Yunik Ekowati

Si sulung dari empat bersaudara cewek semua. Lahir di Sragen di bulan Juni, suka mencoba hal baru dan suka tantangan. Menggembala kambing sambil membaca buku ad...

Selengkapnya
Navigasi Web
Goa Kreo Persinggahan Sunan Kalijaga
Goa Kreo Persinggahan Sunan Kalijaga

Goa Kreo Persinggahan Sunan Kalijaga

GOA KREO PERSINGGAHAN SUNAN KALIJAGA

Tantangan Hari ke-10#TantanganGurusiana

Semarang merupakan ibukota Provinsi Jawa Tengah, mempunyai jumlah penduduk per desember 2019 adalah 1.668.578 juta jiwa. Dalam sejarah Babad Tanah Jawa pada abad ke-6, mulanya Semarang merupakan bagian kawasan Kerajaan Mataram Kuno dengan nama Pragota (sekarang menjadi Bergota). Dahulu daerah ini merupakan pelabuhan dengan gugusan pulau kecil di depannya akibat pengendapan, gugusan pulau kecil itu akhirnya meluas sehingga membuat sebuah kawasan baru yang kini disebut sebagai kota bawah.

Pada abad ke-15 masehi, seorang utusan Kerajaan Demak Pangeran Made Pandan menyebarkan Islam dari perbukitan Pragota. Dia adalah seorang pangeran dari Kesultanan Demak Bintoro bernama Made Pandan, yang ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam. Adapun Pangeran Made Pandan, kecuali mengajarkan agama Islam, beliau juga memperhatikan kehidupan masyarakat. Pada waktu beliau tidak mengajar, beliau memberi contoh kepada rakyatnya bercocok tanam. Oleh karena itu Pulo Tirang makin lama makin makmur, yang hanya sedikit kelihatan tanaman pohon asam.

Konon karena pohon asem (asam) itu “arang” (jarang) di sana, maka tempat itu akhirnya di sebut “Semarang” (asem-arang) kemudian menjadi cikal bakal nama “Semarang”. Adapun Pulo Tirang yang asli kemudian berganti nama juga, yaitu yang sekarang di sebut “Bergota” di Semarang, suatu kampng yang berupa bukit. Perkembangan Semarang lambat laun menjadi kota metropolis yang ditandai dengan semakin banyak gedung pencakar langit, pertumbuhan industri dan semakin digalakannya destinasi wisata, salah satunya adalah destinasi wisata Goa Kreo Semarang.

Semarang memiliki dua dataran yakni dataran tinggi dan dataran rendah. Dataran rendah merupakan kawasan yang sempit dan berjarak kurang lebih 4 km dari garis pantai atau disebut kota bawah. Dataran yang rendah memungkinkan datangnya bencana kiriman seperti banjir. Sejumlah kawasan yang berada di daerah dataran rendah ini jarang terdapat pemukiman. Sedangkan dataran tinggi berkembang menjadi pusat aglomerasi penduduk atau kota atas, tepatnya letak lokasi wisata Goa Kreo. Banyak aktivitas di kawasan wisata tersebut, sehingga banyak penduduk yang bermukim di kawasan ini. Dengan banyaknya fasilitas yang menunjang membuat kawasan ini padat dengan perumahan penduduk. Tak hanya perumahan, pusat perbelanjaan, hotel, fasilitas pendidikan, transportasi, dan lain-lain.

Setelah Kyai Ageng Pandan Arang meninggal dan digantikan oleh putranya yang bergelar Pandan Arang II Kota Semarang mengalami kemajuan yang pesat. Dengan alasan persyaratan peningkatan daerah dapat dipenuhi, bertepatan pada tanggal 2 Mei 1547 daerah Semarang berganti menjadi setingkat dengan kabupaten, yang kemudian pada tanggal 2 Mei selalu diperingatai sebagai hari jadi Kota Semarang.

