Pedurungan 16/3. Ini adalah acara pelatihan paling seksi yang pernah kuikuti. Betapa tidak? Sejak awal kenal MWC yang hanya dari selembar brosur terkirim lewat japri, tanpa pikir dua kali, aku langsung jatuh hati. Harus ikut! Ya, dua kata ajaib ini yang membulatkan tekadku untuk berangkat ke kawah candradimuka bernama MWC ini.

Rupanya Tuhan meridai tekad bulatku. Dimudahkanlah semua urusan tentang persiapan keberangkatanku ke kampus keren Pusdiklat Bank Jateng di Pedurungan ini. Aku masih sempat mengajar jam pertama di kelas 9J. Travel menjemputku tepat pukul 09.00 usai ku mengajar dan tiba di Pedurungan tepat waktu, tepat pukul 16.00.

Seksi. Ya itu kesan pertamaku pada setiap detik yang terlewati di acara keren MWC ini. Merinding saat dibacakan doa pembuka acara. Membelalak mata pada setiap detail materi yang disuguhkan oleh setiap narsum, baik pak Murman, pak Ihsan maupun pak Eko.

Tak bergeser jauh dari ekspektasiku menulis buku dengan namaku tertera di sampulnya, ada amunisi baru yang kudapat dari narsum sebagai pelurus niat. Yah, niat kita menulis buku adalah ibadah. Bahwa ilmu harus dibagi. Bahwa ilmu tak pernah mati, meski sang penulisnya sendiri telah mati. Inilah sejatinya ekspektasi tertinggi seorang penulis buku. Berbagi ilmu sampai mati.

Lantas, apa romantisnya acara ini? Ya seksinya itu tadi. Seksi pada setiap detail materi. Seksi para narsumnya. Bagaimana tak seksi coba? Mas Eko, usia baru 36 sudah calon doktor saja. Pàk Ihsan motivator yang bikin kompor semangatku meletup-letup. Dan pesertanya juga tak kalah seksi. Ada seorang peserta yang luar biasa dahsyat. Datang jauh-jauh dari negeri poltak sana, Medan punya. Dalam satu tahun bisa terbit 14 judul buku. Waoww! Seksi sungguh seksi.

Wis ah, ngantuk. Zzzzzz