Resleting Dani
Bertemu lagi. Dani. Keliahatannya dia menghindar dariku. Memilih jalan memutar lewat belakang mushola. Belok kiri lewat gang, lalu berlari kecil menelusuri koridor menuju kelasnya. Hilang di ujung lorong itu.
"Dani!" masih ingat, aku menghardiknya beberapa hari lalu.
"Iya, Bu." Dia nampak ketakutan. Kepalanya nenunduk, matanya menatap ujung sepatunya yang dekil. Sambil sibuk membenahi baju putihnya yang tidak dimasukkan. Bukan sibuk. Hanya nampak sibuk. Karena selalu begitu, bajunya tak pernah dimasukkan. Anak satu ini bandelnya bukan main.
"Masukkan bajunya!" Bentak saya saat itu. Ini untuk yang kesekian kalinya. Ia nampak sibuk memasukkan bajunya. Tetapi tetap tidak sempurna. Baju putihnya hanya diuwel-uwel bagian pinggangnya, ditekuk ke dalam sehingga nampak seperti baju masuk beneran. Beberapa kali sebelumnya aku masih memaafkan.
" Sudah berapa kali kamu saya ingatkan!"
"Iya Bu, maaf Bu, " selalu begitu. Iya Bu, maaf Bu, dan berbagai alasan.
Hari ini dia lolos. Tunggu besuk ya.
Hari Selasa. Jam ke 3-4 saya mengajar di kelas X MIA 2. Kelasnya Dani. Bocah dekil, kucel dan bajunya tak pernah dimasukkan itu. Terutama seragam yang abu-abu putih.
Awas ya, hari ini kena kamu!
"Dani! Maju!" Dani yang duduk di belakang pojok, berdiri. Dan selalu dia memegangi bajunya, diuwel-uwel. Kebingungan.
"Masukkan bajunya" bentakku setelah dia di depan menghadapku. Dia kebingungan lagi.
"Maaf, Bu," dia menunduk. Teman-teman sekelas memperhatikan Dani, kemudian gaduh.
"Apa kamu nggak seneng tampil rapi?"
"Iya, Bu. Maaf, Bu" jawabnya. Dan dia tidak juga memasukkan bajunya. Hanya diuwel-uwel. Anak ini! Aku jengkel.
"Maaf Bu, resleting saya...." dia menunduk membuka bajunya bagian pinggang, dan menunjukkannya padaku. Yang nampak adalah... Astaghfirrullah..
"Ya sudah. Kembali ke tempat dudukmu," kataku padanya lirih. Aku merasa lemas, syok. Tak terpikirkan sedikitpun kalau ini yang sesungguhnya terjadi. Tentu saja Dani memendam ini. Resletingnya rusak. Jika bajunya dimasukkan, maka dia akan malu. Anak-anak berbisik-bisik, kassk kuduk. Aku segera melanjutkan proses pembelajaran. Berusaha sewajar mungkin, seolah tidak terjadi apa-apa. Bersyukur, kondisi kelas terkendali, anak-anak tampak sudah tenang.
Hari berlalu, tetapi di dalam hatiku ada rasa pedih. Dani yang selama ini kuuber gara-gara tidak memasukkan baju seragamnya, ternyata seperti itu kondisinya. Hatiku lebih pilu lagi, setelah aku cari informasi tentang dia, dia di rumah hanya hidup dengan neneknya. Ibunya, meninggal saat melahirkan dia. Ayahnya juga meninggal saat dia umur 7 bulan karena kecelakaan.
Rasa bersalahku semakin dalam. Ya Allah maafkan aku.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Ya Allah, Dani. Mengapa tidak dari dulu kamu berterus terang pada Bu Yuli untuk minta dibelikan celana abu-abu? Cerpen yang bagus, Bu. Lanjutkan!
Terima kasih, Pak Edi, hehe, mencoba mengekspresikan jjiwa.
Lama tidak bisa baca tulisan di gueusiana
Sama, Buk..ini juga lagi terinspirasi sama "Si Dani" hhe tgl 30 ke Jakarta Buk..