Yuli Trianto

Penulis "Intuisi Cerita Pagi dan Bening Bola Mata Raisha," belajar menuangkan imajinya dalam bentuk tulisan. Walau tak cukup bekal teori menulis ia selalu saja ...

Selengkapnya
Navigasi Web
TERLAMBAT PULANG
belitung.tribunnews.com

TERLAMBAT PULANG

Mungkin pulang sedikit terlambat. Entahlah dengan hari ini. Pekerjaan yang biasanya tak sampai tertunda walau sudah memasuki ekstra time pun masih saja belum kelar. Secangkir teh suguhan sampai terlupakan. Kembali menjadi air dingin dan terabaikan panasnya yang seharusnya menyemangati hawa lelah. Aku mesti menyusun laporan keuangan mingguan agar esok hari tak berbenturan dengan tugas lain. Sebenarnya bukan tugasku. Tetapi temanku yang berkewajiban menyelesaikan laporan ini cuti melahirkan, hingga aku yang harus bertanggungjawab mengurusnya.

Mataku sedikit berair. Mungkin pengaruh cahaya dalam ruangan itu yang mulai redup hingga fokusku terhadap laptop semakin terkuras. Kuambil selembar tisu dari dalam kotak di atas mejaku. Kuusapkan pada kedua sudut mataku yang berair. Saat ini secangkir teh yang sejak tadi aku biarkan tiba-tiba menggoda untuk diminum. Aaaah… Manisnya cukup berasa, namun pahit khasnya tak hilang begitu saja. Walaupun sudah sangat dingin namun lumayan memberi sedikit motivasi untuk memacu semangat.

“Mau sampai jam berapa pak?”

Suara Ibu Yanti dari ruang sebelah yang hanya bersekat papan triplek setinggi bahu mengejutkanku. Rupanya beliau juga belum beranjak dari meja kerjanya. Aku bangkit dari duduk, membalikkan badan melongok ke arah beliau.

“Entah bu, tampaknya nggak bisa selesai hari ini.”

“Kalau emang nggak selesai ngapain dipaksa? Nggak harus hari ini kelar kan?”

“Iya nggak sih. Pikirku bisa selesai biar besok konsen yang lain.”

“Nyatanya?”

Kedua tangan Ibu Yanti menjulur ke depan, seperti menengadah namun hanya setinggi pinggangnya. Haha… ini ekspresi bercanda meledekku karena memang pekerjaan tak mampu kuselesaikan hari ini juga. Tas jinjing warna hitam diambilnya. Komputer kerja mulai diclose seluruh aplikasi yang seharian digunakan. Tampaknya ia segera pulang. Aku paham itu.

“Mau pulang Bu Yanti?”

“Iya lah, nggak ada perhitungan uang lembur kan? Buat apa susah-susah ngabisin waktu. Besok juga masih ketemu lagi.”

Tukasnya sembari bergegas meninggalkan ruangan. Aku nyaris sendirian di ruangan ini. Keluar sebentar menukar hawa. Di teras laborat IPA masih berkumpul beberapa anak dan pembimbing ekstra. Tampaknya mereka sibuk merakit alat praktik roket air.

Cuaca sedikit berkabut, hawa dingin mulai terasa. Tiba-tiba handphonku bergetar. Kubuka pesan singkat istriku yang terlambat pulang mampir besuk temannya di rumah sakit. Aku kembali masuk ke ruang kerjaku. Letih berasa. Rasanya tak mampu lagi meneruskan pekerjaan. Aku kembali duduk, tetapi tidak untuk kembali bekerja. Berkemas, laptop dan dan perkakas lain sengaja aku tinggal di lemari. Aku ingin sesampainya di rumah cukup istirahat tidak lagi terbebani pekerjaan. Cepat pulang dan bermain dengan anakku. Tiba-tiba itu yang terbayang.

Jalanan sore tak sepadat biasanya, aku leluasa memacu motorku. Setengah jam sampai di rumah. Pintu depan terbuka lebar, televisi menyala. Tapi sepi. Pikirku pasti Hanung anakku mengajakku bercanda. Seperti biasanya ia memang suka bercanda. Empat tahun satu bulan usia Hanung. Akupun tak mau kalah dengan siasat Hanung. Paling dia tahu aku pulang lantas bersembunyi di balik pintu kamarnya. Setelah melepas sepatu dan menaruh tas kerjaku, perlahan aku mengendus ke dalam kamar Hanung. Pelan sekali, langkahku sama sekali tak bersuara.

“Doooor..!!”

