Friendzone (21)
#harike402
--
Dua hari setalah aku menengoknya di rumah sakit, ternyata kondisi Beni memburuk. Dengan berbagai macam pertimbangan Beni akhirnya dibawa ke rumah sakit internasional di ibukota propinsi. Kawan-kawan yang posisi di sana juga bergegas untuk menengoknya sekaligus memberitahukan kabar terkini tentangnya.
Aku sempat mengirim pesan pribadi padanya ketika kudengar dia pindah rumah sakit. Aku tidak mengharap dia segera membalas mengingat kondisinya. Aku hanya menanyakan kabarnya dan juga apa yang dirasakannya. Aku juga menanyakan apa yang kira-kira bisa kulakukan untuknya.
“Doakan aku saja, Li. Yang kamu lakukan sudah sangat banyak untukku. Terima kasih untuk semuanya,” balasnya sepuluh jam kemudian.
Hanya itu saja pesan yang tertulis untukku. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Namun ternyata itu adalah pesan terakhir yang ditulisnya untukku. Setelah itu kudengar kondisinya semakin memburuk.
Aku tebangun salat malam seperti biasa. Segera aku mengambil air wudhu dilanjutkan dengan menikmati sujudku. Meminta doa untukku, suamiku, dan juga memohon kesembuhan untuk Beni, sahabat terbaikku. Seusai salat aku menengok telepon seluler yang kuisi daya sejak semalam. Gemetar aku membuka pesan ketika nama grup SMAku berubah menjadi kalimat ‘Selamat Jalan, Ben.” Ya, Allah, apa yang terjadi?
Karena kesibukan seharian tadi aku tertidur cukup nyenyak semalam. Ternyata pada pukul sebelas malam tadi, Beni sudah tidak mampu bertahan lagi. Allah sudah memanggilnya, mendahului ayah-ibunya, saudara-saudaranya, juga kami teman-temannya.
Aku jatuh terduduk di tempatku. Rasa tidak percaya bercampur dengan penyesalan mengapa tidurku begitu lelap tadi. Apa yang sudah kulakukan untuk Beni. Rasanya aku hanya membuat kesedihan saja untuknya. Di hatiku yang paling dalam aku tahu bahwa Beni sesungguhnya memang sangat menyayangiku, sama seperti aku sayang padanya. Aku menyesali kebodohannya. Seharusnya dia menyerah saja, dan memilih siapapun yang menyayanginya melebihi sayangku padanya. Aku menangis tergugu tanpa suara. Aku belum sempat meminta maaf lagi padanya
Entah sudah berapa lama aku terduduk di sini. Adzan Subuh berkumandang dan kurasakan Mas Priyo mendekatiku dan memegang bahuku. Aku sedikit terkaget, namun tak lama aku membenamkan kepalaku di dada suamiku. Kutumpahkan kesedihanku.
“Beni, ya?” tanyanya.
Aku tidak menjawab hanya menganggukkan kepalaku kuat. Saat ini aku yakin tidak ada rasa cemburu pada diri suamiku. Aku tahu dia sangat mengerti bagaimana hubungan kami. Mas Priyo mengelus kepalaku pelan. Itu sudah sangat menenangkanku.
“Subuh dulu, yuk. Kita doakan dia sesudah salat nanti,” katanya beberapa saat kemudian.
Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk. Tak lama kami sudah tenggelam dalam doa panjang sesudah salat Subuh pagi ini.
“Pemakaman jam berapa? Nanti kuantar,” tanya Mas Priyo.
“Nggak tahu. Belum sempat baca,” jawabku pelan.
“Nanti kabari saja kamu mau ke sana jam berapa,” katanya.
Tak lama kami segera bersiap untuk kegiatan harian kami. Walau masih ada duka di hatiku, aku harus tetap bersemangat menjalani hariku. Kebetulan ini adalah hari MGMP. Artinya jam mengajarku selesai pukul Sembilan pagi. Aku bisa izin keluar sebentar nanti.
--
Bersambung
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi
Terima kasih Pak. Salam literasi kembali.
Keren menewen mbak Yun... Sukses selalu
Menyedihkan. Rasa cinta yang selalu terkenang. Cerita sedih berbaur pilu. Sukses selalu Bu Yuniar. Salam literasi.
Ya Allah, Beniiiii....
Sedih, Bu. Tapi memang itu lebih baik.
Sebuah cerpen yang menarik. Sukses selalu, Bu Yuniar.
Terima kasih Pak Edi. Salam sukses kembali.
Ikut sedih dengan kepergian Beni. Sehat dan sukses selalu Bu cantik
akhirnya beni menyerah... keren bun salam sukses selalu
Ya Allah sedihnya. Keren Bu dan salam sukses
Sedih ... Keren Bu cerpennya, ditunggu kelanjutannya
Selamat jalan Beni
Terima kasih apresiasinya Pak Herru.
Waduh, Beni kok meningsoy... Keren ceritanya. Sukses selalu Bu.
Sedih Bun... kereeeenn.. Salam sukses selalu
Luar biasa banget ceritanya bu. Keren
Cerpen yang indah ...pergolakan batin yang luar biasa...pendukung kekuatan yang istimewa.. suami yang selalu siap dengan bahu kekarnya....salam sukses Bunda
Terima kasih, Bunda. Sungguh beruntung memiliki suami yang pengertian.
Ikut sedih .... cerita yang bagus, Bu. Jadi baper... Salam sukses, bu.
Keren bunda. Sukses selalu
Terima kasih Bu Asmah.
Merinding saya Bu. Hikss... sedih. Beny akhirnya meninggalkan dunia. Tetapi bagus lo bu karena memang di kenyataan sakit seperti beny tergolong penyakit berat. Kalau beny tetap hidup kasihan nanti menderita lahir batin. Hehe... sukses selalu bu Yuniar.
Iya, Bu. Soalnya itu kan berkaitan dgn organ vital tubuh. Jantung dan paru-paru. Terima kasih apresiasinya, Bu Dewi.