Friendzone (20)
#harike401
--
Aku melangkah di salah satu gedung besar rumah sakit swasta itu. Meskipun aku sudah tahu dari informasi kawan-kawan di grup, aku tetap mendatangi meja perawat di bagian depan gedung ruang VIP untuk menanyakan arah menuju kamar yang kutuju. Setelah mengucapkan terima kasih aku segera menuju tujuanku.
Sesampai di depat pintu aku agak sedikit ragu-ragu. Pintunya tertutup rapat. Aku khawatir mengganggu Beni yang sedang beristirahat. Namun akhirnya aku mengetuk pintunya dan perlahan membukanya ketika kudengar suara mempersilakan masuk.
Kulihat ada seorang tamu yang sedang bercakap-cakap dengan Beni. Aku tersenyum dan mengangguk pada tamu yang tidak kukenal itu. Melihatku Beni terlihat hendak bangun. Tapi aku dan tamu itu mencegahnya. Beni masih sedikit lemah.
“Hai, Li. Sama siapa?” tanya Beni.
“Sendiri. Aku ketinggalan kawan-kawan,” jawabku.
“Kawan-kawan nggak mau ngganggu kamu. Kamu kan orang sibuk,” katanya sambil tersenyum.
“Oya, ini Erry teman SMPku. Er, Laili ini teman SMAku.” Beni memperkenalkan kami.
“Teman apa teman?” goda Erry.
“Maumu apa?” Jawab Beni yang kusambut dengan cibiran sambil ikut tersenyum.
Kami bertiga tertawa bersama. Setelah berbasa-basi sejenak, Erry bangkit dari duduknya.
“Ya, sudah, aku pamit dulu, Ben. Gantian ngobrolnya,” katanya.
“Lho, kok buru-buru. Saya jadi nggak enak, nih,” jawabku.
“Halah, santai saja. Saya sudah dari tadi. Tuh lihat, Beni sudah bosan ngobrol sama saya.”
“Haish, sudah sana pergi,” canda Beni.
“Iya iya,” balas erru sambil tertawa dan segera keluar.
Aku bangkit dan meletakkan keranjang buah yang kubawa di meja dekat Beni. Lalu aku duduk di kursi yang ada di sebelah tempat tidur.
“Sudah enakan?” tanyaku.
“Ya, gini, deh,” jawabnya.
“Kawan-kawan sudah dari kemarin, kok kamu baru kelihatan,” lanjutnya.
“Nggak ada bedanya aku datang kemarin sama sekarang, kan?” jawabku.
“Bedalah. Aku nunggunya kelamaan.”
“Halah, aleman,” kataku sambil pura-pura mendelik.
“Kupikir Ocha menungguimu,” lanjutku.
“Nggak usah mbahas Ocha. Aku repot kalau ditungguin dia. Nangis terus, bikin aku tambah pusing. Untung tadi pagi dia mau pulang setelah dijemput ayahnya.”
Aku tertawa. Ada orang yang cinta mati begitu kok malah pusing. Harusnya Beni merasa senang ada orang yang selalu siap mendampinginya.
“Oya, kemarin dia juga cerita sambil nangis. Katanya barusan dimaki-maki sama kamu,” kata Beni kemudian.
“Apa? Kamu percaya?” Kataku sambil tertawa.
“Blas,” Beni menjawab sambil ikut tertawa.
Kami tertawa bersama. Blas maksudnya ‘babar blas’ alias sama sekali tidak. Bagaimana kami tidak tertawa. Yang memaki-maki siapa, yang dituduh siapa. Menyebalkan sekaligus menggelikan. Namun tawaku segera terhenti dan reflek berdiri ketika Beni tiba-tiba terbatuk-batuk.
“Sudah Ben, sudah, Jangan tertawa lagi,” kataku khawatir.
Beni masih tertawa sambil terbatuk-batuk. Aduh, aku malah jadi kasihan. Aku tidak berani menawarkan air minum mengingat penyakitnya. Bingung juga aku bagaimana membantunya.
Setelah beberapa saat batuknya berhenti. Beni terlihat masih menahan tawa walau sambil meringis-ringis.
“Sudah, Ben. Aku bingung, nih, mbantuinnya gimana.”
Beni mengangkat tangannya sambil tersenyum menenangkan. Aku duduk kembali. Aku berniat untuk mengurangi percakapan yang memancing dia tertawa. Khawatir dia terbatuk-batuk lagi. Atau mungkin aku segera pulang saja.
Percakapn selanjutnya hanya seputar keluarga dan kesibukan kami masing-masing. Beni juga bercerita tentang penyakitnya. Mendengarnya aku jadi merasa sedih.
Baru sebentar saja obrolan kami ketika pintu diketuk lalu beberapa orang memasuki ruangan ini. Ada Deni adiknya dan beberapa orang yang tak kukenal. Beni memperkenalkan mereka sebagai Om dan Tantenya. Aku tersenyum sambil menyalami mereka. Sepertinya ini kesempatan yang pas untuk pamit.
“Aku pamit, dulu ya, Ben.”
“Eh, jangan. Mosok baru sebentar kok pamit,” jawab Beni.
“Kalau aku di sini kelamaan kamu nggak bisa istirahat. Aku juga terusan dari sekolah ini, belum pulang. Takutnya dicariin anak-anak. Insyaallah setelah kamu pulang aku ke rumah,” kataku sambil berdiri dan berpamitan dengan keluarga Beni juga.
“Li, tunggu,” kata Beni.
“Apa?” Aku melangkah mendekatinya kembali.
“Terima kasih,” katanya sambil menatapku.
Aku hanya mengangguk. Tak tahu harus menjawab apa. Sesaat kemudian aku melangkah mundur sambil melambaikan tanganku pelan. Sesungguhnya aku tidak tahan melihat wajah pucatnya.
--
Bersambung
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Makin asyik mbak Yun.. Lanjuuut,,, Sukses selalu
Sakitnya dobel tuh. Plus...sakit cinta kayaknya. Ditunggu lanjutannya. Izin follow bun. Salam kenal. Trm ksh.
Waspada dengan keadaan. Cinta kembali bersemi karena sering bertemu maupun kasihan. Indah ceritanya Bu Yuniar. Salam literasi.
Ayo, Ben. Semangat. Buka hatimu untuk yang lain. Hehe...
Menarik sekali ceritanya. Semoga sehat dan sukses selalu Bunda.
Segara sembuh ben dari sakit rasa dan raga. sehat dan sukses selalu bu cantik
cinta mati atau cinta buta... moga beni juga dapat cinta sejatinya... keren bu Yuni
Mantsp ceritanya Bu dan sukses untuk ibu
Keren Bu cerpennya, ceritanya semakin menarik dan mantap sekali, sukses selalu untuk Ibu
Semakin menarik. Apakah Beni bisa move on dari Laili? Salam sukses Bunda.
Menarik ceritanya Bu. Maaf baru bergabung lagi. Sukses Bu.
Selalu Baper Bun.. Mantap. Sukses selalu ya Bun
Mantab banget kisahnya bu.
Kisah percintaan selalu menarik..bahagia dan kecewa pasti ada di dalamnya..seru Bun.. Ceritanya..salam sukses
Keren banget Bu. Seru tentu mengikuti ceritanya.
Kisahnya makin mantul, Bu. Ditunggu berikutnya. Salam sukses.
Kisahnya kian menarik, bunda memang jago kalo buat cerita , salam sukses selalu
Cerpennya menarik bu
Aduh... baper lagi deh jadinya. Bu Yuniar jago deh membolak-balik suasana. Hiks...