Yuli Trianto

Penulis "Intuisi Cerita Pagi dan Bening Bola Mata Raisha," belajar menuangkan imajinya dalam bentuk tulisan. Walau tak cukup bekal teori menulis ia selalu saja ...

Selengkapnya
Navigasi Web

TIRAI SAMAR

Tirai samar jendela ruang tengah mblawuk (kusam) ketika aku berdiri di dekatnya. Mungkin karena sudah terlalu lama terpasang tanpa terpikirkan untuk dicuci. Ya begitu. Tidak jarang penghuni rumah mengabaikan. Padahal berharap, sering mendengar slogan “rumahku surgaku.” Baaaah! Surga macam apa ini. Tirainya saja mblawuk dan bedebu? Jangan sesal lho… Jika jatah kita kelak tidak sesuai dengan harapan. Mencari surga kok loyo…?

Aku juga heran, padahal setiap hari istriku bermarkas di situ. Duduk berlama-lama dekat jendela. Aku kira apa. Ternyata hanya sebatas mencari tempat terbaik mendapatkan sinyal selulernya. Iya tanpa peduli tirai mblawuk.

“Berapa kali kamu pernah cuci tirai ini Mel?”

Tanyaku pada Pamela yang sedang asyik chating dengan wajah serius. Ia tak menjawab. Sedikit tersenyum, itupun terkesan dipaksakan. Aku sedikit melirik, mengintip layar handhpon yang ia pegang. Tetapi buru-buru dialihkan ke aplikasi lain.

“Berapa hari kering kalau tirai ini dicuci Mel?”

“Sehari juga kering.”

Jawabnya datar. Masih saja tanpa ekspresi. Benar, tirai tipis seperti ini tak membutuhkan panas yang terik. Tak membutuhkan waktu terlalu lama untuk kering jika dijemur. Artinya hal sederhana mestinya. Bisa dilakukan kapan saja, asal mau.

“Kan lepas dan masangnya yang sulit.”

Istriku mulai berdalih. Aku paham betul kalimatnya. Ia tak mau repot dengan bongkar dan pasang tirai. Aku mengambil kursi plastik warna biru, berdiri di atasnya, melepaskan tirai tipis itu dari pengaitnya. Benar, sudah sangat kotor. Karena seingatku dua tahun lebih semenjak dipasang masih tetap tak berubah. Mengharapkan keindahannya sebagai penghias rumah, tetapi menyentuh saja enggan. Mustahil.

“Ini mudahkan lepasnya?”

Istriku meletakkan handphone, bergeser dari duduknya. Tirai kotor itu aku letakkan di atas lantai. Aku mencari ember besar di ruang belakang. Tirai kotor aku taruh di situ.

Waaah… tampaknya ruangan menjadi lebih cerah tanpa tirai terpasang. Terkesan polos, iya benar. Aku keluar rumah mencari udara segar. Rangga si bungsu asyik bermain istana pasir bersama Reza di sudut halaman. Rupanya onggokan sisa pasir ia manfaatkan sebagai permainan yang mengasyikkan. Membuat gunung-gunung, melubangi bagian tengahnya, lalu perlahan ambruk berantakan. Itu yang mengsyikan Rangga. Terus diulang beberapa kali permainan serupa. Membuat gundukan pasir, menggugurkannya kembali. Aku tersenyum, geleng kepala. Tetapi itulah keindahan, kebahagiaan di alam Rangga. Dalam kesederhanaan.

Aku kembali masuk ke ruang tengah. Istriku sudah beranjak dari duduknya. Ember besar tempat tirai kotor juga sudah berpindah tempat. Hanphonnya di taruh di jendela. Tampaknya bergetar, menandakan ada pesan masuk. Sedikit aku peduli, mengintip. Lalu membacanya.

“Iya mbak, laki-laki itu egois. Nggak pernah tahu keinginan perempuan. Maunya dilayani. Giliran kita minta sesuatu hanya diam.”

Aku tersenyum. Seolah Yuni, teman chating istriku tahu kalau pesan itu aku yang baca. Ini maksudnya nyindir apa? Aku penasaran dengan obrolannya. Berusaha tahu lebih dalam apa yang mereka perbincangkan hingga istriku betah berlama-lama duduk di dekat jendela hanya memegangi hanphone.

Betapa terkejutnya aku. Obrolan panjang lebar berhari-hari ternyata tema obrolannya tak lepas membicarakan suami. Tentunya aku. Tentang perhatianku yang tak sesuai. Tentang keinginannya yang tak pernah tercapai. Dan… yang membuatku terhentak, ketika aku membaca pesannya, bahwa penyakit kista (sejenis tumor dalam kandungan) yang diderita istriku semakin membesar. Menyiksa istriku. Dan aku dituduh biang, penyebab kista. Astaghfirullah…

Ada hal yang membuatku merenung. Meraba diri. Ternyata diamnya Pamela karena aku egois. Tak mau paham dengan istriku. Tak mau mengerti tentang dirinya. Dan gumpalan rasa yang tersimpan membeku membentuk kista di perutnya. Baaaaaah! Teori apa itu. Rupanya Yuni bukan teman yang cocok untuk dia berkeluh kesah. Buktinya mengiyakan, memperkuat tuduhannya terhadapku.

