yuhana fetri

menjadi guru adalah panggilan jiwa. Menyampaikan ilmu dan mendidik adalah kewajiban setiap individu maka jalan yang paling mulus adalah berprofesi sebagai guru....

Selengkapnya
Navigasi Web
KESETIAAN IBU (BAGIAN KE-9)

KESETIAAN IBU (BAGIAN KE-9)

KESETIAAN IBU

BAGIAN KE- 9

Tangis Dina masih terdengar, ada kepiluan dari warna suaranya. Badannya terguncang merefleksikan hatinya yang hancur. Ia tidak habis pikir, mengapa keluarganya sangat bebeda dengan teman-temannya di sekolah. Keluarga mereka harmonis karena masing-masing anggota melaksanakan kewajibannya.

Dina tidak pula berharap Ayahnya seorang pegawai, seperti Papa Desi, seoang guru yang setiap bulan menerima gaji dengan jumlah yang sangat banyak menurut Dina. Cukuplah ayahnya seperti Bapak Santi, setiap hari pergi ke ladang, sorenya mereka bekumpul dan makan malam bersama dengan lahap. Jika Santi menginginkan sesuatu, ada panen yang akan mereka tunggu. Namun ayahnya? Dalam situasi apa pun ia tidak mau tahu.

Wajah Ibunya yang memucat dengan mata terpejam membuat Dina sangat takut kehilangan. Dina bersegera mengikuti langkah bu Haji yang tergesa. Dina tidak lagi ingat akan adiknya yang menangis ketakutan di bawah meja sambil meremas-remas bajunya serta menghentakkan kaki. Bocah itu tidak paham apa yang dialami ibunya, tapi hati beningnya memberi signal bahwa ibu sedang dalam bahaya.

“Bu Haji, ibu mau di bawah ke mana?” Dina menatap Bu Haji nelangsa. Tangannya kuat menggenggam tangan perempuan paruh baya itu. Dina menyangka ibunya hanya diperiksa oleh Bu Bidan yang berada di kampung meeka. Biasanya jika ia dan adiknya sakit, paling banter hanya di bawa ke polindes.

“Rumah sakit, Din, biar pemeriksaan ibu lebih baik, sebab peralatan di rumah sakit jauh lebih lengkap. Dina tentu pahamkan?” jawab Bu Haji tersenyum. Wanita itu begitu kasihan kepada remaja menjelang tujuh belas tahun itu. Bu Haji seolah merasakan kegetiran yang dialami oleh Dina, putrinya Nimas.

“Pokoknya yang terbaik untuk ibu, Dina tidak mau ibu kenapa-kenapa,” balas Dina. Ia terisak lagi, bayangan buruk tentang kehilangan ibu bekali-kali mengusik jiwanya. Ia tidak akan pernah sanggup melewati hari tanpa ibu. Ingatannya memawa ia pada luka sahabatnya yang ditinggalkan ibunya, begitu mendalam penderitaan dan sangat berat hari yang dilalui tanpa ibu.

“Berdoalah untuk ibumu, mudah-mudahan beliau sehat kembali.” Bu Haji mengingatkan agar Dina menggantungkan segala harapan hanya kepada Sang Pengatur kehidupan ini. Agar gadis itu kuat dan tidak memenuhi netranya dengan bulir air yang menghujan.

“Pintunya kurang kuat Bu, buka dan tutup kembali!,” kata sopir saat Bu Haji dan Dina naik dan duduk di mobil. Bu Haji tidak terbiasa menutup pintu dengan membantingnya. Terasa kurang nyaman dan sopan. Terkadang pemilik mobil pun kurang bekenan, saat pintu mobilnya dihempaskan kuat. Terbayang begitu susahnya mengumpulkan uang untuk membeli benda beroda itu. Akan tetapi karena sopir yang menyuruh, Bu Haji melakukan sesuai perintah.

Sopir yang menggunakan kaca mata hitam itu menyalakan lampu jauh dan mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Dina yang biasanya selalu mual setiap naik mobil, tapi kali ini perutnya berdamai dengan keadaan. Mungkin karena ia terfokus hanya kepada perempuan yang masih diam dengan nafas yang naik turun. Pikiran Dina benar-benar tecurah habis kepada sang bunda. Tiap sebentar Dina mencium wanita terkasih itu, di saat yang sama air mata bertambah derainya.

