yulita feryanti

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Memori Yang Sayupsayup

Oleh Dra. Yulita Feryanti

   

 

1

Hidup Di Jalanan

            “Jambreet…jambreet….” Teriak seorang ibu di sebuah terminal di siang itu. Ely yang tengah duduk di trotoar terminal, melihat orang-orang mengejar tukang jambret itu. Naas, penjambret itu tertangkap, dan digebukin ramai-ramai oleh orang- orang di sekitarnya. Dilihatnya wajah penjambret itu berlumuran darah. Untung, ada seorang polisi yang mengamankannya dan menggelandangnya menuju pos polisi terdekat. Sebagai seorang anak jalanan, pemandangan seperti itu adalah makanan sehari-hari baginya. Hidupnya seharian berada di terminal, di pasar, di lampu merah. Sore hari baru dia pulang  ke rumah. Rumah Tofan dan istrinya. Selama ini dia tinggal bersama mereka. Ely tahu mereka bukan orang tuanya. Sejauh ingatannya ke masa kecil, kedua orang inilah yang membesarkannya.Meski sayup-sayup dalam ingatannya, ada terbersit suatu ingatan, dimana dia diasuh oleh orang tua, di suatu rumah yang besar dengan halaman yang luas. Namun Ely tidak mampu mengingat memory itu secara keseluruhan. Ya,dalam ingatan Ely, dia berada di rumah yang luas. Ely berlari-lari bersama ayahnya. Tapi memory itu begitu sayup di benaknya. Jika dia tanyakan hal itu pada Tofan dan istrinya, mereka akan marah besar, bahkan tak segan menamparnya.

            “Kamu jangan banyak tanya! Tugasmu itu Cuma cari uang, . Ngerti?” hardik istri Tofan saat Ely menanyakannya.

             Akhirnya Ely tidak berani bertanya lagi. Ia jalani saja kehidupan yang keras di jalanan, demi mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk diserahkan pada mereka. Selain Ely, di rumah itu ada dua anak lagi, Santy dan Dila. Tiap hari mereka diharuskan mengemis, dari pagi sampai sore hari.

            Tiap hari Ely berjalan kaki menuju terinal untuk mengemis, sore hari dia pulang ke rumah Tofan.Jalan menuju rumah itu jauh dari keramainan. Melewati kebun jagung dan semak belukar yang jalannya sempit dan berbatu. Rumah itu terasing, ada beberapa tetangga yang agak jauh. Para tetangga itu kurang begitu akrab, masing-masing tertutup, karena pekerjaan mereka tak lebih seperti yang dilakukan Tofan dan istrinya.Tofan adalah preman yang sudah malang melintang di dunia hitam. Rumah Tofan cukup besar, ada ruang tamu, tiga kamar tidur. Kamar tidur depan ditempati Tofan dan istrinya, sedangkan anak-anak tidur di kamar belakang, bertiga mereka tidur di atas satu kasur. Kamar yang di tengah dibiarkan tidak dihuni.  Di kamar Tofan ada televisi yang cukup besar. Sengaja Tofan meletakkan televisi di dalam kamarnya, agar anak-anak tidak menonton televisi. Anak-anak benar-benar dipingit oleh Tofan dan istrinya. Jiwa mereka dikerdilkan, tidak boleh berhubungan dengan dunia luar, kecuali untuk mengemis saja.

            “Ayo kita jalan lagi. Nanti bapak dan ibu marah lagi kalau kita gak dapat uang banyak.” ajak  Santy.

            Mereka menyusuri terik matahari, meminta belas kasihan pada orang-orang di jalan.Mereka berpencar, itu pesan Tofan, agar uang yang didapat lebih banyak. Ely berjalan  bersama Dila yang masih berusia 5 tahun, sedangkan Santy yang berusia tujuh tahun berjalan sendiri.

            Perangai  Tofan dan istrinya sangatlah kasar. Jika Ely mendapatkan sedikit uang saat mengemis, maka hardikan, tamparan dan pukulan yang diterimanya. Dia menangis , tapi siapa yang mendengarkan tangisannya? Siapa yang akan mendengarkan jeritan hatinya? Akhirnya hatinya menjadi kebal dengan kerasnya kehidupan, dan dia sudah tidak bisa menangis lagi kini. Pernah dia mengalami demam yang tinggi, tapiTofan memaksanya untuk mengemis.

            “Gak usah manja, memangnya kamu mau makan apa kalau tidak mengemis?”

            Akhirnya Ely tetap mengemis walau dengan tubuh yang menggigil.

            Selang beberapa tahun, Tofan mendapatkan anak kecil lagi yang diberi nama Santy, yang waktu itu masih merangkak, belum bisa berjalan.

            Saat itu Ely bertanya “Anak siapa ini bu?”

            “Jangan banyak tanya kamu, ini adikmu,” bentak istri Tofan.

             Ely tidak berani bertanya lagi.Jiwanya benar-benar dipenjara. Dia tidak boleh bertanya sesuatu, dia tidak boleh mengetahui sesuatu, tugasnya hanya mengemis dan mengemis.

             Keseharian, Ely yang merawat Santy. Saat mengemis Ely diminta membawa Santy. Meski panas terik, atau saat hujan, Ely diminta Tofan untuk mengemis dengan menggendong Santy.

            Kini, Santy telah berusia tujuh tahun, maka dia disuruh mengemis sendiri oleh Tofan dan istrinya.  Sedangkan Dila,sekitar sebulan yang lalu, Tofan membawanya ke rumah. Dila lebih besar dari Santy saat dibawa Tofan. Dila berusia lima tahun.Sehingga dia tahu tentang dirinya, kalau dia diculik Tofan. Dia sering menangis rindu pada orang tuanya. Tapi yang diterima Dila adalah pukulan dan tamparan

            “Dengar Dila,” kata istri Tofan sambil menjambak rambut Dila.