Lepas dari obrolan istriku dengan Yuni, dalam kesendirian di kamar aku kembali merenungi kisah perjalanan hidupku dengan Mela. Sudah aku katakan dari awal, prinsip hidupku sederhana. Tak mungkin mengejar kemewahan. Aku tak mungkin menggapai sesuatu yang mustahil. Tetapi tampaknya berbeda. Pamela yang terbiasa hidup berkecukupan, karena orang tuanya memanjakannya, menjadi terbelenggu hidup denganku.

Sebenarnya kesederhanaan yang aku rancang bukan untuk menyiksanya. Bukan untuk menimbun penyakitnya. Apalagi sampai memberikan siksaan kista di perutnya. Tetapi kesederhanaan yang aku mau adalah menerapkan hidup hemat, menikmati yang aku bisa, mencari kedamaian hidup tanpa berpikir keras menjangkau yang serba tak mungkin. Aku mengarahkan Mela dalam kesederhanaan. Selalu menjejali dengan pendekatan agama. Sering aku katakan bahwa hidup adalah perjuangan. Lelah itu pasti. Kurang itu sering ditemui. Dan tekanan itu bagian dari siasat lawan untuk menghancurkan.

Astaghfirullah… Rupanya Mela tak mempan dengan strategiku. Pendekatan agama yang aku bawa, tertolak. Kesederhanaan yang aku rancang tak tepat bagi dirinya. Pesan singkat dari Yuni, membuatku lebih dalam berpikir. Berkaca dan meraba. Terima kasih Yuni. Apapun katamu, tahumu tentang aku hanya sebatas itu.

Istriku dalam pengendalianku. Bukan bermaksud mengekangnya, tetapi karena tindakanku berdasar. Teori ekonomi yang aku terapkan harus balance (seimbang) pendapatan dan pengeluaran. Hidup adalah perjuangan. Aku tak mau lalai dalam berjuang. Berjuang itu melelahkan, sakit dan luka-luka. Foya-foya dan berpesta pasti akan melalaikan, menutup mata hati. Berjuang itu menempuh perjalanan panjang. Gelap terang sesuatu yang pasti. Hujan, terik tak bisa dihindari. Propaganda menciutkan nyali. Provokasi membenturkan kesepakatan.

Pamela, maafkan aku. Kembalilah pada pengertian yang aku tanam tentang kesederhanaan yang mampu menghantarkan kita dalam gemerlap cahaya keabadian. Tepis anganmu, palingkan pandangmu tentang gebyar yang menyilaukan. Percayalah, kenyamananmu semakin menjauh jika yang engkau harap terlalu berlebih. Kistamu itu ayat Allah, agar engkau baca pesan yang sesungguhnya. Bahwa perutmu harus cukup ruangan. Memberinya rongga udara dengan sesekali berpuasa. Pakaiannmu itu tak perlu warna-warna yang mewah. Tak perlu terlalu modis. Cukup kerudung menutup hingga batas yang ditentukan. Terima kasih Yuni, engkau menyerupai marka jalan bagiku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerpen kan? penuh makna

19 Nov
Balas

Gih bunda, matur suwun.

19 Nov

Waah,,,

18 Nov
Balas

Yeeeeeaaaa...

18 Nov

Terpenjara tirai mblawuk, mungkin anugerah terindah, hiasan alami buah karya waktu, angin dan kedamaian. Terima kasih mba yuni, sudah mengingatkan. Mantap.

18 Nov
Balas

Saya pak Yuli, bukan mbak.Hehe Matur suwun pak pras.

18 Nov

Woooww Yuhuu Pamela Pamela..

18 Nov
Balas

Hehe, makasih dah singgah

18 Nov

Setiap niat baik tak selalu baik bg orang lain, karena pikiran sadar sangatlah kritis, sedang keyakinan ada di pikiran bawah sadar, itulah mengapa sugesti di pikiran sadar lebih mudah diterima. Semoga usai workshop nanti panj bisa menyadarkan istri tanpa hrs menyakiti hatinya in syaallah

18 Nov
Balas

Aamiin Yaa Rabb

18 Nov

Maaf maksud sy sugesti pd pikiran bawah sadar lebih bisa diterima in syaallah

18 Nov
Balas

Gih bu Puspa, terima kasih segala sumbangsih'a.

18 Nov

Good

18 Nov
Balas

Thanks

18 Nov



search

New Post