Yuliawati

Terlahir di kota Pala Fakfak (di jazirah Onin,Negeri Mbaham),di salah satu kabupaten tertua di Provinsi Papua Barat. Melewati masa kanak-kanak hingga lulus esem...

Selengkapnya
Navigasi Web
April, Ku Tak Mengira (10)
poster desain pribadi

April, Ku Tak Mengira (10)

Pak Surya menunggu istrinya,ibu Siti dan anak-anak kembali dari rumah mertua. Tak selang berapa lama, mereka sudah mengetuk pintu dan melangkah masuk rumah, setelah dibukakan pintu depan. Wajah-wajah mereka sumringah penuh senyum.

“Ada berita apa ,pak di televisi?” Tanya ibu Siti untuk memulai percakapan, sekedar ingin mencari tahu ada gelas air minum siapa di atas meja tamu.

Pak Surya pun menoleh ke arah ibu Siti, sambil melihat sekitar kalau-kalau saja masih ada anak-anak.

“Sini, bu. Sini sebentar !” kata pak Surya setengah mengajak istrinya untuk duduk di kursi yang lebih dekat..

“Ada apa ,pak?. Kelihatan serius sekali!” jawab ibu Siti sambil berdiri melangkah kearah kursi lipat di sebelah meja tempat televisi diletakkan.

“Amril, tadi mampir sebentar ke sini. Saat Ibu dan anak-anak sedang berada di rumah Kakek.” Kata pak Surya dengan pelan, seperti mengatur napas dan sedikit terlihat agak bingung.

“Amril? Bukannya ada di tempat tugas? Anata tidak mengatakan apa-apa itu, sepanjang kita bepergian hingga kembali”, jawab ibu Siti dengan tegas. “Ada yang disampaikan?’ sambung ibu Siti bertanya pada pak Surya lagi.

“Itu dia bu,” kata pak Surya, sembari menekan tombol ‘remote televisi, mengecilkan volume suara sang penyiar warta berita. “ Besok sore jam empat, pamannya akan ke sini, dan meminta kita untuk menerima pamannya”.

Ibu Siti terlihat tenang.dan tak mau berspekulasi apa gerangan yang akan disampaikan pamannya. Hanya saja, ibu Siti agak ragu dengan pendapatnya tentamg hubungan Anata dan Amril, sebab beberapa waktu lalau di tempat arisan, ada beberapa ibu bertanya apakah dalam waktu dekat anak perempuannya akan segera menikah, kalau pun berjodoh. Saat menyimak wejangan dari ibu ketua PKK Kabupaten yang berkunjung ke distrik, ibu Siti sudah tak focus dengan wejangan itu, tetapi memikirkan apa yang akan terjadi dibalik pertanyaan itu. Dengan santun, ibu Siti hanya senyum dan menyampaikan bahwa jodoh adalah satu hal yang tak bisa paksakan atau di aturkan, semua hanya berserah pada Gusti.

“Bu,…bu..! Eh, malah melamun. Apa yang dipikirkan to? “ tanya pak Surya yang terlihat heran.

“Bapak, kalau besok pamanya Amril datang, akan menyampaikan maksud? apakah bapak masih punya hutang di kios pak Dudi?”

Pertanyaan ibu Siti membuat Pak Surya terbelalak, bagaikan disambar petir.

“Bu, kan sudah saya bilang sejak lima tahun lalu, tak ada urusan utang piutang dengan pak Dudi!” tukas pak surya perlahan. Diskusi mereka berdua, dilanjutkan dan keputusannya ada beberapa alternative dan salah satunya adalah memanggil Anata, anak gadis mereka untuk menyelesaikan poin yang terakhir.

Tak selang berapa lama, Anata pun duduk di salah satu kursi tamu.

“Anakku Anata, ibu dan Bapak memanggil mu unuk berdiskusi saja, kalau kamu tidak keberatan.” Kata ibu Siti sambil membenarkan taplak meja yang terkesan miring dari sisi meja tamu itu. (Bersambung )

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kisah yang keren bu

27 Apr
Balas



search

New Post