Hj. Yuningsih Lestari

Hj. Yuningsih Lestari dilahirkan di Karawang tahun 1962, pada bulan Maret 1984 diangkat sebagai guru Bahasa Indonesia di SMPN 1 Tempuran Kabupaten Karaw...

Selengkapnya
Navigasi Web
SELAKSA KASIH IBU

SELAKSA KASIH IBU

#Tantangan ke-44 Gurusiana lanjutan

Selaksa Kasih Ibu

CERPEN

Seperti biasanya ibu langsung mempersilakan Deni duduk. Lalu ngobrol panjang lebar tentang Sarah. Mohon maaf Nak Deni, ibu tak pernah cerita tentang Sarah, karena sejak diputuskan oleh pacarnya dua tahun silam orang yang tadinya ceria, ramah jadi tertutup dan memilih kerja sebagai honor di kampung orang ikut sahabatnya. Ia tidak mau kerja di sini membantu ibu, padahal semua pekerjaan butuh bantuan anak-anak. Setiap kali suruh pulang paling hanya dibaca atau hanya bisa jawab, “Ibu harus meraba perasaanku” ibu tak bisa apa-apa.

Sebelum adzan magrib berkumandang Deni permisi untuk memanasi mobilnya. “Nak Deni langsung ke kota?” tanya ibu. “Nggak Bu, sudah ambil cuti tiga hari, ema mau ngajak nengok bibi besok pagi.” Deni menjawab dengan badan agak dibungkukan.

Ibu permisi mau ambil air wudhu, terlihat Sarah sedang mengemas tasnya kembali dengan rapi, disaksikan sama adiknya yang tak pernah berkata apa-apa, sambil duduk di pinggir tempat tidur. Ibu langsung ke belakang. “Ayo semua kita magrib!” suara ibu agak kencang dari dapur.

*****

Sesampai di rumah Deni langsung ke mushola yang dekat rumahnya untuk sembahyang magrib sampai isya tiba. Tak ada yang berubah, orang kampung jika makan selalu menggelar tikar, yang sudah tersedia makanan goreng ikan jaer, lalapan dan sayur asem. “Ini makanan ema yang terenak. “ kata Deni merayu ibunya. “Ah, biasa yang ada hanya ini, orang kampung mah dapatnya bukan dari pasar, tapi dari belakang rumah.” “Sekalian buat besok ke rumah bibi bawa ikan goreng sama sambel,Ma.” Ema hanya tersenyum.

Selesai makan mereka bertiga masih duduk-duduk di atas tikar, sambil nonton TV. “Ma, nggak bilang-bilang kalau Bu Harun punya anak gadis yang cantik?” Deni bertanya tanpa malu. “Ya, biar kamu menemukan sendiri anak desa yang cantik, dan berpendidikan guru.” Kata ema dengan nada datar, padahal dalam hatinya inilah jalan yang paling baik untuk menjodohkan anaknya. “Kalau ema jodohkan kamu nggak mau.” Deni hanya terdiam agak malu. “Kalau kau suka ema setuju, tapi kau harus pelan mendekatinya jangan tergesa-gesa, karena ia pernah gagal. Dulu periang, tapi sekarang tertutup. Nggak pernah pulang dan bermain sama teman lamanya. Tumben sekarang dia mau pulang.” Ema bercerita panjang lebar. “Ya itu tahu tadi cerita Bu Harun.” Deni menyela.

Usia Deni lebih tua dua tahun dari Sarah, ia tampak lebih dewasa dalam menyatakan sikap, dalam pikirnya ia atur strategi bagaimana caranya mendekati Sarah yang jitu. Malam itu ia tak bisa tidur teringat Sarah si lesung pipit.

********

Selesai sembahyang mereka makan bersama. Bercengkrama bersama melepas kerinduan yang baru dirasakan malam kedua. “Bu, besok subuh Sarah harus kembali ke tempat kerja.” Ucap sarah dengan nada yang agak marah. “Lho, katanya ijin seminggu.” Tukas ibu. “Sarah malu Bu, kenapa ibu harus bercerita tentang Sarah, ke tamu yang baru dikenal.” Sambil menahan air mata yang akan jatuh melintasi pipinya. “Dengarkan sebentar, Deni itu bukan siapa-siapa, dia anak Wa Parman yang di pesantrenkan di Jawa Tengah sejak kecil, ia tak pernah pulang, paling Wa Parman yang ke sana, sudah hampir setahun, tiap Sabtu Minggu pulang menitipkan mobilnya di sini. Kan ke rumah Wa Parman jalannya sempit tak masuk mobil, jadi terpaksa dititipkan di sini, dan lagi tempat kita aman, berpagar dan luas.” Sarah tak menjawab apa-apa. Ia dengan setia mendengarkan kata-kata ibunya sambil menunduk.

“Wa Parman sudah bilang ke ibu, kalau kamu mau tak salahnya kita besanan. Deni orangnya sopan,baik, santun, santri, sudah kerja mau apalagi, daripada kamu pacaran sama Heri bukan waktu yang sedikit lima tahun, tapi apa buktinya, orangtuanya tidak setuju malah dikawinkan sama pilihannya, dia mau juga, berarti tak sepenuhnya mencintaimu Nak!” Ibu berbicara panjang lebar sambil mendekap dan menatap wajah Sarah yang menangis. “Usap air matamu Nak! Tak baik selalu mengungkung luka, ibu juga terluka saat kamu pergi, lihat badan ibu, lihat wajah ibu semakin tua, semakin butuh kamu berdua. Ibu tak menikah lagi walaupun banyak yang mau, ibu punya kalian berdua. Biar ibu cape mengurus semua peninggalan ayahmu, ibu rela demi kalian.”

“Ibu dan Wa Parman tidak pernah memberitahukan punya anak gadis, biar Deni tahu sendiri, makanya setiap minggu kamu suruh pulang.” Sarah hanya terdiam seibu bahasa. “Berilah ruang dihatimu untuk menerima orang lain, jangan kau ratapi terus, semakin sana semakin tua.” Ibu semakin kuat mendekap anak gadisnya. “Pikirkan omongan ibu tadi, istikhoroh jalan terbaik, ibu sudah lakukan itu. Ibu sarankan pilih Deni, sebagai suamimu, temanmu, kakakmu, atau kadang adikmu.” Sarah hanya mengangguk. "Tapi ibu tidak memaksamu untuk menerima, ibu beri waktu sampai besok subuh.” Ibu Sarah memberi saran dengan bijak. “Beri aku waktu sampai Minggu depan, Bu.” Jika tidak kembali ke tempat kerja berati aku siap.” Jawab Sarah sambil menciumi ibunya.

Seminggu kemudian terdengar suara Sarah dari dalam kamar sedang menelepon kepala sekolah dengan kalimat, “Ibu, mohon maaf Sarah takkan kembali ke sekolah yang ibu pimpin, Sarah akan menjaga ibu sampai akhir hayat.

“Alhamdulillah, “ tak terasa air mata ibu meleleh ketika tasbih tergenggam dalam jari-jarinya yang halus.

Tamat

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post