            “Mulai sekarang kamu tinggal disini, kalau ada yang bertanya, aku adalah orang tuamu. Tidak usah bercerita pada siapapun tentang kamu. Kalau kamu melanggar aturan, tidak segan-segan aku akan menyiksamu. Mengerti?”

            Dila hanya tertunduk dan mengangguk sambil menyeka air matanya.

            “Aku haus,” ucapan Dila membuyarkan lamunan Ely.

            “Kita ke tempat kran air di sudut itu ya,” kata Ely.

             “Gak mau, kata ibu air mentah itu banyak kumannya. Aku mau air yang di gelas itu,” kata Dila menunjuk air kemasan yang dijual di warung.

            Ely menuruti kemauan Dila. Dia ambil uang hasil memngemis untuk membeli segelas air kemasan.

             “Kamu jangan banyak-banyak jajan ya, kalau bapak dan ibu tahu, kita dimarahi,” kata Ely. Dila mengangguk dan meneguk habis air yang dibeli Ely.

            Sore itu, Elly, Santy dan Dila pulang ke rumah.Tofan dan istrinya sudah menunggu. Mereka langsung merampas kantung plastik yang dibawa anak-anak itu.Di atas meja makan sudah tersedia tiga piring nasi, dengan lauk sepotong tempe dan sayur. Itu adalah jatah makan untuk anak-anak.

            “Kalian makan, gak usah makan banyak-banyak, nanti tubuh kalian gemuk. Orang-orang gak akan iba melihat kalian,” kata istri Tofan sambil duduk berselonjor di kursi rotan. Tangannya memegang HP, asyik memainkannya. Sementara Tofan di sebelahnya duduk sambil merokok. Di hadapan mereka tersedia kopi dan sepiring gorengan.

            Ketiga anak itu segera makan jatah mereka dengan lahap. Mereka dalam keadaan kelaparan. Air mata Dila menetes. Tapi dia tidak bisa berkata apa-apa. Dia ingat ayah ibunya. Dia ingin makan bersama orang tuanya, dengan lauk kesukaannya. Dia ingat ibunya selalu menawarkan apa makanan yang diinginkannya.

            “Dila mau sayur apa? Ada sop ayam, atau soto?”

            “Sop ayam aja ya bu, sama sosis goreng dan telur dadar”

            Ibunya dengan penuh kasih sayang akan menyiapkan makanan yang diminta Dila. Tapi sekarang? Tiap hari makan tempe dan kerupuk, dan sering dapat sayuran yang sudah basi. Dila tidak bisa menahan air matanya. Istri Tofan mengetahuinya. Dihampirinya Dila.

            “Nangis aja kerjanya!” bentaknya.

            “Ayo habiskan makannya. Terus cuci piring!”

            Sehabis makan Dila mencuci piring. Di rumahnya, Dila tidak pernah mencuci piring. Semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh asisten rumah tangga. Saat mencuci gelas, Dila menjatuhkan gelas itu dan pecah di lantai dapur. Suara gelas pecah didengar istri Tofan. Wanita itu mendatangi Dila.

            “Kamu lagi yang bikin ulah ya.”

            “Rasakan ini” kata wanita itu sambil menuangkan air bekas cucian ke kepala Dila.

            Dila menangis.

            “Diam!” bentak istri Tofan.

Kembali Dila dalam rasa takutnya, dalam ketidak berdayaannya.

 

2

Dalam Mimpi

 

            Hangat matahari memancar menembus tirai jendela. Ely  membuka matanya. Ah, indahnya pagi ini. Dia melihat ke luar jendela, disana ada taman bunga yang indah. Di sebelahnya berdiri seorang ibu, tersenyum padanya. Dimana dia? Dia tidur di sebuah kamar yang luas, di atas kasur yang empuk dan selimut yang tebal. Kamar itu bersih, rapi dan wangi. Di dekatnya berdiri seorang wanita, yang sayup-sayup selalu ada dalam memorinya, tersenyum padanya. Memori yang selalu datang di benak dan juga mimpinya, meski semakin samar, tapi dia tidak bisa melupakannya. Seorang ibu yang berparas cantik dengan sinar mata yang teduh.

            “Dasar anak-anak malas…ayo bangun!” teriakan itu membangunkan Ely dari tidurnya. Segayung air membasahi tubuhnya, Santi dan Dila. Dila menangis mendapat perlakuan seperti itu.

            “Aku mau pulaaang…aku gak mau disini. Aku mau sama ibukuuu..…” teriak Dila.

            Tubuh mungil Dila segera mendapat pukulan rotan dari Tofan.

             “Diaam! Gak usah nangis!”

Teriakan Tofan membuat Dila menghentikan tangisannya, meski masih terdengar isak tangisnya.

            “Ingat ya, ini peringatan buat kamu semua, Ely, Santy dan Dila. Kalian tidak usah macam-macam.Tugas kalian hanya mengemis dan pulang. Tidak usah berbicara dengan orang di luar, apalagi bercerita tentang kalian. Di luar banyak teman-temanku. Mereka akan melaporkan jika kalian macam-macam di luar. Ngerti??”

            Ketiga anak itu ketakutan. Mereka segera beranjak dari tempat tidur, mebersihkan tempat tidur dan bersiap untuk mengemis.