#YF

Sementara itu di rumah, Alwi duduk terperanyak di kursi dekat jendela kamar. Ia sangat bingung dan frustasi. Kenapa isterinya di bawah kerumah sakit? dari mana biaya? Apakah akan ada acara amal untuk mengumpulkan donasi? kadang orang hanya mengambill keputusan tanpa mempertimbangkan keadaan orang lain. Laki-laki itu mengusap rambutnya dengan kasar. Hatinya bertambah panas, ia teringat kejadian ini gara-gara Dina, anak gadisnya yang pembangkang.

Alwi memegang dadanya yang kian sesak. Tengkuknya seolah ditindih beban dengan massa yang sangat besar. Bekali-kali ia memegang dan memijiti tenguknya itu, tapi rasa pegal yang berlebih itu tiada mau menyingkir. Badannya tiba-tiba merasa lemas, ia seolah mau berteriak sekuat yang ia mampu, agar dada dan hatinya terasa lapang.

Tadi saat isterinya pingsan dan Dina berteiak, orang-orang mulai berdatangan , Alwi sengaja menghindar karena ia tahu ujung-ujungnya pasti akan di bawa ke rumah sakit. Bagaimana ia harus menjawab ketika orang meminta biaya pengobatan. Di Kantongnya hanya ada uang lima ribu, semalam ia memintanya kepada Nimas.

Alwi memejamkan matanya, dadanya bertambah sesak, ia tidak bisa menerima takdir ini. Berkali-kali ia meninju dinding sebagai pelampiasan gemuruh di dadanya. Sakit di tangannya tidak ia rasakan, walau tampat lecet saat besinggungan kasar dengan tembok.

Alwi tersandar ke tempat tidur, energinya tersedot oleh kemarahan yang memuncak. Sorot mata tidak lagi segarang yang tadi, kini perlahan meredup. Ia merebahkan badan kekarnya di lantai, berharap beban pikiannya menyusut. Berkali-kali mencoba memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan kasar. Namun kekalutannya enggan meninggalkan lelaki yang telah bertahun-tahun menggantungkan hidupnya pada kemalasan.

Di teras Doni menangis merauang. Tangan mungilnya mengucek-gucek mata yang terus berair. Ia tidak paham apa yang sebenarnya tejadi. Tiba-tiba ibu terdiam dan orang-oang bedatangan, lalu pergi menggotong ibu. Kini rumah senyap kembali, entah kemana mereka membawa ibu. Mengapa tidak mengajaknya? Kak Dina pun melupakan adik tersayang.

Doni berlari keluar, berharap bertemu dengan senyum ibu dan membujuknya agar jangan menangis. lalu membelikan permen di kedai depan, kedai Tek Ideh. Akan tetapi Doni hanya mendapati bunga mawar yang terpaku, kaktus yang membisu dan anggrek yang seolah menatapnya sendu. Tiada sedikit kegembiraan mereka seperti saat disiram ibu.

Doni berlari lebih kencang , ia melintas jalan menuju kedai Tek Ideh. Biasanya ibu ia dapati di sana, membeli segala kebutuhan mereka . Kopi dan gula untuk ayahnya sesuatu yang tidak boleh tertinggal, belanjaan ibunya yang paling wajib.

Doni tidak sempat lagi menoleh ke kiri dan kanan seperti perintah ibu ketika mereka menyebrang bersama. Kaki kecilnya beranjak cepat, ia tidak sadar sebuah motor dengan kecepatan sedangi tiba-tiba melesat dihadapanaya. Pengandara gugup, ia membelokkan sedikit stang motor menghindari tabrakan. Sayang, usahanya tidak sepenuhnya behasil, bocah tiga tahun itu terkapar karena terserempet motor.

Pengendra motor itu kabur, ia menggas motornya lebih kuat lagi. Motor bagai tak bejejak di aspal. Hanya hitungan detik, motor itu menghilang dari pandangan. Orang-orang berteriak, mereka berlarian mendapatkan bocah malang itu. Ibu-ibu menangis tidak tega mendengar erangan si bocah. Baru beberapa saat yang lalu ibunya di bawa ke rumah sakit, kini anak laki-laki yang baru berusia tiga tahun akan berhadapan pula dengan petugas beseragam serba putih.

