Friendzone (22)
#harike403
--
Diantar suami, aku menuju ke rumah duka. Bersama kawan-kawan kami sudah janjian untuk datng bersama. Pukul sepuluh kami berkumpul di sana. Jenazah sudah tiba pukul delapan pagi tadi. Aku agak sedikit terlambat dibandingkan kawan-kawan lain yang sudah sampai di sana.
Suasana rumah duka cukup ramai ketika aku tiba. Tetangga, keluarga dan kenalan sudah berkumpul di sana. Aku berjalan perlahan ikut antri bersama pelayat lain untuk bersalaman dengan keluarga. Ayah dan Ibu Beni tak tampak diantara mereka. Barangkali ada di dalam.
“Kamu … Laili?” tanya salah seorang wanita yang ikut menyambut para pelayat ketika aku bersalaman dengannya.
Aku tertegun. Sepertinya aku tidak mengenal wanita itu. Kutatap wajahnya sambil mencoba mengingat-ingat siapa dia. Kulihat ada garis-garis kemiripan dengan Beni di wajah anggun itu.
“Iya, saya Laili,” jawabku setelah berusaha keras dan masih tak ingat juga.
“Ayo ikut,” katanya sambil menyeretku meninggalakan tempat itu.
Aku menoleh pada Mas Priyo yang ada di belakangku. Kulihat dia menganggukkan kepalanya mempersilakan. Aku menjadi mantab mengikuti wanita itu. Ternyata aku diajak masuk ke dalam rumah.
Kulihat jenazahnya masih dibaringkan di ruang tengah itu. Dadaku tiba-tiba terasa sesak. Mataku terasa panas. Aku hampir tak kuat menahan air mata yang hendak keluar. Ibu Beni ada di sana bersama beberapa wanita yang mungkin keluarganya. Ibu Beni terlihat beberapa kali mengusap air matanya walau beliau berusaha untuk terlihat tegar.
“Bu, ini Laili,” kata wanita yang bersamaku memperkenalkanku kepada ibu Beni.
Walau Beni sering ke rumahku dahulu, aku baru sekali ini ke rumahnya dan bertemu dengan keluarganya. Beni sering bercerita tentang mereka, namun aku sama sekali belum pernah diperkenalkan kepada mereka.
Ibu terlihat sedikit kaget. Beliau mendongak, menatapku. Lalu tangan beliau terangkat memintaku mendekat. Aku mendekat lalu duduk di samping beliau. Ibu memegang kedua pipiku dengan tangan sepuh beliau. Tanpa mengatakan apa-apa beliau menatapku lekat-lekat. Tak lama kemudian beliau memelukku sambil menangis. Seketika air mataku ikut tertumpah.
Ibu sungguh-sungguh tak bisa berkata apa-apa. Setelah beliau melepaskan pelukannya padaku, beliau langsung berpaling. Aku yang semakin tak mengerti dengan situasi ini juga tak mampu berkata apapun. Wanita yang bersamaku tadi kemudian mengajakku pergi ke tampat lain meninggalkan Ibu yang masih tergugu.
“Aku Ani, kakak Beni, Dik,” kata wanita itu kepadaku.
Masyaallah, aku begitu linglung hingga tak terpikir bahwa wanita itu adalah Kak Ani. Dahulu sering kudengar Beni menyebut namanya. Beni sangat menyayangi dan menghormati kakaknya itu. Namun baru kali ini aku melihatnya langsung.
“Aku langsung mengenalimu begitu melihatmu. Beni sering memperlihatkan fotomu padaku,” lanjutnya menjawab pertanyaan tak terucap yang mungkin membayang di mataku.
“Kak Ani, tahu siapa saya?” tanyaku terdengar tolol.
“Ya, tentu saja. Setelah melihatmu, aku tidak heran jika Beni merasa sangat kesulitan untuk bisa melupakanmu,” jawab Kak Ani sambil tersenyum.
Jawaban Kak Ani membuat perasaanku semakin tidak karuan. Rasa menyesal, perasaan bersalah, bercampur dengan rasa kehilangan. Serasa ada lubang hitam di dadaku. Aku sungguh-sungguh tidak tahu harus bagaimana. Aku tak ingin menangis, tak ingin meratap. Namun air mata sungguh tak henti mengalir.
“Maafkan Beni, maafkan kami. Maafkan jika selama ini kamu merasa tertekan. Tapi tolong doakan dia. Insyaallah ini yang terbaik untuk semuanya,” kata Kak Ani kemudian.
Aku lagi-lagi hanya bisa mengangguk-angguk. Meskipun baru sekali bertemu, Kak Ani terasa begitu dekat di hatiku. Dia terlihat begitu tegar meskipun aku tahu dia juga sangat kehilangan.
“Bolehkah kita bisa terus berhubungan? Izinkan aku menganggapmu adik,” kata Kak Ani beberapa saat kemudian setelah kami tenggelam dalam keheningan.
Kembali kuanggukkan kepalaku kuat-kuat. Benar kata Kak Ani. Barangkali ini adalah memang yang terbaik untuk semuanya. Tak lama kami sudah tenggelam dalam percakapan hangat walau hati masih terasa berduka.
