MERINDUKAN RINDU
Bu Mega melirik arlojinya, dia memastikan tidak terlambat tiba di polres. Jam kunjungan untuk para tahanan adalah pukul 11.00 WIB. Kalau lewat dari pukul sebelas, artinya waktu bertemu dengan putranya hanya sebentar. Saat ini terasa sekali betapa berharganya waktu. Sedetik saja sangat berarti. Belum pernah Bu Mega merasakan rindu yang paling mendebarkan kecuali saat-saat ini. Menanti sambil mengawasi pintu akses bagi para tahanan yang akan mengunjungi tamunya
“Ma!” sapa wawan dengan wajah yang terlihat sedih.
“Wan, sehat, Nak?” Bu Mega tiba-tiba saja ingin menangis. Ia teringat saat Wawan masih bayi . Nyamuk saja yang membuat anaknya berteriak nyaring karena gigitannya, dapat memicu amarah sekaligus sedih bagi ibu muda itu. Kini anaknya mengalami sakit, ketakutan dan kehilangan masa depannya. Sungguh rasa sakit yang sangat tidak biasa memerihkan hati akan mampu membuatnya setengah gila. Namun ia sadar, hal tersebut akan membuat anaknya lebih terpuruk. Ibulah yang harus kuat agar anaknya bisa keluar dari himpitan masalah yang tak bisa di takar dengan timbangan perasaan keibuannya.
“Ya, Ma,” jawab Wawan pendek.. Air mata menghujan dari netranya yang biasanya selalu berpendar cerah. Wawan tidak peduli, di ruangan yang tidak memadai itu, begitu banyak orang yang saling mengunjungi, ia tidak segan untuk menangis ke hadapanperempuan yang telah merelakan rahimnya untuk ia tempati lebih sembilan bulan. Bu Mega menggigit bibirnya, melawan segala sedih yang telah bertumpuk dalam kalbunya.
“Wan, kau anak Mama yang selalu hebat. Laki-laki sejati adalah yang bisa bertanggung jawab, Nak. Begitu banyak orang yang telah melewati masa-masa di tempat ini. Kau akan dikatakan sukses jika menjadi lebih baik dari yang sebelumnya. Kau tau Buya Hamka, sosok kenamaan yang turut mengharumkan nama sumatera Barat ini. Beliau membuat tafsir Al-Azhar justru di penjara!” jelas Bu Mega memberi semangat.
“Ma, beda, beliau di penjara karena mempertahankan keyakinannya, tapi aku karena kejahatan!” Wawan merasa tidak pantas disandingkan dirinya dengan ulama besar itu.
“Alasannya boleh bermacam-macam, tapi tempat yang di huninya sama-sama penjara. Artinya, penjara ini bukan akhir segalanya. Boleh jadi ia adalah langkah awal untukmu merubah diri, menempa kepribadian dan berpikir ulang betapa waktu yang telah berlalu belum termanfaatkan dengan baik. Wan, Mama selalu mendoakanmu, Nak!” kata perempuan itu membesarkan hati anaknya. Bu Mega menarik napas berat. Ia mengatur kembali tekanan suaranya dan menahan kepiluan yang bergejolak.
“Wan, kabar baik untukmu, Nak!” ujar Bu Mega sambil memijit tangan Wawan yang terlihat sedikit lemah.
“Ma, tiada kabar baik apapun, kecuali kebebasanku!” Wawan menunduk.
“Tentang Vina, Nak!” pancing Bu Mega untuk menarik minat anaknya untuk menanggapi antusias.
“Bagaimana kabar Vina, Ma? Tentu gadis itu tambah berpaling dariku. Jika saja dulu ia tidak menoleh sama sekali, sekarang dengan statusku sebagai Napi, ia tentu membelakangi bahkan lari dan sangat jijik walau hanya sekedar mendengar namaku,” Wawan pesimis
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Apapun yang menimpamu karena ulah perbuatanmu sendiri!