            Pagi itu seperti biasa Ely, Santy dan Dila harus pergi mengemis lagi. Sebelum berangkat istri Tofan menyiapkan mereka nasi untuk sarapan. Masing-masing anak mendapat jatah sepiring nasi dan kerupuk. Mereka mendapat jatah makan dua kali, pagi dan sore. Di siang hari mereka mencari makanan di jalanan. Kadang  ada orang yang berbelas kasih memberi mereka makan, atau mereka mencari sisa makan orang di tong sampah. Tak heran jika badan mereka kurus kering. Sementara, Tofan dan istrinya bertubuh gemuk, karena mereka tak pernah kekurangan makan.

            Ely berjalan sambil menggandeng Dila. Di lampu merah dia tengadahkan tangannya kepada orang-orang yang berhenti di sana. Ada yang memberinya uang, ada juga yang cuek tak memperhatikan mereka. Saat lampu hijau menyala, dia segera kembali duduk di trotoar. Ely merasakan hidupnya, pikirannya, ada dalam belenggu Tofan dan istrinya. Dia tidak tahu apa-apa tentang kehidupan ini, yang dia tahu hanya mengemis dari pagi sampai sore hari. Pulang dari mengemis, dia mencuci baju, menyapu dan mengepel rumah. Santy mencuci piring. Selesai mereka bekerja istri Tofan menyuruh mereka tidur, tidak usah pergi keluar rumah. Esok harinya dia bangun, dan begitu seterusnya rutinitas dalam hari-harinya.

             Jika dia melihat orang yang lalu lalang, ada yang tertawa, ada yang bercanda, ada anak-anak yang bersama dengan orang tuanya. Sedangkan dirinya, selama ini hanya dikungkung dalam kehidupan seperti itu. Tofan dan istrinya melarangnya untuk mempunyai teman, meskipun sesama pemgemis. Tofan selalu marah jika dia tahu Ely mempunyai teman. Karena Tofan takut, jika Ely punya teman, sewaktu-waktu dia kabur dari dirinya, dan akan terbongkar kalau dia menculik Ely. Tofan selalu mengintimidasi dan mengancam Ely, Santy dan Dila.

            Usia Ely kini lima belas tahun. Dia diculik Tofan waktu masih kecil, masih berusia tiga tahun. Sehingga, dia sulit mengingat orang tuanya. Tapi di benaknya samar-samar masih tersimpan memori tentang mereka yang sering terbawa dalam mimpinya. Ingin sekali Ely berontak dan lari dari kehidupan dengan Tofan, dan mencari orang tuanya. Tapi dimana mereka? Ely tidak pernah kemana-mana. Sehari -hari hanya di terminal, lampu merah yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Ely sering merasakan resah dan sesak di dada.

            “Kak Ely,itu ..ada anak pake seragam TK. Seperti seragam sekolahku”, kata Dila menunjuk seorang anak TK yang tengah berjalan dengan ibunya.

             “Kak, aku ingin sekolah lagi, tiap hari diantar ibu berangkat ke sekolah. Aku kangen ibu. Aku ingin tidur sama ibu. Ibu selalu mendongeng sebelum aku tidur..”kata Dila dan mulai ia menangis.

            “Kak..aku mau kabur.”

            “Bagaimana caranya? Kamu ingat jalan ke rumahmu?”

            “Nggak kak…aku gak tahu sekarang aku dimana,” Dila semakin keras tangisnya.

            “Sudah, kamu jangan nangis terus. Disini banyak teman bapak, kalau mereka lapor ke bapak kamu dimarahi lagi,” kata Ely.

            Akhirnya Dila menghentikan tangisnya, dan mereka mulai berjalan ke perempatan karena lampu merah sudah menyala.

 

3

Allahu Akbar

 

            Tiap hari Jumat, Ely, Santy dan Dila mengemis di masjid. Sekitar pukul sembilan pagi mereka sudah disana. Semakin siang banyak orang berdatangan untuk melaksanakan sholat Jumat. Entah, Ely merasa ada rasa damai di hatinya saat berada di mesjid. Saat mendengar suara adzan, hatinya merasa tenteram. Ada memori yang samar di benaknya. Suara adzan itu. Lafal Allahu Akbar. Tapi dimanakah? Ely tak sanggup mengingatnya. Akhirnya Ely hanya sanggup menirukan lafal itu “Allahu Akbar” bisiknya. Ya, Lafal itu sering dia ucapkan saat hatinya gundah, meski dia tidak mengerti makna kata itu. Dia tidak pernah tahu apa itu sholat, karena dia tak pernah mengenalnya.Yang jelas, lafal itu membuat hatinya damai dan sering dia ucapkan.

            Dalam kegundahan hatinya, Elly selau berzikir dengan lafal Allahu Akbar. Lafal itulah yang membuat hatinya tenang. Dan saat dari masjid ada suara adzan berkumandang, hatinya terpanggil untuk datang kesana. Tapi dia tidak tahu apa yang dilakukan orang-orang  disana. Ely hanya memandang dari luar masjid orang-orang yang sedang melaksanakan sholat. Tampak wajah mereka bercahaya dan teduh. Ada pria, wanita dan anak-anak.

            Sampai usai orang-orang melaksanakan sholat Jum’at, mereka masih di masjid. Dari dalam masjid, ada seorang ibu membawa beberapa kotak nasi. Ibu itu membagikan kotak makanan pada pengemis yang banyak di sekitar mesjid. Ely, Santi dan Dila mendapat bagian pula. Alangkah senangnya mereka.

             “Terima kasih bu,” kata mereka.

            “Semoga rejeki ibu kian lancar,” kata Ely,

            “Amiiin..” jawab ibu itu.

            Ketiga anak itupun makan nasi kotak. Jarang sekali mereka mendapat kesempatan seperti itu. Bisa makan nasi dengan beraneka lauk. Hari Jumat yang berkah buat mereka.