Ucapku keras, berharap Hanung yang bersembunyi di balik pintu seperti biasanya terkejut. Tetapi, sepi… Tak ada respon apapun yang aku dapati. Tak ada sahutan Hanung seperti biasanya. Tak ada pelukan tangan kecil yang menubruk, mendekapku. Aku terkecoh. Permainan apa lagi yang Hanung lakukan ini. Aku tersenyum, tetapi malu sendiri.

“Hanung, ini ayah, di mana kamu bersembunyi?”

“Hanuuuuung, ayah sudah pulang, di mana kamu?”

Tetap saja sepi. Penasaran dengan ulah Hanung sore ini. Aku tak mau berlama-lama, ingin segera mendapati tempat ia bersembunyi. Lampu ruang tengah aku nyalakan. Dan… Haaaahh, betapa terkejutnya ketika ceceran darah menetes di lantai. Aku mencoba mencari sumbernya. Berawal dari depan pintu gudang sampai ke teras, ceceran darah itu membentuk garis. Aku panik. Pikirku pasti terjadi sesuatu dengan anakku.

Aku bergegas ke rumah Rizal, teman seumuran Hanung yang biasa bermain bersama. Namun tak ada di situ. Dengan bahasa cedal Rizal menerangkan Hanung sudah pulang dari rumahnya.

“Tadi diantar nenek ke sini, tapi tidak lama terus pulang.”

Mbak Rose, ibunya Rizal menjelaskan. Semakin panik. Kucari Nenek di rumahnya. Aku tanyakan keberadaan Hanung, tapi tidak juga aku dapati. Tuhan, pertanda apa ini. Ada apa dengan anakku. Tetangga yang sejak tadi memperhatikan kepanikanku mulai berdatangan. Menanyakan apa yang terjadi. Aku tunjukkan ceceran darah di sepanjang lantai rumahku. Mereka terkejut. Menduga-duga. Banyak spekulasi keluar dari mulut mereka. Kepanikan semakin memuncak ketika istriku pulang. Melihat kerumunan orang di rumahku, bertanya dengan suara keras.

“Ada apa ini?”

Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan istriku, karena semua tak ada yang tahu apa yang telah terjadi. Istriku semakin panik, bahkan menjerit histeris.

“Ayaaaaahh, apa yang terjadi….???”

“Di mana Hanung…???”

“Kenapa semua diam…???”

Beberapa orang mencoba mencari Hanung. Ke kolong tempat tidur, ke gudang, bahkan sampai ke belakang rumah. Galian tempat sampahpun mereka cari. Semua nihil.

“Ya Tuhan… Apa yang terjadi dengan Hanung.”

Aku terduduk lemas. Semakin panik. Tetangga semakin banyak berkerumun di depan rumahku. Tak tahu apa yang harus aku lakukan. Ya Tuhan, selamatkan anakku. Aku bangkit dengan langkah gontai. Masuk ke kamarku. Aku nyalakan lampu dan menjatuhkan punggungku di kasur. Pasrah adanya.

Aku menghela nafas dalam-dalam. Kepalaku mulai nyeri karena berpikir keras. Mataku mengarah ke pintu lemari pakaian di sudut kamar. Pintunya sedikit terbuka. Ada yang janggal di situ. Aku segera bangkit, kubuka pintu lemari. Dan betapa terkejutnya aku.

“Hanung…!!!”

Aku setengah teriak, Ya Tuhan… ternyata aku dapati Hanung bersembunyi di rak lemari pakaianku. Ia tertidur pulas di dalam lemari dengan posisi duduk bersandar pada bantal yang berdiri di dinding lemari. Rupanya ia sengaja bermain di situ, namun teridur pulas. Tak sabar aku memeluknya, menggendongnya. Hanung pun terbangun kebingungan. Aku bergegas keluar kamar, tetanggaku berdatangan menghampiri anakku. Senyum, tawa, melepas ketegangan yang sempat menyelimuti. Rupanya ceceran darah di sepanjang lantai dari pintu gudang sampai ke teras adalah seekor kucing yang membawa buruannya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

ikut deg-degan sambil baca

08 Nov
Balas

Hehe ibu, maafkan daku

08 Nov

Mantap Pak.

06 Nov
Balas

Terima kasih pak pras

06 Nov

Oalaah ternyata..... Saya ikut tegang Pak

06 Nov
Balas

Hehe ibu, maafkan daku bikin tegang..

06 Nov

Luaaar biasa...meski nyata, jika ini fiksi juga sgt menarik....

06 Nov
Balas

Satu dari praduga ibu benar adanya..

07 Nov

Ketegangan, yang penuh praduga, menarik menggelitik dan tersenyum lega

06 Nov
Balas

Hanung membuat cerita terindah dlm hidupku

06 Nov



search

New Post