“Itu pertanda, kamu barangkali yang harus berjumpa Amril langsung!”, celoteh Uba, dengan tertawa yang setengah terbahak, sekan-akan mengejek Anata.

“Jangan seperti itu, Uba, tak elok !”, sambung Manda.sambil memandangi Uba, yang tiba-tiba diam dari kejenakaannya itu.

“Mungkin juga, harus begitu, Uba “ Jawab Anata untuk mengembalikan suasana ceria mereka bertiga.

Dan, sampailah di depan pintu rumah, Ananta berinisiatif mengetuk dan mengucap salam. Lama tak terdengan jawaban salam, lama pula pintu tak dibuka. Kedua teman Anata, mulai terlihat ragu untuk mengajak Anata untuk kembali saja, dan perkiraan mereka benar kalau-kalau saja Salmi sudah berangkat duluan.

“Nat, suratnya lewatkan pos saja, ya?” Tanya Manda, untuk mengalihkan perhatian dari pintu yang tak terbuka dan slam yang belum terbalas.

“Jangan !”, ketus Anata.”Surat ini surat yang cukup menggoyahkan ‘pembaca’nya”, timpal Anata lagi, dengan senyum. Anata membayangkan bila Amril menerima surat ini, pastilah Amril akan dibuat pilihan, menikahi dirinya sesegera mungkin atau meninggalkan dirinya selama mumgkin. Itu hanyalah ide iseng untuk bercanda dalam menyambut bulan April yang akan tiba beberapa hari lagi. Anata tersenyum sendiri dan membayangkan bagaimana bingungnya Amril saat lembaran demi lembaran di buka dan dibaca. Senyum Anata untuk bayangan ini membuat kedua temannya terhern-heran.

(Bersambung )