            “Kata ayah dan ibuku kita tidak boleh meninggalkan sholat, seperti orang-orang di mesjid itu.Tapi aku gak bisa sholat. Aku gak punya mukena,” kata Dila.

            ”Kamu bisa sholat?” tanya Ely pada Dila.

            “ Iya.Di rumah aku selalu sholat sama ibu. Ayahku sholat di mesjid dekat rumah. Kata ibu dan bu guru, perempuan harus pakai hijab dan baju panjang, tapi bapak Tofan mengganti bajuku dengan baju seperti ini.” Dila mulai menangis teringat kehidupan dengan orang tuanya.

             “Aku gak mau punya bapak Tofan, jahat, gak pernah sholat!”

            Kalau Dila sudah merajuk seperti ini, Ely selalu membujuknya.

            “Sudah kamu jangan nangis terus, nanti bapak marah lagi”.

            Dilapun menghentikan tangisannya. Para jamaah yang sholat Jumat sudah pulang, dan masjid kembali sepi. Ketiga anak itu melanjutkan tugasnya, mengemis lagi di lampu merah, tak peduli dengan panas matahari yang menyengat kulit mereka.

 

 

 

 

4

Dila Yang Cerdas

            Dari keempat anak itu, Dila lah yang paling cerdas, meski usianya paling muda. Maklumlah, Ely dan Santy sejak kecil sudah berada dalam cengkeraman Tofan dan istrinya. Mereka tidak mendapat pendidikan yang memadai. Mereka hanya disuruh mengemis, diintimidasi, sering dimarahi dan dipukul. Berbeda dengan Dila, Dia sudah berusia lima tahun, sudah bersekolah, sejak kecil mendapat kasih sayang orang tuanya secara layak.

            Pada suatu malam,  anak-anak hendak pergi tidur.Di ruang tengah sepi, rupanya Tofan dan istrinya berada di kamar. Dila melihat handphone mereka ada di atas meja di luar kamar.

            “Kak, itu ada handphone bapak. Aku mau menelpon ayah,” kata Dila.

             Dia hafal betul nomor telepon ayahnya. Ely dan Santy mencegahnya.

            “Jangan Dila, nanti mereka bangun,” ucap Ely cemas.

            Tetapi Dila terus mengambil handphone itu.

            “Aku mau telepon ayah, biar aku dijemput,” jawab Dila.

            Ketka Dila tengah memencet telepon itu, tiba-tiba Tofan keluar dar kamarnya.

            “Haa…anak nakal!”, teriaknya sambil merampas handphone itu dari tangan Dila dan mendorong tubuh Dila ke lantai.

            Tubuh Dila yang kecil terjatuh. Istri Tofan terbangun dan keluar kamar.

            “Berani-beraninya anak ini memakai handphoneku,” kata Tofan.

            Plak..plak..Tamparan mendarat di pipi Ely, Santy dan Dila.

            Tubuh Tofan yang besar berjongkok di hadapan Dila. Kedua tangannya mencengkeram pundak Dila.

            “Siapa yang kamu telepon!” bentaknya sambil terus mencengkeran pundak Dila.

            “Gak ada yang kutelepon pak…” kata Dila sambil menangis.

            “Bohong, ayo jawab!” kata Tofan sambil mengguncang bahu Dila.

            “Aku..mau..telepon ayah…tapi belum nyambung..” kata Dila terbata-bata.

            Tofan mengecek handphonenya, dia lihat panggilan keluar, memang tidak ada panggilan ke nomor asing saat itu.

            ”Kamu perlu diberi pelajaran”. Tofan menyalakan sebatang rokok dan dihisapnya. Kemudian ditariknya tangan Dila, dengan tanpa belas kasihan, Tofan menyundutkan rokoknya beberapa kali ke lengan Dila. Dila menjerit kesakitan.

             “Diam!” bentaknya, “Atau kusundut juga mulutmu”

            Dila menahan tangis dan rasa panas di lengannya. Ely dan Santy yang melihat Dila diperlakukan seperti itu hanya bisa diam, dengan memandang iba pada Dila.

            “Kalian juga”, kata istri Tofan pada Ely dan Santy.

             “Kenapa kamu biarkan Dila mengambil handphone?”  Ely dan Santy  hanya membisu diliputi rasa takut.

            “Sebagai hukuman, besok pagi tidak ada jatah makan pagi buat kalian,” sambungnya.

            “Semakin berbahaya kalian ini. Mulai besok aku akan semakin ketat mengawasimu. Jangan coba-coba memberontak  ya,” bentak Tofan kepada ketiga anak itu.

            Tofan dan istrinya masuk kamar lagi. Anak-anak itupun pergi tidur dengan rasa takut. Mereka masuk ke kamar belakang tanpa berucap sepatah katapun. Mereka segera naik ke atas kasur.

            Dila belum tertidur. Dia teringat ibunya.Ibu Dila sering menasehati Dila, agar hati-hati terhadap orang yang tidak dikenal .Dia menasehati agak tidak mau jika ada orang yang mengajaknya pergi. Ingatan Dila melayang pada suatu hari saat dia pulang sekolah. Waktu itu dia menunggu ibunya untuk menjemputnya. Ibunya belum datang juga sampai sekolah sepi. Dila berdiri di depan gerbong sekolah. Seorang wanita, mendekati Dila,“Adik, kok sendiri, belum dijemput ya?”

            “Aku menunggu ibu yang mau jemput,”  Dila ingat pesan ibunya agak waspada terhadap orang asing.

            Wanita itu mendekati Dila

            “Anak ibu juga bersekolah disini, ibu juga mau jemput.”

