Yuli Feri Widyawati

Gue Guru Matre Yuli Feri Menulis adalah salah satu cita-citaku sebagai seorang guru yang agak matre. ya saya matre Karena untuk kenaikan pangkat saya harus me...

Selengkapnya
Navigasi Web
Mad Pelor dan Bu Lurah

Mad Pelor dan Bu Lurah

Mad Pelor dan Bu Lurah

Sejak pulang kampung, Mad pelor terlihat santai dan tenang tenang saja. Padahal dia gak kerja, tapi sepertinya uangnya gak habis habis. Katanya mau menikah tapi kog gak ada kabarnya juga. Pagi ini dia mengayuh sepeda gunung menyusuri kebun karet. Segarnya udara pagi yang lama tidak ditemukannya selama di Jakarta, membuatnya makin menikmati kayuhan sepedanya. Ketika sampai di tengah jalan sepanjang kebun, ia berisitirahat di warung kecil. Ia memesan teh kepada pemilik warung gorengan, seorang nenek tua berkerudung merah. Meski sudah tua tapi nenek itu masih mampu berjualan aneka gorengan dan minuman panas ala pedesaan

" teh panas satu buk"

" Tunggu bentar ya Nak, gas nya habis, ini masih mau beli"

" Baiklah, saya tunggu sini buk" Mad Pelor meletakkan pantat nya di atas bangku bambu di depan warung kecil. Ia mengamati sekeliling, sepi sekali, kabarnya kebun ini ramai oleh anak anak remaja yang suka Selfi. Tapi jam 6 seperti sekarang ini mungkin terlalu pagi, bagi mereka.

Matanya kemudian mengikuti langkah nenek yang sedang membeli gas. Sambil menenteng tabung gas 3 kilo yang kosong, nenek tua berkerudung merah menyusur jalan pinggiran kebun. Mad Pelor tidak tega melihat nenek itu, langkahnya terseok seperti orang pincang, lengan kecilnya terlihat lebih kecil tertarik oleh beratnya tabung gas. Sementara lengan yang lain mengangkat ujung kain panjang nya, agar tak mengganggu langkahnya.

Mad Pelor tertegun, langkah nenek makin jauh, dia makin terlihat kecil diantara kokohnya pohon pohon karet yang tegak berdiri mengelilinginya. Makin jauh nenek melangkah menuju toko penjual gas,makin menghilangkan kesabaran Mad Pelor. Ia langsung mengangkat pantatnya, melangkah menuju sepeda gunungnya. Dia kayuh sepedanya menyusul nenek penjual gorengan dan kopi.

" Dimana warungnya buk"

“Itu di ujung jalan ini'. Tangan kecil nenek menunjuk ujung jalan, Mad Pelor menatap toko kecil yang menumpuk tiga tabung gas di depannya.

" Sini tabungnya buk, biar saya yang beli"

" Oh, terimakasih ya Nak" nenek terlihat lelah, ia pasrah, lengan kecilnya mengulurkan tabung gas, lalu membuka gulungan kain panjang yang melilit pinggangnya. Ia mencari dompet untuk membayar gas

" Biar saya bayari dulu Buk"

" Oh, terimakasih Nak" kembali nenek mengucapkan kata yang sama, sambil melepaskan karbondioksida yang memenuhi paru paru dari mulutnya. Si nenek kemudian duduk di pinggir jalan menunggu Mad Pelor membeli gas. Ingatannya menerawang mengingat anak dan cucunya di luar pulau yang lama tidak berkunjung. Apalagi lebaran tahun ini, mereka tidak bisa pulang karena pandemi. Tak lama nenek melamunkan anak cucunya, Mad Pelor sudah kembali.

"Ayo buk, duduk sini" tangan kanan Mad Pelor menunjuk stang frame sepedanya, sedangkan tangan kanannya membawa tabung, kedua kakinya menjaga sepeda agar tetap berdiri.

" Ha, tidak nak, saya jalan saja"

"Jauh buk, sini " Mad Pelor meletakkan tabung, lalu kedua tangannya mengangkat pinggang nenek tua, dan mendudukkannya diatas frame sepeda gunungnya. Spontan nenek teriak teriak sambil kedua lengannya berpegangan ke lengan mad Pelor. Segera Mad Pelor menenangkan nenek, lalu tangan kirinya mengambil tabung gas, kakinya mulai mengayuh sepeda. Si nenek meringkuk di dalam dada Mad Pelor, tangannya kini memegangi pinggang Mad Pelor. Kalau anda pernah nonton film Galih Ratna pasti bisa membayangkannya.

Mad Pelor terus mengayuh sepedanya, sambil sesekali tertawa melihat wajah tua nenek yang ketakutan. Namun dalam hatinya dia terharu, setua ini berjualan sendirian di tengah kebun karet yang mirip hutan.

" Setiap hari jualan di sini buk, siapa yang mbantuin"

" Itu, tukang becak tetangga saya yang mbantu, dia mengangtar saya pukul 5 pagi, dan menjemput saya pukul 5 sore".

" Rumah ibu dimana"

" Di belakangnya toko yang menjual gas tadi"

" Oh dekat ya?"