Beberapa pemuda mengejar motor, sedang yang lainnya mengurus Doni. Darah mengucur dari kepalanya, ia terisak memanggil-manggil ibunya.

“Ibu, Ibu, dimana Ibu? Kepala Doni sakit!” pekik Doni

“Doni, sabar, Nak, kita cari ibu, ya, jangan menangis,” kata Pak Jorong sambil mengangkat tubuh mungil itu sedikit gugup. Pak jorong teringat anaknya kecelakaan setahun yang lalu.

“Pak, ibu mana? Ibuuuuuu,” tangis Doni bertambah keras.

Masyarakat semakin banyak berdatangan. Masing-masing mencoba untuk menghibur anak laki-laki itu. Berbagai bujukan dan janji di umbar didepannya. Bahkan ada yang menawarkan makanan dan mainan. Namun Doni tidak tertarik sama sekali. Ia hanya ingin di dekat ibu, dipeluk dan kepalanya dielus.

“Pak Jorong, bagaimana keadaan Doni?” tanya Tek Ideh khawatir, ia tadi di dapur saat kejadian, baru tahu beritanya beberapa detik yang lalu. Tek Ideh mempebaiki kerudungnya dan mengusap air yang merembes dari sudut matanya dengan kain berenda itu.

“kepalanya terbentur aspal, lihat darah yang mengucur,lukanya agak dalam, tapi Alhamdulillah tidak pingsan. Sepertinya Doni hanya terserempet motor,” jelas Pak Jorong. Ia membopong Doni ke tempat yang berteduh.

Pak sudir mencoba mengurai keramaian agar Doni tidak betambah panik. Sementara yang lain mengumpat pengendara yang menyerempet Doni yang telah melarikan diri. Apakah ia akan yakin setelah melepaskan diri dari tanggung jawab, hidupnya akan nyaman?

Seorang laki-laki bertubuh agak kurus, menyetop mobil mohon batuan agar bisa membawa Doni. Setiap mobil yang lewat, ada saja alasan untuk penolakaannya. Ada yang beralasan mengantar anak sekolah, ada janjian atau terburu-buru karena ibu mereka yang sedang sakit.

“Pak Jorong, kita bawa aja pakai motor!” tawar Sudir karena tidak ada mobiil yang besedia membawa anak malang ini.

“Baik Pak Sudir, Doni harus mendapat perawatan segera!” jawab Pak Jorong. Sudir hampir berlari menjemput motor di rumahnya . Setiap tanya yang dilontarkan terkait Doni, Sudir menjanjikan menjawabnya nanti. Kadang ibu-ibu memaksanya untuk menjawab sesuai yang diketahui Sudir.

Dari jauh terlihat Fortuner yang berjalan melambat. Orang-orang berharap banyak, agar sopirnya bersedia membawa Doni ke rumah sakit.

“Kenapa, Pak?” tanya sopir ke beberapa orang yang masih berkumpul. Sopir yang beusia sekitar enam puluh tahun itu melongokkan kepalanya ke jendela mobil.

“Kecelakaan,Pak, anak itu diserempet motor,” salah seorang masarakat menjawab.

“Boleh kami minta tolong, Pak? Mohon bawa anak ini kerumah sakit,” pinta salah satu warga. Sopir memandang isterinya, ia minta pertimbangan dan sekaligus persetujuan. Isterinya memandang keluar, ia mendapati bocah yang tersedu, darah yang masih menetes membuat perempuan menjelang enampuluh tahun itu tersentuh.

“Pak, nggak apa-apa, ayo kita bantu bocah ini!” kata sang isteri. Ia turun dari mobil, bermakud membantu untuk membukakan pintu . Ternyata suaminya telah terlebih dahulu memegang gagangan pintu mobil. Pasangan suami isteri itu memandang dengan sangat lekat ke bocah yang dirundung malang itu. Entah mengapa, keduanya sama-sama terkejut, ia seolah merasa pernah mengenal bocah itu. Hidung mancung dan sorot mata itu seakan begitu dekat dengan mereka. Apakah hanya perasaan saja? Entahlah (Bersambung)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post