Tiba-tiba terdengat ada suara rebut-ribut di luar. Kak Ani bergegas beranjak meninggalkanku. Aku mengikuti Kak Ani keluar dari rumah. Kak Ani menuju pusat keributan sementara aku minta izin untuk menemui suamiku kembali yang ada di rombongan kawan-kawanku berada.
“Ada apa?” tanyaku pada Lita yang terdekat denganku.
“Ada yang pingsan,” jawab Lita.
“Heh? Siapa?” tanyaku lagi.
“Nggak tahu. Cewek. Sejak datang tadi sudah lebay berlari-lari sambil menangis. Lalu tiba-tiba pingsan,” jawab Erma yang ada di sebelah kami.
“Tunangan Beni kali,” timpal yang lain.
“Bukan. Tunangannya yang itu, yang pakai kacamata hitam, duduk di sana itu,” yang lain lagi menjawab sambil menunjuk ke arah seorang wanita yang terlihat terduduk lemas.
Aku melihat ke arah yang ditunjuk. Seorang wanita muda yang cantik sekali. Sungguh Beni yang bodoh.
“Lalu yang heboh itu siapa?” tanya Erma.
“Mantan, kali.”
“Mantan atau pemuja,” kata Lita disambut tawa tertahan yang lain.
“Hush.”
“Katanya namanya Ocha,”
Heh? Yang pingsan itu Ocha? Aku tiba-tiba merasa kasihan.
--
TAMAT
.
.
.
Terinspirasi dari kisah nyata dengan berbagai penyesuaian. Sebagian besar tokoh adalah fiksi.
Didedikasikan untuk the real Beni, semoga semakin tenang di sisiNya. Allah loves you more.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren menewen mbak Yun... Pokoknya mantapnya poolll... Sukses selalu
Terima kasih, Pak Burhan. Salam sukses kembali.
Ocha lagi. Kasihan Beni tak sampai merajut cinta di pelaminan. Semoga bahagia di Surga-Nya. Salam literasi Bu Yuniar.
Tunangan yang mana? Beni ga prnh cerita apa ya? Cerpen yang menawan, Buuu... Keren
Mungkin Erni, Bu. Masih nebak2 soalnya, hehehe...
Cerpennya keren. Salam sukses.
Barakallah. Terima kasih sekali Bunda.
Keren Bu cerpennya. Salam literasi. Saya sudah follow ya Bu
Barakallah. Terima kasih. Siap follow kembali.
Menarik sekali ceritanya
Friendzone, sebuah cerpen yang menarik. Sukses selalu, Bu Yuniar.
Terima kasih Pak Edi.
Ending yang haru. Sehat dan sukses selalu Bu cantik
Ending yang haru. Sehat dan sukses selalu Bu cantik
Ending yang haru. Sehat dan sukses selalu Bu cantik
ocha lebay... malu-maluin... sukses selalu bu Yuni
Iya, Bu. Cinta membuatnya lupa diri. Dan orang seperti itu beneran ada, lho.
Kisah yang menarik. Sukses selalu untuk Ibu.
Sebuah kisah cerpen yang menarik dengan ending yang membuat haru. Indah pilihan katanya. Salam sukses Bunda.
Jadi baper. Keren bunda. Salam literasi dan sukses selalu aamiin.
Keren dan menarik kisahnya ibu cantik... Sehat, sukses dan bahagia selalu buat ibu hebat... Salam santun
Keren menewen Bu ceritanya menarik. Kok selesai. Tamat ya? Masih ingin tahu siapa mereka? Ha ha ha
Tamat dulu, Bu. nanti pembaca bosan, hehehe...
Berakhir sudah kisah yang mengaduk-ngaduk perasaan. Ditunggu cerita berikutnya Bu Yuniar. Salam sukses selalu
Terima kasih sudah mengikuti kisah ini hingga paripurna Bu Ima. Salam sukses kembali.
Tetap keren ceritanya bu. Mantab
Haru biru membacanya bunda, semoga amal ibadah Beni diterima Allah SWT. Ditunggu cerita lainnya.
Terima kasih, Bunda. Aamiin, insyaallah. Beni orang baik.
Suka bacanya, bu Juni... Meski jadi ikut baper ... Semoga Beni damai di sana. Salam sukses, Bu.
kisahnya membuat gemana gitu kok udah tamat sih pingin di lanjut tentang si ocha itu lho
Cerita yang menarik membuat perasaan hanyut ikut merasakan apa yang terjadi, semoga beni tenang di sisi-Nya, salam sukses selalu
Terima kasih Pak Cahyo.
Kenapa tamat bunda?
Sudah selesai, Bun. Kisah utama ada pada Beni. Jadi, ya memang harus selesai.
Kenapa tamat bunda?
Keren cerpennya Bu cantik, salam literasi
Terima kasih, Bu. salam literasi kembali.
Dan berakhirlah petualangan beny dengan tetap membawa cinta sejati di hatinya. Semoga tenang Ben. Hiks... ikut sedih saya Bu.
Aamiin. Beni yang asli meninggal tahun 2016, Bu Dewi. Masing membujang. Semoga telah bertemu dengan bidadarinya di surga.
Ya Alloh bu Yuniar, semakin sedih hati. Aamiin. Semoga tenang di sana.