Yunik Ekowati

Si sulung dari empat bersaudara cewek semua. Lahir di Sragen di bulan Juni, suka mencoba hal baru dan suka tantangan. Menggembala kambing sambil membaca buku ad...

Selengkapnya
Navigasi Web
HUTAN KU SAYANG, HUTAN KU MALANG
HUTAN KU SAYANG, HUTAN KU MALANG

HUTAN KU SAYANG, HUTAN KU MALANG

HUTAN KU SAYANG, HUTAN KU MALANG

Tantangan Hari ke-49#TantanganGurusiana

Udara sejuk, lentiknya jari-jemari ranting dedaunan menarikan tarian jiwa. Serta lambaian kabut putih tipis bak selendang bidadari kahyangan turun ke mayapada, bisikan sepoi sang bayu tepat di telinga merayu ku, membangkitkan hasrat untuk selalu merindui mu. Udara sejuk kabut menyelimuti seluruh penghuni alam, dingin air menusuk sungsum tulang hingga membuat ku agak enggan mengambil air wudhu.

Di pagi buta seperti biasa mata sudah tidak bisa terpejam, suara adzan semakin menguatkan tekad untuk bergegas menuju kamar mandi mengambil air wudhu. Melanjutkan aktifitas keseharian sebagai ibu rumah tangga sekaligus wanita lumayan sibuk dengan segudang jadwal padat merayap. Selalu berusaha sebaik-baiknya menyiapkan bekal makan, minum, seragam sekolah dan perlengkapan anak-anak serta suami untuk sekolah dan kerja.

Tahun 2003 daerah Mijen Kota Semarang, merupakan daerah terkenal dengan kesejukan udaranya, karena masih banyak di tumbuhi hutan karet di sepanjang jalan dari Ngaliyan sampai Boja, Singorojo Kendal dan Temanggung, Parakan. Sungguh Susana yang begitu indah sepanjang jalan menyusuri terhampar hutan karet (dalam bahasa Jawa Alas Karet, disingkat ALASKA). Sering orang daerah sekitar menyebut dengan istilah Alaska, biar agak keren sedikit mirip-mirip kota yang ada di luar negeri.

Jalanan tampak sejuk dan eksotis, dipinggirnya di tumbuhi pohon-pohon Asem yang besarnya serangkulan tiga orang bergandengan tangan. Jika musimkemarau buah asem berwana coklat bergelombang menggerombol di setiap batang dan ranting yang menggelantung di tepi jalan. Tak sedikit buah asem yang besar-besar dan memanjang berjatuhan tergilas oleh kendaraan yang melewati sepanjang jalan tersebut.

Kesejukan yang sangat jarang terlihat di kota besar seperti Semarang, yang terkenan dengan lagu yang sangat mendunia yang berjudul “ Semarang Kaline Banjir”. Aku heran kenapa dulu mencari judul seperti itu, entah ini kitukan atau sekedar kebetulan kalimat Semarang Kaline Banjir dari sejak jaman dulu kala hingga sampai sat ini meski sudah dilakukan perbaikan dan renovasi besar-besaran denga tata kota dan sunga Banjir kanal yang sudah begitu hebohnya. Tetap saja Semarang masih banjir hingga tahun 2018 ini, waaw….sungguh yang memilih kalimat Semarang Kaline Banjir adalah orang “winasis” sepertinya.

Mengapa dulu, tidak di beri judul Semarang Kaline Asri, atau Semarang Kotone Dewe, sudahlah itu adalah hak mereka waktu itu yang memang ingin menuangkan perasaan dan ide kreatifnya sesuai kondisi lingkungan saat itu. Semoga saja ini bukan kutukan, terlepas dari masalah banjir. Semarang, adalah kota impian ku waktu pertama megetahui ada perguruan tinggi negeri, dan berharap suatu saat aku bisa memasuki salah satu perguruan tinggi negeri tersebut.

Setelah melalui beberapa proses ku lewati baik seleksi masuk perguruan tinggi, perkuliahan, tugas-tugas kuliah, skripsi dan akhirnya mulai mengabdikan diri pada sekolah. Bertujuan ingin mencerdaskan anak bangsa, berbagi ilmu pengetahuan yang ku dapat di bangku kuliah dan tentunya bisa mendapat uang saku untuk biaya hidup dan membayar kost.

Tibalah saatnya, tiap hari aku harus berangkat pagi untuk mempersiapkan materi mengajar. Daerah Mijen, adalah salah satu tempat yang menurut ku daerah tersejuk di kota Semarang, terhampar berhektar-hektar pohon karet. Sering sekali ku temui, ada sesi pemotretan prewidd, sekedar anak muda atau masyarakat yang ingin berfoto dengan latar belakang suasana pohon karet.

