bersambung)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Lanjut say. Keren

04 Mar
Balas

Bund, tantangan yang indah

04 Mar

Bund, tantangan yang indah

04 Mar

Mantab cerpennya bu. Salam sukses

04 Mar
Balas

menunggu episode berikutnyaizin follow

04 Mar
Balas

Terima kasih ya Bun

04 Mar

Terima kasih ya Bun

04 Mar

Terima kasih ya Bun

04 Mar



search

New Post