            Begitu dekat wanita itu, dan tiba-tiba wanita itu menciumkan sapu tangan ke hidung Dila. Seketika itu, Dila merasakan  gelap di sekitarnya. Ketika terjaga, dia sudah ada di dalam bus, bersama seorang lelaki. Lelaki itu Tofan.

             “Pak, saya dimana? Saya mau pulang,” kata Dila pada Tofan.

            “Kamu saya antar pulang ke rumahmu, ini dalam perjalanan.”

            Dila melihat keluar jendela bus. Dia merasa asing dengan tempat itu. Dia belum pernah naik bus selama ini. Kemana dia pergi selalu naik mobil ayahnya, atau naik taksi. Sesampai di terminal, Tofan mengajak Dila turun. Dila meronta, tetapi cengkeraman tangan Tofan di lengannya, dan mata Tofan yang melotot padanya,membuat Dila terdiam.

             “Diam kamu kalau tidak ingin celaka,” bisik Tofan di telinganya.

Tofan menggendong Dila, membawanya berjalan melewati kebun jagung, dan sampailah mereka di rumah Tofan. Disana Tofan menurunkan Dila dari gendongannya.

            “Anak seperti ini terlalu besar mas, sudah mengerti, lebih baik yang masih balita,” kata istri Tofan.

“Bagaimana lagi, adanya yang seperti ini,” jawab Tofan.

            Dila tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Yang ada di hatinya hanya ingin pulang, ingin bersama ayah ibunya.

            Dan Dila menangis keras- keras “ Aku mau pulaaaang,” teriaknya.

            Plak…sebuah tamparan mendarat di pipinya

             “ Diaam..”bentak istri Tofan.”Kalau masih menangis kupukul pakai rotan kamu!”

            Dila terhenyak. Baru kali ini ada orang tua membentaknya bahkan menamparnya. Selama ini dia diperlakukan dengan baik oleh orang tuanya, oleh gurunya, bahkan oleh pengasuhnya. Dila hanya terdiam dengan hati yang sakit.

            Air mata Dila berlinang. Dia berdoa dalam hatinya

             “Ya Allah, kembalikan aku pada ayah dan ibu. Ya Allah aku kangen, aku ingin pergi dari bapak Tofan dan istrinya yang jahat. Aku ingin pulang ya Allah”.

Dila terus menangis sampai dia tertidur malam itu.

            Pagi itu Dila berjalan dengan Ely di terminal. Bus dan kendaraan lain keluar masuk terminal, ditambah dengan penumpang yang lalu lalang menambah kian hiruk pikuk suasana.Tiba-tiba pandangan Dila tertuju pada dua orang polisi di ujung terminal. Mereka tengah berdiri disana.

            “Kak Ely, aku mau lapor polisi,” kata Dila.

            “Kata bu guru kalau ada orang yang jahat harus lapor polisi. Bapak Tofan kan jahat. Ayo kak kita kesana,” kata Dila sambil menarik tangan Ely.

            Ely merasa gugup dengan kenekatan Dila. Selama ini dia selalu tunduk dan patuh pada Tofan dan istrinya, sampai bertahun-tahun, sampai dia sebesar ini. Tapi Dila, yang masih kecil selalu ingin memberontak. Ely mengikuti saja ketika Dila menariknya untuk mendatangi polisi itu. Ketika sudah beberapa langkah hampir mendekati polisi tersebut, tiba-tiba sepasang tangan kekar memeluk tubuh Dila.Tofan menggendong Dila.Kedua polisi itu melihat ke arah mereka.

             “Wah…anak-anak ini, ibu mencari kalian. Ayo pulang, kok main jauh-jauh. Bagaimana kalau kalian diculik?” ucap Tofan keras-keras supaya didengar kedua polisi itu.

            Tofan menggendong Dila dan memberi isyarat pada Ely untuk mengikutinya. Ely semakin gugup dan takut. Mereka terus berjalan pulang. Tingkah Tofan membuat polisi tidak curiga padanya.

            Bisa dibayangkan bagaimana mereka saat sampai di rumah.Tofan langsung melempar tubuh Dila ke lantai. Kepala Dila yang membentur lantai, membuat luka yang mengucurkan darah. Tofan tidak peduli. Dia benar-benar marah saat itu.

            “Ada apa mas?” kata istri Tofan sambil keluar dari kamar.

            “Anak-anak ini mau mendatangi polisi tadi di terminal,” kata Tofan dengan muka merah penuh amarah.

            Tofan mengambil rotan yang biasa dipukulkan pada anak-anak, dan dia memukulkannya pada Ely dan Dila berkali-kali. Kedua anak itu hanya menangis kesakitan tanpa bisa berbuat apa-apa.

            “Ini pasti ulah Dila. Beberapa kali dia selalu mencari cara untuk kabur,” kata istri Tofan.

            “Mulai sekarang Dila tidak usah ikut mengemis. Biar di rumah saja,” kata Tofan.

            Hari itu benar-benar seperti neraka bagi anak-anak. Santy yang tidak tahu apa-apa, kena imbas kemarahan Tofan dan istrinya. Mereka dihukum membersihkan rumah, dan tidak mendapat jatah makan malam.

 

5

Tante Mely

 

            Sore itu di rumah Tofan kedatangan tamu. Seorang wanita separuh baya, bedandan rapi dengan make up tebal. Ely tahu wanita itu bernama tante Mely. Dia sering datang ke rumah Tofan, bertemu Tofan dan istrinya. Jika ada tante Mely, mereka bercakap-cakap dengan suara pelan.

