yuhana fetri

menjadi guru adalah panggilan jiwa. Menyampaikan ilmu dan mendidik adalah kewajiban setiap individu maka jalan yang paling mulus adalah berprofesi sebagai guru....

Selengkapnya
Navigasi Web
LARA DALAM PENANTIAN

LARA DALAM PENANTIAN

LARA DALAM PENANTIAN

Episode ke-16

Arfan berkali-kali mengontak Devinta, nihil. Ia tidak bisa dihubungi. Kemarahan Arfan telah menyatu dengan kebencian. Apa yang akan dilakukannya? Foto yang dikirim Devinta telah sangat jelas, hubungan mereka tidak mungkin diperbaiki lagi. Namun dia laki-laki, tidak akan begitu saja meninggalkan isterinya di tengah jalan.

Laki-laki yang sedang super galau itu bertekad mencari Devinta. Isterinya itu berada di rumah sakit ini, iaharus menemuinya. Jika tidak mungkin diperbaiki lagi, bisakah ia melupakan Devinta? Segala kenangan manis menari-nari di depan matanya. Gadis keras kepala yang punya prinsip unik di zaman sekarang ini. Ia bukan gadis yang mau disentuh oleh orang yang tidak mahramnya.

Namun, semua bayangan indah terhapus ketika lintasan foto Devinta bersama laki-laki lain dan dua orang anak kecil hadir di pelupuk matamya.

“Terlalu berharapkah engkau Devinta, dengan kehadiran anak-anak yang belum kunjung Allah kabulkan? Mengapa Engkau tidak bersabar menunggu sampai saat manis itu tiba? Mengapa mengambil jalan pintas seperti itu? Allah belum memberi kita anak, karena Allah masih ingin melihat kita mengangkat tangan di sepertiga malam dan memohon sambil hujan air mata.” Arfan membatin sedang matanya mencoba mencari-cari jika satu di antara orang yang lalu lalang adalah Devinta.

Arfan mencoba kembali mengontak Devinta.

“Tuuutt, tuuutt.” Arfan sedikit lega, ponsel Devinta aktif. Sebentar terdengar suara di seberang yang menjawab panggilan.

“Untuk apa Kau nelponku, Arfan? Bukankah foto itu telah bercerita dengan jelas?” Devinta menahan isaknya. Ia berusaha mempertegas ucapannya karena tidak mau merasa lemah dihadapan Arfan. Foto saat Zahra berada dalam pelukkan suaminya membakar semua nalar sehatnya.

Sementara Arfan tidak tahu menahu dengan Foto yang dimaksud Devinta. Ia justru menyangka bahwa foto tersebut yang dikirim Bu Marda lewat ponsel Devinta. Foto yang membuat asam lambungnya seolah naik sampai ke otak. Foto yang dapat merubah segalanya lebih buram. Dilain pihak Devinta juga tidak sedikit pun menyadari ia telah di kerjai Mamanya sendiri. Sesaat setelah terkirim, Mamanya kembali menghapus foto tersebut.

“Devinta!” Arfan meradang dengan ucapan Devinta. Setelah delapan tahun menikah, belum pernah Devinta memanggilnya dengan sebutan nama. Bukankah ini sangat keterlaluan?

“Jangan pernah hubungi aku lagi!” Devinta membanting HPnya ke kasur.

“Devinta, tunggu!” Arfan mengurut dadanya yang tiba-tiba terasa ditusuk jarum.

“Kok Tante marah, siapa yang jahat?” Najma tiba-tiba telah duduk di tepi tempat tidur.

“Eh, Najma udah bangun, sudah nggak panas lagikan?” Devinta bergegas jongkok di hadapan anak kecil itu. Ia tersenyum melihat wajah Najma yang tidak lagi memerah.

“Masih panas sedikit, Tante. Siapa yang Tante marahi tadi, orang jahatkah? Kok jahat sama Tante, padahal Tante baiiikkk banget,” Najma menatap lekat, tiada senyum menghiasi bibirnya.

“Ah, nggak marah, cuma suara Tante tadi agak besar.” Devinta menghapus air mata yang sudah sebak, jangan sampai tumpah dan dilihat Najma.

“Tante, Najmi panas sekali,” najma meraba kening adiknya.

“Masya Allah!” Devinta ikut meraba kepala Najmi. Perempuan itu tampak kalut, Mama dan Revan keluar. Mereka mau membeli nasi.

“Suster, tolong, kamar VIP A4, panas pasien tambah meningkat!” Devinta menelepon perawat jaga sambil menggendong Najmi.

“Ya, Bu, dokter juga akan segera masuk,” Perawat berkata ramah.

Devinta memberi Najmi air putih, biar ia bisa segera buang air agar panasnya turun. Sebentar-sebentar Devinta melongok ke pintu, terasa tidak sabar menunggu dokter.