Hamparan sawah, menguning dengan buliran-buliran padi yang siap untuk dipanen, bak permadani emas, kicauan burung bersahutan dan suara khas binatan hutan mengerik seperti mesin printer jaman dahulu, di tambah hembusan angin sepoi berbisik mesra ditelinga ku dan mengatakan “jangan lupakan aku..”. Nyanyian alam dan rayuan ini sungguh membuat ku tidak berdaya untuk selalu ingin menikmati suasana syahdu merindu ini.

Tak jarang ketika melintasi jalanan menuju lokasi sekolah tempat ku mengajar, ku temui ular sawah dan musang yang melintasi jalan aspal. Belum lagi ketika suasana hujan, kabut seputih kapas menyelimuti jalanan, sehingga harus ku nyalakan lampu jauh yang beberapa meter jalanan sudah tidak begitu jelas. Karena begitu tebalnya kabut yang turun sehingga jaket dan kaca helm ku pun basah seakan terkena air gerimis hujan. Mulai di atas jam dua belas siang, di musim penghujan mendung sudah mulai menggelayuti seketika suasana syahdu mendayu-dayu, serasa hari menjelang sore.

Tiga belas tahun berlalu dengan begitu tak terasa, tanaman hutan karet, lambaian mesra dedaunan dan ranting pohon sepanjang jalan yang biasa ku lalui. Hembusan mesra angin segar penuh pesona eksotik, nyanyian merdu merayu burung-burung, tarian erotis dedaunan menyambut ku mesra saat melintasi jalanan menuju tempat ku mengajar, sekejap berubah menjadi tanaman tembok gedung pemerintahan, perumahan-perumahan elit, Mall, dan pertokoan yng tumbuh subur bak jamur di musim penghujan.

Sekarang sepanjang perjalanan berangkat dan sepulang sekolah, pikiran ku selalu terbayang keindahan suasana yang kurindu dulu. Pikiran ku tak bisa lepas dari, mengapa bisa seperti ini, mana hutan ku yang eksotis dulu, mana nyanyian merdu burung-burung, kemana kupu-kupu menari dengan sayapnya yang begitu indah. Kemana kiranya musang yang biasanya melintas di tengah jalan saat aku melewati jalan ini. Sejuta pertanyaan yang menggelayuti benak ku, berpadu dengan kondisi nyata yang selalu ku lihat setiap hari.

Ku tarik napas dalam-dalam, dan ku hembuskan perlahan dan panjang, dan ku temukan jawaban sendiri tanpa harus bertanya kepada siapapun. Mereka yang sedang kepanasan dan mengering, bongkahan-bongkahan tanah merah bekas galian dan gusuran traktor sang mesin penggusur, akar dan batang-batang pohon karet yang terjabut seakar-akarnya, suara-suara alat berat tukang bergemuruh setiap saat. Adalah jawaban nyata senyata-nyatanya, semua atas dalih kebijaksanaan pemerintah dan berdalih demi kemakmuran masyarakat.

Atas nama siapapun dan atas dalih apapun, yang jelas sekarang hamparan Alaska berubah menjadi hamparan perumahan elit, pabrik-pabrik, mall dan segala fasilitas modern yang ada. Merindu ku tak pernah pudar, berkhayal penuh harap suatu saat kembli lagi suasana yang membuat ku terpesona tiada tara. Mijen yang eksotis, penuh kesejukan dan kedamaian alam bak penghipnotis ulung bagi penghuni alam semesta raya. Hanya bisa berharap semoga kesejukan alam tetap terjaga meski banyak lahan perkebunan karet yang sudah wassalam.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap bu. Sukses selalu ya bu

15 Sep
Balas

Reportase yang sangat menginspirasi.sukses selalu , salam literasi !

14 Sep
Balas

Makasih bu, sukses sllu kagem pendjenengan

14 Sep

sungguh sayang sekali kalau kesejukan hutan karet di Mijen berubah menjadi perumahan semua. Kemewahan hijau daun menjadi sirna. Panas makin terasa. Semangat berliterasi, semoga sukses selalu. Amin.

14 Sep
Balas

Iya pak, sekarang udara sdh tdk sesejuk dulu sekitar th 2004an. Krn mmg hutan karenya hampir punah. Salam literasi & sukses sllu jg utk pendjenenang

15 Sep

Reportasi yang sangat menginspirasi membawa ingatan ke masa sulam yang masih asri, sayang semua tinggal kenangan...salam sukses

15 Sep
Balas



search

New Post