MERINDUKAN RINDU
“Wawan, sama sekali beda dengan prediksimu, Vina menerima lamaranmu Nak!” jelas Bu Mega dengan suka cita. Senyum terlukis begitu saja dari bibir perempuan paro baya itu. Wawan terdongak, ia memperbaiki posisi duduknya lebih menghadap kepada Mamanya.
“Apa, Ma? Vina menerima?” ucap Wawan bernada sinis. Mamanya mengernyitkan dahi, merasa aneh dengan peetanyaan dan tanggapan anaknya. Bukankah selama ini putra tunggalnya sangat memuja Vina, gadis yang kecantikannya seperti dipahat. Budi pekertinya seolah didikte dari langit. Ia nyaris sempurna. Jika saja Vina seorang sarjana, hampir dapat dipastikan bahwa celanya semakin tak kasat mata.
“Iya, Vina menerima lamaranmu. Rencana Mama sebelum putusan hakim, pernikahanmu segera dilaksanakan. Walau tempatnya di kantor polisi. Jika dapat memohon izin akan Mama lakukan, walau membayar uang jaminan.” Tegas Mama.
“Apa syarat yang diajukannya, meminta sekian petak sawah atau beberapa hektar tanah dan emas permata?” Wawan mencerca Mamanya dengan segala prasangkanya.
“Wan, ada apa denganmu, Nak? Bu Mega memejamkan mata. Seluruh ucapan yang keluar dari bibir anaknya adalah semacam tuduhan yang tidak beralasan. Toh, selama ini Vina tidak pernah terdengar mata duitan. Mengapa Wawan bersikap begitu?
“Wawan, Vina hanya mengajikan dua syarat.mungkin berat bagimu karena tidak terbiasa, jika kelak Kamu usahakan, Mama yakin Kamu pasti berhasil.
“Apa itu Ma?” tanya Wawan pendek
“Ia mau Kau belajar Islam lebih baik lagi serta shalatmu di Masjid,” ujar Bu Mega sambil memperhatikan reaksi anaknya.
“Mantan Napi, mana ada orang percaya bahwa dia tobat, Ma! Sudahlah Ma, aku tidak mau memikirkan masalah itu lagi. Aku menganggapnya hanya mimpi.” Wawan mengalihkan padangannya ke luar ruangan. Jarum jam semakin merangkak ke angka dua belas, penghujung dari kunjungan. Ia merasa ngilu, sebentar lagi Mama yang selalu mencurahkan kasih sayang kepadanya dalam ruang yang hampir tak berdimensi. Semuanya ia lakukan demi anak tersayang.
“Jangan berputus asa, Wan!” Bu Mega berbisik di pangkal telinga Wawan. Laki-laki dewasa yang berusia di atas dua puluh tiga tahun itu menunduk.
“Ma, jika ada perempuan yang mau menikah denganku hari ini, menurutku ada dua alasan. Pertama ia akan mengejar harta keluarga kita atau ia akan menikah karena kasihan. Aku tidak mau kedua-duanya.”
“Wan, jangan berprasangka buruk, Vina bukan seperti yang kau duga!” Mama hampir berteriak.
“Ma, jika pun Vina bukan seperti yang aku sebutkan, aku sendiri tidak ingin menzaliminya. Bagaimana ia menikah dengan laki-laki yang berada di penjara? Seorang pengantin memasuki kamarnya dengan bahagia, tapi perempuan itu akan menghiasinya dengan air mata. Bukankah itu zalim, Ma?” Suara Wawan sedikit meninggi.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Semoga jalan perjodohan yang semakin rumit ini akan terurai dengan baik
Lanjutannya mana Bun?
Keren bund, saya jadi penasaran lanjutannya, ijin follow ya bund..
Alhamdulillah, Terima kasih, Bun!