Yunik Ekowati

Si sulung dari empat bersaudara cewek semua. Lahir di Sragen di bulan Juni, suka mencoba hal baru dan suka tantangan. Menggembala kambing sambil membaca buku ad...

Selengkapnya
Navigasi Web
KUDU BOMBONG KARO BASA DAERAHE DEWE
KUDU BOMBONG KARO BASA DAERAHE DEWE

KUDU BOMBONG KARO BASA DAERAHE DEWE

KUDU BOMBONG KARO BASA DAERAHE DEWE

Oleh: Yunik Ekowati

Guru Seni Budaya SMA Negeri 16 Semarang

 

Anda tentu sering menjumpai orang berkata menggunakan logat bahasa yang aneh dan unik, saking uniknya sehingga bisa di jadikan ciri khas daerah tertentu. Nusantara merupakan gudangnya kebudayaan adhi luhung, khususnya bahasa. Mengingat jumlah pulau di Indonesia terdiri 17.000, suku bangsa 1.340, bahasa 718 terbanyak ke dua setelah Papuanugini. berpotensi muncul bahasa dan budaya daerah yang beraneka ragam. Dialek di daerah Jawa Tengah ada 5, yaitu: Solo-Yogya, Pekalongan, Wonosobo, Banyumas, dan Tegal.  

 

Masing-masing mempunyai ciri khas, seperti Solo dan Yogja terkenal dengan bahasa Jawa krama inggil atau krama alus. Seiring perkembangan zaman, anak muda generasi millennial hampir tidak mengenal bahasa ibu. Hal ini disebabkan, karena orang tua di rumah membiasakan dengan bahasa Indonesia. Meski benar, bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu. Tetapi jika tanpa diimbangi dengan pembiasaan bahasa ibu, maka anak-anak muda akan kehilangan bahasa daerahnya sendiri.

 

Dikarenakan hijrah di kota, bergaul dengan orang yang berbeda suku dan ras. Bahkan hanya karena tidak ingin dianggab katrok alias ndeso, sehingga menghilangkan logat bahasa daerahnya. Tanpa mengetahui makna filosofi didalamnya, generasi muda lebih suka dianggab gaul dengan menggunakan bahasa sekarang. Seperti; gaes, bro, elu, guwe, anjir, keles, dan sebagainya. Jika diperhatikan bahasa tersebut didopsi dari luar negeri, bahkan ada kata yang bermakna tidak baik.

 

Tidak sedikit orang yang berasal dari desa, tinggal lama di kota karena pekerjaan. Entah karena tidak ingin terlihat ndesonya atau memang berniat tidak ingin membuat bingung lawan bicara. Maka banyak orang yang tidak memakai logat daerah. Seperti logat daerah Sragen, ”jebule oglangan, dadhi aku ra iso nyetliko krudung. Mbasan listrike murup, tak nggo nyetliko krudung, lagi tak gosokne malah kanthil, krudung ku kobong. Leh nyetel setliko kepanasen. Mboyak krudunge kobong”.

 

Ada perasaan bangga, saat mendengarkan bahasa daerah di tengah modernisasi zaman. Bahasa ibu semakin punah, karena kurangnya perhatian dari semua pihak. Sempat beberapa tahun lalu ada wacana mata pelajaran bahasa daerah akan dihilangkan. Praktisi pendidikan tentunya sangat prihatin, harus ada tindakan nyata. Mulai dari diri kita sendiri, sebagai keturunan orang Jawa asli khususnya daerah Sragen, saya sangat bangga dengan logat bahasa “mboyak, sedhil, porah” yang mempunyai arti terserah atau tidak perlu dipikir berat. Masih banyak lagi logat-logat yang unik.

 

Sebagai orang Jawa, akan sangat malu jika tidak bisa berbahasa Jawa krama inggil sebagai identitas. Maka saya mengikuti kegiatan yang bernuansa kebudayaan Jawa, seperti memperdalam tentang seni, budaya dan bahasa Jawa, di pawiyatan Pranatacara tuwin Pemedhar sabda. Di sebut juga pembawa acara, Master of Ceremony atau MC. Selain itu, saya berusaha mengenalkan anak-anak di rumah menggunakan bahasa Jawa, sebagai alat komunikasi sehari-hari. Meskipun belum bisa sempurna, karena memang dari lahir anak-anak langsung dikenalkan bahasa Indonesia.

 

Mengajak anak-anak saat waktu senggang bernyanyi lagu dolanan, seperti Gundul-gundul pacul, Cublak-cublak suweng, Holobis Kuntul baris, sambil memberi tahu makna kata-kata yang ada dalam syair lagu. Bisa juga saat memanggil nama anak, dibiasakan si anak menjawab dengan kata “dalem” yang artinya adalah saya, siapapun yang memanggil. Jika si anak belum terbiasa dengan kata “dalem” kadang masih menjawab dengan kata ya, apa. Coba kita ulangi lagi dengan cara memanggil namanya beberapa kali, sehingga si anak menyadari bahwa jawaban kata yang dipakai kurang benar atau kurang sopan dalam bahasa Jawa.

 

Kudu bombong karo basa daerahe dewe. Hai kanca-kanca kabeh, ayo rene maca tulisan ku iki, ben tambah gayeng melu komen sisan ya.

 

Biodata Penulis

Yunik lahir di Sragen, 10 Juni 1979 Jawa Tengah. Bergabung di MediaGuru tahun 2018 Sagusabu Semarang. Pernah belajar di SMA N 1 Sambungmacan Sragen. Alumni Pendidikan Sendratasik UNNES. Menyelesaikan Pascasarjana UNNES 2019. Sebagai guru Seni Budaya di SMA N 16 Semarang. Surel: [email protected] telp dan whatsapp 081325415850

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

dumateng Admin maturnuwun sanget, sasampunipun nibo nangi anggen kula ngaplod seratan meniko, akhirnya bisa tayang. Alkhamdlillah...

11 Feb
Balas



search

New Post