Goa Kreo Semarang erat hubungannya dengan pendirian Masjid Agung Demak yang didirikan oleh Sunan Kalijaga. Menurut hikayat dari berbagasumber yang dipercayai oleh masyarakat dusun Talun Kacang kecamatan Gunungpati Semarang. Keberadaan Goa Kreo bermula dari perjalanan Sunan Kalijaga beserta para santri pengikutnya mencari kayu jati untuk soko guru atau tiang Masjid Agung Demak. Cerita ini didukung pendapat juru kunci Goa Kreo yaitu Sumar 78 tahun menyampaikan bahwa, Sunan Kalijaga di perintah oleh Sunan Bonang untuk mencari soko guru atau tiang yang kurang satu.

“Dalam pencarian pohon Jati, tidak dengan mudah mendapatkannya, harus melalui seleksi baik dari segi kwalitas bahan dan pertimbangan yang lainnya. Setelah melakukan musyawarah dengan para wali Sembilan, berdo’a dan semedi, terpilihlah pohon Jati yang berada di hutan Kreo dusun Talun Kacang Gunungpati Semarang. Sunan Kalijaga beserta para santri langsung menuju lokasi tersebut. Tetapi tidak semudah yang diperkirakan, pohon Jati yang akan ditebang ternyata selalu berpindah-pindah secara gaib, sehingga Sunan Kalijaga harus menghentikan usaha penebangan tersebut, yaitu dengan cara mencari tempat untuk beristirahat dan shalat. Tanpa disengaja Sunan Kalijaga melihat sebuah Goa, tanpa berpikir panjang langsung berjalan menuju Goa tersebut bermaksud beristirahat dan berdo’a mohon petunjuk Allah SWT. Terbukti dengan nama-nama daerah di Semarang yang konon kabarnya hasil dari pemberian nama oleh Sunan Kalijaga berdasarkan kejadian-kejadian sepanjang perjalanan penyebaran agama Islam tersebut.

Hikayat ini berawal dari perjalanan Sunan Kalijaga dan para santrinya yang berjumlah 14 orang. Rombongan Sunan Kalijaga ini berpindah-pindah tempat mengikuti pohon jati tersebut namun belum berhasil juga. Sunan Kalijaga kemudian mengajak santrinya untuk berkumpul dan bermusyawarah tentang bagaimana cara menebang kayu tersebut. Tempat yang digunakan Sunan Kalijaga dan santrinya berkumpul, kemudian diberi nama Karang Kumpul yang artinya tempat untuk berkumpul. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan mengikuti arah berpindahnya kayu tersebut. Akhirnya mereka sampai disebuah desa dimana penduduk desatersebut sedang mengadakan pesta mbarang dan menanggap tari Tayub. Sunan Kalijaga singgah didesa itu untuk menyampaikan dakwah, yaitu bahwa dalam suasana suka cita seperti ini apalagi mereka nanggap Tayub, mereka tidak boleh melupakan ajaran agama dan meninggalkan Mo limo yaitu madat, madon (pecandu narkoba), minum (suka mabuk), main (judi) dan maling (mencuri). Tempat Sunan Kalijaga singgah ini kemudian dinamakan Jati Barang, yang terletak disebelah timur Goa Kreo.

Sunan Kalijaga melanjutkan perjalanan hingga sampai di suatu tempat, beliau menemukan kayu jati yang dimaksud dikalang/dikelilingi oleh pohon jati yang lebih kecil. Tempat itu dinamakan Jati Kalangan yang artinya pohon jati yang dikelilingi. Kemudian pohon itu berpindah tempat, sebelum pohon jati itu berpindah tempat lagi Sunan Kalijaga melingkarkan sampurnya ke pohon jati tersebut. Atas ijin Alloh SWT, pohon tersebut akhirnya diam tidak berpindah tempat lagi dan akhirnya berhasil ditebang.

