Friendzone (15)
#harike396
--
"Bisa dijelaskan tentang teman SMAnya?" Mas Priyo berkata pelan namun penuh tekanan setelah membaca pesan-pesan yang ada di gawaiku.
Aku mengeluh dalam hati. Kalimat itu terdengar mengintimidasi. Sesungguhnya aku juga bingung menjawabnya. Demi Allah aku tak punya kekasih zaman SMA.
Kecuali ... Innalillahi, aku tiba-tiba teeingat Beni. Apakah ini ada hubungannya dengan dia?
"Tunggu, Pah. Pinjam ponselku sebentar," jawabku cepat sambil mengambil gawaiku dari tangan suamiku.
Mas Priyo terlihat bingung. Namun diserahkannya juga gawaiku. Aku segera mencari nomor Beni dan membuat panggilan untuknya di depan suamiku.
Terdengar dering nada tunggu. Beberapa jenak kemudian tersambung dan terangkat.
"Halo, ada apa, Li?" Dari seberang sana terdengar suaranya.
Aku beruntung dia terdengar serius. Mungkin ada orang lain di dekatnya. Klo sedang kumat usilnya dan dia tiba-tiba bertanya, kangen, ya, bisa jadi perang dunia di sini.
"Ben, kukirimi nomor telepon, ya. Tolong dicek, kamu tahu nggak itu nomor siapa," jawabku cepat.
"Boleh. Ada apaan, sih?"
"Udah, gk usah banyak tanya."
Selesai menjawab telepon langsung kumatikan. Aku merasa sedikit geli membayangkan dia keheranan. Di sini juga Mas Priyo terlihat semakin keheranan. Rapi aku bergegas mengirim nomor telepon Si Peneror itu. Setelah mengirimnya, aku menunggu dengan tidak sabar. Ayolah, Ben. Kutunggu jawabanmu segera.
Begitu terlihat kalimat 'mengetik' aku semakin bersemangat menunggu.
- Iya, aku tahu. Ada di listku.
+ Siapa?
- Kenapa, sih?
+ Sudah buruan. Penting ini.
- Bikin penasaran, deh.
+ Beniiiiii...
- Iya iya. Itu nomor Ocha.
- Ocha siapa? Apanya kamu?
- Adik tingkat waktu kuliah. Bukan apa-apa, sih. Teman aja.
Jawaban Beni membuatku sedikit lega. Ada titik terang. Meskipun demikian, terasa sedikit khawatir juga. Kuputuskan untuk langsung menelepon Beni saja.
"Ben, maaf pertanyaan sedikit pribadi," kataku begitu diangkat olehnya.
"Boleh."
"Kamu pernah ada hubungan dekat sama dia?"
Beni terdengar tertawa di seberang sana. Kok kedengarannya tawa puas begitu, ya.
"Apa itu mengganggumu?"
"Serius, Ben."
"Iya aku serius. Kujawab kalau kamu menjawabku."
"Yang jelas sangat menggangguku."
"Waduh, aku tersanjung,"
"Aku serius banget, Ben. Dia menggangguku dan juga mengganggu suamiku."
"Apa?"
--
Bersambung
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Akhirnya penelpon misteri terkuak siapa orangnya. Cinta selalu ada resikonya. Sukses selalu Bu Yuniar. Salam literasi.
Wadaw, ternyata bencana. Beni dah geer juga haha....
Wah...seru nih... Ditunggu lanjutannya, Bu Yuniar...
wah cemburu ceritanya,makanya neror gitu....keren ...lanjut salam sukes selalu
Wafuh sku tersanjung ... keren. Semoga sehat di ramadhan ini Aamiin
Wah, ternyata ada yang iri karena cintanya bertepuk sebelah tangan nih. Bakal rame kayaknya. Hahaha...
Waduh Bun... singkat amat .. jadi ternantii2 saya... lanjuut
Seru banget ceritanya. jadi tak sabar awak menunggu kelanjutanya
Makin seru kisahnya ... lanjuuutt, Bu. Salam sukses.
Lalu?
Besok, ya, Bu. Nulis pakai hp di atas mobil banyak typo, hihihi...
Mari kita bersabar menunggu kelanjutannya. Semakin gregetan ini. Hahah...