            Sore itu Ely, Santy, dan  Dila memasuki rumah. Mereka baru pulang dari mengemis. Dila tampak terkejut melihat tante Mely. Dila ingat, wanita itu yang mendekatinya di sekolah tempo hari! Tapi penampilannya berbeda dengan saat itu. Waktu itu wanita tersebut berpakaian sopan dan rapi, dengan make up tipis. Kali ini, pakaiannya sexy dan make upnya tebal. Dila tidak pernah lupa akan wanita itu. Merasa dipandang Dila, Mely balas melihat Dila dan berkata

             “Bagaimana, betah kan kamu disini anak manis?” sapanya sambil tertawa.

            Dila merasa dongkol. Tawa wanita itu penuh cemooh.

            ”Kak Ely, itu wanita yang menculik aku di sekolah”, kata Dila berbisik kepada Ely.

            “Ely, sini kamu,” kata istri Tofan. Ely mendekati mereka. Mely memandang  Ely dari ujung rambut sampai ujung kaki.

            “Kamu rawat anak ini, pasti mahal. Kulitnya putih, wajahnya cantik,” kata Mely

            ”Hanya badannya terlalu kurus, kamu rawatlah dia.”

            “Jangan khawatir, pasti anak ini menghasilkan.”

            Tak lama, Mely berpamitan pulang. Sepulang Mely, Tofan dan istrinya memanggil Ely.

            “Ely, mulai besok kamu tidak usah mengemis lagi. Kamu di rumah saja ya.” kata Tofan.

“Ya pak” jawab Ely penuh tanda tanya, namun dia tidak berani untuk bertanya.

            Esok harinya, Ely semakin heran dengan perlakuan Tofan dan istrinya. Ely diberikan makanan yang banyak, bahkan dia diberi susu.

            “Ayo kamu minum susu ya,” kata istri Tofan.

             Ely tidak pernah minum susu selama ini. Ely merasa mual minum cairan itu.

            “Aku juga mau susu seperti kak Ely,” kata Dila.

            “Kamu gak usah”, jawab istri Tofan ketus.

            Sekitar pukul sepuluh pagi, istri Tofan mengajak Ely keluar rumah. Ely tidak tahu akan dibawa kemana. Dia menurut saja. Selama ini hal yang tidak mungkin baginya untuk bertanya sesuatu, karena yang akan dia terima hanyalah kemarahan.      Istri Tofan mengajak Ely ke salon kecantikan. Ely diam saja, ketika pemilik salon memberikan perawatan padanya, dari rambut, wajah dan tubuhnya. Ely juga dibelikan bermacam cream wajah.

            “Kamu harus pakai cream ini, tiap hari. Ini untuk pagi dan ini untuk malam hari,” kata istri Tofan pada Ely. Sore hari baru mereka pulang ke rumah.

            Sebulan lebih Ely diperlakukan seperti itu. Dia tinggal di rumah, dan jatah makannya menjadi tiga kali. Minum susu dua kali. Ely merasakan tubuhnya semakin berisi sekarang, tidak kerempeng seperti sebelumnya. Ia merasakan baju yang dipakainya sudah tidak muat. Waktu dia bercermin, pipinya tampak padat berisi. Rambutnya hitam berkilat, tidak lusuh dan kusam. Wajahnyapun kian bersih. Dia sudah tidak pernah kena panas matahari, ditambah dengan cream wajah yang rutin dia pakai. Kulit tubuhnya yang putih kini tampak berseri, tidak kusam lagi, karena beberapa kali istri Tofan membawanya ke salon untuk perawatan body spa.

            Ely tidak tahu apa rencana mereka terhadap dirinya. Yang pasti, ada kejahatan terselubung disana. Tapi Ely pasrah, dia tidak berdaya, hanya kekuatan zikir yang selalu ia ucap,”Allahu Akbar” agar ada jalan terang baginya.

            Pada suatu malam, Mely datang lagi ke rumah Tofan. Dia bercakap-cakap serius dengan Tofan dan istrinya. Kali ini, Mely membawakan Ely baju baru, pakaian dalam dan sepatu.

            “Ely, kamu ganti baju dulu,” kata Mely sambil meyodorkan tas plastik berisi pakaian. Mely menemani Ely berganti pakaian. Ely merasa asing dengan baju itu. Karena selama ini yang Ely pakai hanyalah baju usang dan lusuh. Tapi saat ini dia memakai pakaian yang masih baru. Mely dan istri Tofan mendandani Ely dengan make up yang terang. Rambut Ely juga disisir rapi.

“Kamu pakai sepatu ini,” kata istri Tofan.

             Saat mengenakan sepatu di kedua kakinya, terasa berat bagi Ely untuk melangkah. Karena selama ini dia banyak berjalan tanpa alas kaki, atau hanya memakai sandal jepit. Saat memandang wajahnya di cermin, Ely merasa asing dengan dirinya. Di hadapannya bukan lagi tampang seorang pengemis jalanan.Tapi seorang gadis cantik, dengan kulit putih mulus, berpakaian modis. Ely seperti melihat gadis-gadis  yang dia temui di jalan, berpakaian bagus, berbadan wangi. Mely juga menyemprotkan parfum beraroma lembut di badan Ely. Di hati Ely rasa gundah kian membuncah. Pasti akan ada rencana jahat lagi dari mereka. Lagi-lagi Ely tak berdaya. Dia hanya pasrah sambil berzikir, “Allahu Akbar”.