Daerah bekas tebangan pohon jati tersebut dinamakan Tunggak Jati Ombo yang artinya bekas tebangan pohon jati yang besar. Untuk membawa kayu jati tersebut ke Demak, maka Sunan Kalijaga beserta para santri menghanyutkannya kayu-kayu tersebut ke sungai-sungai. Setelah sampai di sebelah timur Tunggak Jati Ombo, kayu jati tersebut tersangkut diantara tebing. Berbagai usaha dilakukan untuk mengangkat kayu jati tersebut tapi tidak berhasil. Kemudian Sunan Kalijaga memutuskan untuk beristirahat dan bersemedi meminta petunjuk dari Alloh SWT. Tempat peristirahatan dan tempat semedi Sunan Kalijaga adalah sebuah Goa. Di Goa inilah Sunan Kalijaga bertapa, untuk meminta petunjuk bagaimana cara mengangkat dan membawa kayu jati tersebut. Kemudian ditengah semedi, Sunan Kalijaga didatangi keempat ekor kera tersebut dan berdialog tentang apa yang menjadi kesulitan Sunan Kalijaga yaitu mengambil kayu jati yang terjepit di tebing.

Pada saat bersemedi itulah, Sunan Kalijaga ditemui oleh empat ekor kera yang berbulu warna; merah, putih, hijau, dan hitam. Di tengah-tengah meditasinya, tiba-tiba munculah 4 ekor kera yang cukup besar. Masing-masing berbulu merah, putih, hitam dan kuning. Keempat kera kemudian menghadap Sunan Kalijaga sambil sekaligus memperkenalkan diri. “Kanjeng Sunan, walaupun kami berempat ini berupa kera tetapi kami masing-masing dapat berbicara seperti manusia. Oleh karena itu ijinkanlah kami memperkenalkan diri kepada Kanjeng Sunan Kalijaga. Demikianlah kata salah seekor kerang yang berbulu merah. Rupanya Kanjeng Sunan Kalijaga berkenan di hati. Dengan sangat ramah, walaupun tamu-tamunya berupa kera, tetapidihargai juga sebagaina layaknya kera yang mempunyai keistimewaan. Beliau berkata: “Coba, katakanlah dengan jujur apa yang anda inginkan. Jika anda berkeinginan baik, tentu saya akan menghargai anda sebagai kera yang terhormat kata Sunan Kalijaga jelas. “Kami kera Merah. Bulu kami merah sebagai tanda warna api. Jiwa kami adalah keberanian. Kata kerah Merah memperkenalkan dirinya. Setelah itu berikutnya kera Hitam datang bersembah sambil berkata: Kami kera hitam. Bulu kami hitam sebagai tanda warna tanah. Itulah tandanya jiwa kami adalah kesadaran begitu kata kera hitam tanpa ragu-ragu. “Kami kera putih. Bulu kami berwarna putih sebagai tanda warna air. Warna bulu putih kami menandakan sebagai tanda warna air. Warna bulu kami menandakan bahwa jiwa kami adalah kesucian. “Kami kera Kuning. Bulu kuning kami adalah sebagai tanda warna angin. Dan jiwa kami jelas berisi kesempurnaan. “Hai para kera merah, hitam, putih dan kuning. Saya mulai tadi belum sempat menanyakan kepada anda. Sebetulnya dari mana asal anda? Dimana tempat tinggal anda selama ini? Saya ingin mengetahuinya” tanya Kanjeng Sunan Kalijaga. Sang kera berbulu kuning yang berumur paling muda diantara keempatnya atas nama saudara-saudara segera matur: “Kanjeng Sunan, ijinkan kami menjawab pertanyaan Kanjeng Sunan tadi. Sebetulnya selama ini kami berempat tinggal di dalam goa ini. Seolah-olah gua ini telah menjadi rumah tempat tinggal kami. Sebetulnya kami tahu bahwa, kami sebagai kera tidak memiliki hak atas gua ini”. Kanjeng Sunan Kalijaga berkata tegas: “kalau begitu saya nyatakan, bahwa: gua iki reho tekan anak putu mbesuk tembe mburine nganti rejaning jaman. Kali kuwi ugo reho. Ning paweling ku aja nganti kowe kabeh lan sak anak putumu gawe rusak sarta ngganggu penduduk sak kiwa-tengene kene” Kata Kanjeng Sunan dalam bahasa Jawa yang artinya (gua ini kuasailah atau perintahlah atau juga “reho berarti kelolalah sampai ke anak cucu mu di kemudian hari sampai kepada datangnya jaman pembangunan. Sungai itu juga “reho yang artinya disuruh memerintah atau menguasai juga. Tetapi Sunan Kalijaga berpesan agar supaya para Kera tersebut tidak mengganggu penduduk sekitar gua dan kali “reho”)