"Iya"

" Keluarga ibu dimana"

" Anak cucuku di Kalimantan, suamiku ada di rumah"

" Kog gak ikut jualan"

" Malu"

" Kenapa?"

" Dulu dia seorang lurah, lalu mencalonkan diri menjadi caleg, tapi gagal, rumah dan tanah kami habis terjual, anak anak ku kemudian bekerja ke Kalimantan. Aku dan suamiku kemudian tinggal disini, menjauhi orang orang"

" Jadi di sini sambil sembunyi, kenapa ?"

Saat mencalonkan caleg itu, banyak tim suksesnya bapak yang tiba-tiba datang membawa pendukung hingga ratusan orang. Lalu mereka makan di restoran dekat rumah kami, dan mengatakan pada pemilik restoran, bahwa yang membayar nanti Pak Lurah. Demikian setiap hari sampai tiga bulan, belum lagi biaya cetak stiker, kaos dan banner. Mereka juga masih minta biaya pembagian kaos, biaya pemasangan banner, konsumsi dan macam macam lagi. Karena terlanjur mencalonkan diri, akhirnya kami nekad. Sawah dan rumah kami jaminkan di bank. Ternyata bapak tidak lolos jadi caleg. Maka habislah semuanya. Pemilik restoran belum saya bayar, percetakan juga belum lunas, kami kemudian mengasingkan diri di sini. Alhamdulillah bertahun tahun kami disini, hidak ada lagi yang mengejar ngejar kami.

" Lho ibu sekarang bercerita kepadaku apa tidak takut ada yang mencari ibu fi sini?"

" Itu kejadian nya sudah lama sekali, tidak mungkin mereka datang kesini, kalaupun datang apa yang akan mereka ambil, kami bahkan tak punya kursi di rumah kami".

Sambil mengobrol di atas sepeda, Mad Pelor merasa cepat sekali sampai kembali ke warung Nenek. Dia kemudian meletakkan tabung gas, dan memegangi nenek turun dari stang frame sepedanya. Si nenek masih gemetaran karena takut jatuh.

" Duduk dulu saja buk, bikin tehnya ntar lagi saja". Mad pelor kemudian duduk di bangku bambu yang ditinggalkannya tadi, setelah kaki kirinya menendang standar sepedanya.

" rame jualan di sini buk"

" Yah, dulu kalau hari libur bisa dapat uang sampai 100 ribu"

" Kalau ada corona sekarang?"

" Awal Corona itu sepi, tapi sekarang normal, setiap hari ada yang datang, orang orang sudah bosan di rumah saja". Nenek menjawab sambil memasang regulator gas. Lalu dia menyalakan kompor gasnya. Mad Pelor duduk menunggu sambil mengendus, mencium bau gas yang bocor.

" Bu, kog bau gas, bocor itu bu"

" Iya ini, kadang jualan cuma dua hari sudah habis"

" Coba matikan dulu kompornya"

Si nenek menurut, dia mematikan kompor dan terdengar suara gas yang keluar dari sekitar regulator "ciiisssshhh". Mad Pelor Bangkit menuju regulator dan mendekatkan telinganya.

" Ini bu, suaranya terdengar "

Nenek tua yang jika dipanggil saja gak dengar, apalagi hanya suara desis gas, dia hanya tersenyum melihat Mad Pelor meletakkan selembar plastik pembungkus gula pasir diatas leher tabung gas. Lalu dia meletakkan regulator diatasnya dan menekannya, plastik pembungkus gula pasir itu kemudian berlubang di tengah, sedangkan pinggirnya menahan gas untuk keluar. Mad Pelor kemudian mengunci regulator dan mendekatkan telinganya.

" Sudah bu, tidak bocor sudah"

" Oh iya, jadi harus dilapisi plastik dulu ya regulatornya, terimakasih ya Nak"

Mad Pelor kemudian duduk menunggu teh panas pesanannya. Cahaya matahari sudah mulai merebak, teh panas yang disajikan nenek tidak lagi menarik baginya.

" Punya es batu bu?"

" Ada, ini", Nenek menunjukkan es batu dalam termos es.

Mad Pelor bangkit, mengambil sendiri es batu yang ternyata belum di potong. Dia membungkus es batu dengan kain serbet makan, lalu membenturkannya ke batu di depan warung. Es batu pun hancur, ia ambil beberapa bagian lalu dimasukkan dalam gelas kosong yang diambilnya sendiri. Ia tuangkan teh panasnya ke dalam gelas berisi es batu. Diteguknya es teh hingga tak bersisa lalu dia pamitan.

" Berapa bu"

" Oh ya,

" Dua ribu"

Mad Pelor mengambil selembar limaribuan lalu meletakkan nya di bawah gelas.

" Lhoo , gas nya tadi berapa nak"

"Sudah biarlah, saya pulang dulu bu, kapan kapan mampir lagi"

" Ohhh..." Si Nenek hanya menganga, tak bisa berkata lagi, matanya mengenang anak lelakinya yang jauh di Kalimantan sambil melepaskan Mad Pelor pergi mengayuh sepedanya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren Bu...jadi terharu

11 Jun
Balas

Mad Pelor baik hati

12 Jun

Bagus ceritanya

12 Jun
Balas

Terimakasih bunda

15 Jun

Terimakasih bunda

12 Jun
Balas



search

New Post