            Tofan membawa Ely mengendarai mobil bersama Mely. Mobilnya berwarna hitam, dengan kaca yang gelap pula. Ely duduk di jok belakang, sedang Tofan menyetir mobil didampingi Mely. Ely tidak tahu kemana mereka akan membawanya.         Sampai di suatu  hotel yang besar, mereka turun .Mereka masuk hotel itu dan langsung menuju lift.. Ely bingung saat berada di dalam lift. Kenapa ruangan ini bisa berjalan? Keluar dari lift, mereka menuju sebuah kamar dan masuk ke dalamnya. Di dalam kamar telah ada seorang laki-laki.

            “Ini bos, barangnya. Masih orisinil. Harga seperti yang sudah kita nego,” kata Tofan. Laki-laki itu mengluarkan dompet, mengeluarkan segepok uang. Saat akan menyerahkan uang itu pada Tofan,tiba-tiba dari kamar mandi yang ada di kamar hotel itu keluar dua orang polisi,

             “Jangan bergerak. Anda kami tangkap”.

            Kejadian itu begitu cepat berlangsung. Tofan, Mely dan Ely sangat terkejut, tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa, karena dua lelaki yang bersembunyi itu menodongkan pistol, dan memborgol Mely dan Tofan untuk dibawa ke kantor polisi. Ely juga dibawa sebagai saksi.

            Lelaki yang menemui Tofan dan Mely di hotel adalah polisi yang menyamar, karena Tofan dan Mely  sudah masuk dalam DPO dalam kasus trafficking. Di kantor polisi Tofan mengakui perbuatannya. Saat Ely dimintai keterangan, dia menceritakan tentang dirinya, Santy dan Dila. Kasus Tofan dan Mely  berkembang menjadi penculikan anak. Istri Tofan, Santy dan Dila akhirnya dijemput ke kantor polisi dengan mengendarai mobil. Mereka dijemput tiga orang polisi. Tangan istri Tofan diborgol. Dia duduk di belakang bersama seorang polisi. Di tengah, Santy, Dila dan seorang polisi wanita. Di depan duduk seorang polisi bersama sopir. Karena dijemput polisi, Dila sangat senang. Dia merasa aman sekarang. Sepanjang jalan menuju ke kantor polisi Dila mengoceh,

            ”Ibu polisi, saya diculik, waktu pulang sekolah sama tante Mely. Saya dibawa ke rumah bapak Tofan, terus saya disuruh jadi pengemis”.

            “Ibu polisi saya mau pulang ke rumah , saya diantar ya ibu polisi. Saya tidak berani pulang sendiri, nanti saya dipukul sama bapak Tofan.”

            Polwan yang membawa Dila terharu mendengar kepolosan Dila.

            ”Dila jangan khawatir ya, ibu akan menjaga Dila, sampai nanti ketemu orang tua Dila” kata polwan itu sambil memeluk Dila.

            “Terima kasih ya ibu polisi”

           

6

Pertemuan Yang Mengharukan

 

            Tiga anak diculik, yang satu duabelas  tahun yang lalu, yang kedua enam tahun yang lalu, sedangkan yang ketiga tiga bulan yang lalu. Untuk mempertemukan Dila dan orang tuanya tidaklah sulit. Dila bisa memberikan keterangan, dan kejadiannya baru tiga bulan. Disamping itu Dila tahu nomor telepon orang tuanya, sehingga seketika itu juga polisi menghubungi mereka.

            Sedangkan untuk mengembalikan Ely dan Santy kepada kedua orang tuanya, cukup sulit bagi polisi. Disamping waktunya yang sudah cukup lama, kedua anak itu tidak bisa mengingat orang tuanya. Ely diculik waktu berumur tiga tahun, sedangkan Santy waktu belum genap setahun. Akhirnya polisi menyebarkan berita di seluruh media masa. Siapa yang merasa kehilangan dua anak itu. Dari keterangan Tofan, Ely diculik di sebual mall, sedangkan Santy di sebuah arena bermain.Polisi akan terus mencari informasi siapa orang tua kedua anak itu.

            Pertemuan Dila dan kedua orang tuanya di kantor polisi sangat mengharukan. Dila langsung menangis begitu orang tuanya datang. Orang tuanyapun demikian.

            “Dila, kamu kembali nak, Alhamdulillah, terima kasih ya Allah” ucap ibunya sambil terus menciumi Dila. Melihat itu, tak terasa air mata Ely dan Santy menetes. Ada haru di hatinya. Berapa lama Ely sudah tidak bisa menitikkan air mata lagi, sejak merasakan penderitaan yang bertubi-tubi yang dilakukan Tofan dan istrinya. Kini hatinya terasa mencair, mengharu biru.

            Orang tua Dila mengamati tubuh Dila.

            ”Badanmu kurus kering, kulitmu hitam. Kamu jadi pengemis nak?” suara ibu Dila masih dalam tangis .

            “Iya bu, aku juga sering dipukul. Bapak Tofan dan istrinya yang jahat”.

             Ayah Dila melepas baju yang dikenakan Dila, dan hatinya terasa remuk ketika melihat banyak luka lebam di tubuh Dila, bekas siksaan .Dia juga melihat bekas luka sundutan rokok di lengan Dila. Spontan ayah Dila bergerak ke arah Tofan dan menghantam mukanya beberapa kali.

 “Kamu telah melukai anak saya bangsaat..” teriak ayah Dila.

“Saya tuntut bangsat ini, penculikan dan penganiayaan anak,” teriak ayah Dila geram.

            Sampai menjelang subuh proses BAP perkara itu baru selesai. Dila diperbolehkan pulang bersama orang tuanya. Sedangkan Ely dan Santy sementara dititipkan di Panti Asuhan sampai bisa bertemu dengan orang tuanya. Mely, Tofan dan istrinya dimasukkan dalam sel tahanan. Sebelum pergi, Dila berpamitan pada Ely dan Santy.