Selanjutnya mereka bersama-sama berjalan menuju ke tebing tempat kayu terjepit. Sebelum mereka mangangkat pohon Jati yang terjepit, terlebih dahulu menyelenggarakan selametan atau kendurian yang bertujuan untuk kelancaran dan keselamatan semua. Hidangan selametan berasal dari bekal yang di bawa oleh para santri yaitu nasi gudangan dan sate kambing. Setelah menikmati hidangan selamatan tersebut, kendil tempat nasi di buang ke arah utara dan menjadi Tegal Sikendil yang berada di belakang Goa Kreo. Tusuk sate yang terbuat dari bilahan bambu, di buang jatuh di sebuah tempat. Akhirnya tumbuh tanaman pohon bambu yang batangnya berbau daging kambing, dan bisa berbunyi krincing sehingga tempat tersebut dinamakan Gunung Krincing. Setelah selametan selesai, tanpa diduga-duga datang empat ekor kera yang masing-masing berbulu warna merah, putih, hitam, dan kuning bergegas membantu mengambil pohon Jati yang terjepit di tebing.

Keempat kera tersebut merupakan kera-kera istimewa, yang dapat berbicara sebagaimana layaknya manusia. Kera-kera ini bertempat di pohon-pohon besar sekitar Goa. Setelah sampai di tempat kayu berada, berbagai cara digunakan untuk mengambil kayu jati itu namun gagal dan akhirnya Sunan Kalijaga memutuskan agar kayu dipotong menjadi dua bagian yakni yang satu bagian di tinggal di dalam sungai menjadi badan Kedung Curug yang sampai sekarang kedalamannya mencapai 15 meter dan didalamnya hidup berbagai ikan jenis air tawar, sedangkan yang satu bagian dibawa ke Demak untuk di jadikan soko guru Masjid Demak.

Pada saat Sunan Kalijaga dan para pengikutnya akan berangkat ke Demak, keempat ekor kera tersebut ingin ikut. Namun karena Sunan Kalijaga menganggap bahwa mereka mempunyai dunia dan species berbeda dengan manusia, maka keempat kera tersebut tidak di perbolehkan mengikuti Sunan Kalijaga. Selanjutnya keempat ekor kera ini diberi wewenang untuk Ngreho/Ngrekso sungai dan Goa tersebut.

Pesan terakhir dari kera-kera tersebut adalah agar kepada siapa saja yang mengelola tempat ini janganlah sampai melupakan empat kera tadi. Untuk itu agar di mulut goa selalu dipasang umbul-umbul warna merah, putih, hitam dan kuning. Konon jika kera-kera ini melihat umbulumbul yang di pasang dengan warna warna tersebut mereka masih menampakkan diri. Dari istilah Ngreho tersebut kemudian berubah menjadi kreo dan akhirnya menjadi nama Goa Kreo dan sungai Kreo. Namun yang jelas kera-kera anak keturunan yang merupakan kera-kera biasa saat ini banyak dijumpai di obyek wisata Goa Kreo. Hingga sekarang jumlah kera-kera mencapai 500 ekor lebih.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

mantul... dan aku pernah kesana jaman kuliah aja, thn 96..

05 Jun
Balas

Sekarang sdh lbh bgs inftastrukturnya bu, tp sayang sungai & air terjunnya sdh hilang krn ditenggelamkan jd bendungan

05 Jun

Sekarang sdh lbh bgs inftastrukturnya bu, tp sayang sungai & air terjunnya sdh hilang krn ditenggelamkan jd bendungan

05 Jun

Sekarang sdh lbh bgs inftastrukturnya bu, tp sayang sungai & air terjunnya sdh hilang krn ditenggelamkan jd bendungan

05 Jun

Reportase lengkap tentang Semarang...Terima kasih saya orang Bandung jadi tahu...Salam kenal Mbak. Kita saling follow yuk...

05 Jun
Balas

Terimakasih bu Enung, siap kita saling follow

05 Jun



search

New Post