Hei, bangun! Gugah Aku sambil mengguncang-guncang Saya. Lihat, matahari sudah meninggi, bukannya kau harus pergi?! Saya melenguh, menggeliatkan tubuh lalu menggelungkan raga, menyusupkan kepalanya ke hangatnya duka. Aku menatapnya. Saya, katanya lembut, bangunlah. Bergeraklah. Tak elok selalu memeluk duka. Diluar sana banyak cerita. Mungkin kau akan menemukan canda hingga dukamu berganti suka. Tangismu hilang berganti tawa. Mata Saya perlahan terbuka. Menatap Aku tanpa bicara. Lalu duduk. Lalu gontai melangkah. Bersandar dibibir jendela ia melayangkan pandang. Ke langit yang membentang. Ke awan yang berarakan. Ke bumi yang makin terang. Ke pohon-pohon yang menjulang. Seekor burung terbang, terjepit diparuhnya seutas ranting turut terbang. Sekeping angin hinggap dipipi Saya yang gersang berikhtiar menyejukkannya. Bertanya Saya pada semua yang dipandangnya. Sampai kapankah ia bertahan, pada duka yang berkubang-kubang. Ia terjerembab di sana berulang-ulang, begitupun ia berusaha bangkit berulang-ulang tanpa rekan. Ia seakan abadi bersahabat dengan arimata yang berjatuhan. Ia seakan abadi bersahabat dengan senyap yang bertautan. Rindu ia pada harapan yang ia gantung diatas awan. Aku mendekat, memeluk raga Saya dari belakang. Perlahan Aku melarutkan tubuhnya ke tubuh Saya. Seakan lembar-lembar kabut menyusup menyatu terus melarut. Merasai sunyi meski berbinar cahaya pagi. Sampai akhirnya, Saya dan Aku benar-benar menjadi seorang diri. Di diri cinta dan benci silih berganti datang dan pergi mengacaukan hati.Saya dan Aku dalam tautan abadi menjalani hidup seorang diri. Berteman dengan senyapnya sepi. Menyusuri waktu yang entah kapan akan bertepi.

#TantanganGurusiana (hari ke-26)