            “Kak Ely dan kak Santy, Dila pergi dulu ya. Lain waktu kalian aku ajak main ke rumah ya”. Ely dan Santy mencium pipi Dila. Mereka menangis terharu.

 

7

Rumah Yang Ada di Dalam Mimpi

 

            Tinggal di Panti Asuhan, bagi Ely dan Santy adalah memulai kehidupan baru. Setidaknya, memberi rasa yang nyaman di hatinya. Ibu panti dan teman-teman yang baik, membuat mereka merasakan ada nuansa baru dalam hidupnya. Ibu Aminah, pengasuh di Panti Asuhan itu sangat iba mendengar cerita Ely dan Santy.

            “Jadi kalian tidak pernah bersekolah? Tidak bisa membaca dan menulis?” tanya ibu Aminah.

            “Tidak bu, kami hanya disuruh mengemis sepanjang hari,” jawab Santy.

            “Sungguh tidak manusiawi orang itu. Kamu yang sabar ya? Banyak berdoa.” “    “Kami tidak pernah belajar berdoa sejak kecil,” kata Ely.

            “Disini ibu akan mengajarimu nak. Kita berdoa kepada Allah. Allah adalah Tuhan manusia. Dia yang menciptakan manusia, bumi, langit dan isinya. Maka seharusnya kita minta pada Allah, Tuhan kita.”

            “Allahu Akbar” bisik Ely dalam hati.

            Berarti Allah itu Tuhan, yang menciptakan aku. Makanya aku begitu dekat dengan lafal itu meskipun tidak ada yang memberitahuku tentang Tuhan padaku selama ini. Sejak saat itu, Ely dan Santy belajar sholat. Dia menghapalkan doa-doa sholat yang diajarkan ibu Aminah. Kini mereka merasakan hati semakin tentram dan damai, merasakan hidup yang lebih bermakna. Dengat dekat kepada Allah, juga dengan berkumpul dengan orang-orang yang menerima kehadirannya.

            Suatu hari, ada polisi datang ke Panti bersama sepasang suami istri. Mereka menemui ibu Aminah. Mereka bercakap-cakap di ruang tamu. Tak lama ibu Aminah memanggil Ely . Di hadapan mereka ada dua orang polisi dan pria bernama Fikri, bersama istrinya. Saat Ely memandang istri bapak Fikri, wajah itu tidak asing baginya. Wajah itu yang selalu ada dalam memorinya yang sayup-sayup. Ibu Fikri mengelurkan foto anak kecil berumur tiga tahun, yang persis wajahnya dengan Ely.         “Saya yakin ini anak saya pak,” kata ibu Fikri.

             Fikri juga memandang Ely. Wajah itu adalah wajah dewasa anaknya yang hilang dua belas tahun yang lalu. Ibu Fikri memeluk Ely

            “Ghania anakku…” Ely merasakan betapa hangat pelukan itu, pelukan seorang ibu.

             “Namamu Ghania, waktu itu kamu menghilang saat ibu ajak belanja di mall”.

            Waktu dan tempat yang dikatakan oleh Tofan kepada polisi, sama persis dengan hilangnya Ghania waktu itu.

            “Namamu Ghania nak, penculik itu yang menamaimu Ely”.

             “Ibuuu…” ucap Ely sambil menangis.

             Ibu Aminah menitikkan air matanya. Akhirnya, Ghania dibawa pulang oleh orang tuanya. Ely yang kini sudah berganti nama Ghania,  tidak ingin memakai nama Ely lagi, nama yang mengingatkannya pada masa kelam. Ghania berpamitan pada ibu Aminah, Santy dan teman-teman panti.

            ”Santy, aku pergi ya, semoga orang tuamu segera menjemputmu juga.”

            Ghania sampai di rumahnya. Dia masuk rumah itu. Dia tidak merasa asing dan langkah kakinya serasa pernah di rumah itu. Saat dia di dalam rumah dan melihat keluar melalui jendela kaca, dia lihat taman bunga yang luas. Taman yang ada dalam memorinya. Yang sering muncul dalam mimpinya.

            “Ibu, aku selalu ingat rumah ini. Selalu ada dalam benakku,” kata Ghania pada ibunya.

            “Ya nak, masa kecilmu dulu disini. Tidak ada yang berubah. Kamu lihat kamarmu, bonekamu, masih ada disana”

            Ghania masuk ke kamarnya. Disana ada kasur dan meja yang dipenuhi boneka. Di dinding ada foto dirinya semasa kecil bersama ibu dan ayahnya.

            “Ayah dan ibu selalu berdoa, kamu akan kembali pada kami,” kata ayah Ghania.

            ”Sekarang  Allah mengabulkan doa kami, kita sudah berkumpul lagi”.

            Ghania mempunyai adik laki-laki yang berumur sepuluh tahun, Azzam namanya. Sejak kedatangan Ghania, keluarga itu tampak bahagia. Tak ada lagi wajah muram Fikri dan istrinya.

            Seminggu sesudah kepulangannya ke rumah, Ghania mendengar kabar jika Santy sudah dijemput orang tuanya juga.

             “Alhamdulillah..” ucap Ghania. Sekarang lengkap sudah kebahagiaan mereka bertiga, karena sudah kembali kepada orang tua masing-masing. Kini Ghania benar-benar memulai hidup yang baru .Memori yang sayup-sayup terjawab sudah. Ternyata memori itu adalah kenangan masa kecilnya, yang kini sudah dia temukan lagi.

 

 

 

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerpen yg sangat bagus membuat para orang tua waspada bu

15 Jan
Balas

Terima kasih atas masukannya

16 Jan
Balas



search

New Post