“Tante, Najmi capek! Panas!” Najmi minta di tidurkan kembali. Devinta bertambah cemas, ia mau menyusul dokter atau perawat biar Najmi cepat ditangani. Namun ia bingung membiarkan anak itu tinggal sendiri.

“Assalamualaikum,” ucap seorang dokter yang diiringi beberapa perawat.

“Waalaikum Salam,” Devinta dan Najma segera membalas salam.

“Dok! Suhunya tiba-tiba melonjak....” Devinta belum selesai menjelaskan, ia dan dokter sama-sama terkejut.

“Devi!

“Fajar!”

“Wah, sudah lama aku mencarimu Devi, Kau seperti ditelan bumi saja.” Dokter itu terlihat sangat senang.

“Nanti kita sambung ceritanya, tolong Kau periksa anak ini!” Devinta hanya fokus kepada Najmi. Dokter anak itu memeriksa kondisi Najmi.

“Mudah-mudahan panasnya segera turun.” Dokter berbicara kepada perawat, perempuan berbaju serba putih itu mengangguk dan segera meninggalkan Fajar.

“Anakmu cantik, sama kaya’ Kamu!” Fajar berkata sambil memandang Najma dan Najmi bergantian.

“Bukan anakku, melainkan anaknya Revan.” Devinta memandang ke Najma takut ia tersinggung. Namun anak berusia lima tahun itu sibuk membujuk adiknya yang merengek.

“Kau jangan bercanda Devi, anak Revan kan anakmu !” Fajar merasa dipermainkan.

“Aku tidak menikah dengan Revan, tapi dengan orang lain. Revan menikah dengan yunior kita, putri kampus satu angkatan di bawah kita. Kamu ingat, hampir semua mahasiswa dan dosen muda tergila kepadanya?” Devinta mengeksplorasi ingatan Fajar.

“Yang aku ingat cuma satu perempuan yang membuat aku gila!” Fajar memandang keluar. Devinta menelan ludah, ia tidak ingin mengingat kisah lama.

“Berapa orang anakmu Devi?” Fajar melihat gelagat Devinta, sepertnya ia tidak menyukai arah pembicaraannya sebentar ini. Jantung Devinta berdetak kuat. Pertanyaan ini yang selalu membuat ia minder. Kini bukan hanya terasa kurang dari orang lain, bahkan ia merasa dicampakkan begitu saja. Bayangan suaminya menjadi momok yang ia benci.

“Belum dikasih, Fajar!” Devinta menjawab lemah. “Kalau Kamu, berapa?” devinta balik bertanya.

“Kau masih bersyukur, sudah punya pasangan. Aku masih menjalankan sumpahku dulu,” fajar tersenyum sinis. “Berapa nomor HP-mu, nanti aku akan menghubungimu!” Fajar berdiri karena tugasnya memeriksa pasien masih banyak. Saat Fajar akan keluar, Revan dan Bu Marda tiba di pintu.

“Revan!” Fajar menyapa terlebih dahulu.

“Hai, Fajar! Sudah berapa lama Kau dinas di sini?” Revan kaget berjumpa dengan Rivalnya semasa kuliah.

“Sudah lama, lebih kurang 6 tahun,” Fajar tersenyum. “ Mudah-mudahan anakmu cepat sehat, ini nomorku, kalau ada apa-apa Kau hubungi aku!” Fajar permisi dan meninggalkan ruangan itu.

Fajar bertanya-tanya, benarkah Devinta dan Revan tidak jadi menikah? Rasanya sangat mustahil, mereka adalah pentolan kampus yang sama-sama punya kelebihan, termasuk limpahan harta orang tuanya. Walau di saat wisuda, Revan punya pendamping lain. Ia pikir hanya pertengkaran sesaat antara Revan dengan Devinta. (Bersambung)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen cerpennya, Bunda. Sukses selalu. Salam literasi

17 Oct
Balas

Terimakasih, Pak

17 Oct

Wow, cerpen yang keren Bund. Sukses selalu dan barakallahu fiik

17 Oct
Balas

Terima kasih, Bun, kangen dikomentari Bunda Siti Ropiah

17 Oct

Hmmm, Krisan adalah bahasa cinta untuk perbaikan karya, ditunggu!

17 Oct
Balas

ManTuL bun

17 Oct
Balas

Terima Kasih kunjungannya, Bun

17 Oct

Terima Kasih kunjungannya, Bun

17 Oct

Terima Kasih kunjungannya, Bun

17 Oct

Keren bunda...biar tambah seru tambah lagi diksinya...dah ku follow...follow back...salam literasi

17 Oct
Balas

Terima kasih, Pak, masukkannya sangat berarti

17 Oct



search

New Post