Aku Bangga Menjadi Anak Seorang Prajurit
Masa kecilku terlalu indah untuk dilupakan. Hari - hari ku lalui penuh suka cita. Aku punya banyak saudara dari berbagai suku bangsa. Aku punya saudara batak, punya saudara jawa, punya saudara sunda, punya saudara dari tempat paling timur Indonesia yaitu papua (waktu itu namanya masih irian Jaya). Keluargaku tinggal di barak prajurit. Rumahku bukan rumah permanen, tapi berdinding papan yang disusun rapi. Ayahku tidak perlu membeli AC karena angin masuk langsung dari sela - sela papan dinding rumah. Selain itu gaji prajuritpun hanya cukup untuk makan. Mana lah bisa beli AC.
Temanku banyak. Hari - hari ku tak pernah sepi. Kami digelari "anak kolong". Entah darimana istilah itu berasal sampai sekarang masih tak ku ketahui. Anak kolong adalah sebutan untuk anak prajurit. Aku suka berteman dengan siapa saja. Hobbyku bermain, bahkan makanpun ibuku menenteng piring kemana - mana sambil menyuapiku. Sebenarnya itu alasan ibu-ibu aja barangkali ya. Padahal iseng - iseng ngerumpi, alasan nyuapin anak. Sore hari aku harus mandi dan rapi rapi, karena ayahku akan segera pulang dinas. Ia selalu menggendongku sebelah tangan sementara tangan satunya memegang ransel. Tangannya kekar. Aku sangat nyaman dalam gendongannya.Ayahku orangnya bersih, rapi dan necis (kata ibu). Sederhana dan bersahaja. Jika ibu ibu yang lain suka kredit barang ini itu, ayahku melarang ibu untuk meniru. Biarlah apa adanya saja. Banyak barang tapi ngutang untuk apa katanya. Pernah suatu ketika ayah sedang dinas di luar kota, tiba - tiba orang toko mengantar mesin jahit baru. Ibu mengira salah alamat. karena tidak pernah memesan mesin itu. Ternyata tidak. Mesin jahit itu memang untuk ibu. Setelah pulang, ayah cerita mesin jahit itu hadiah untuk ibu. Kasian ibu menjahit baju robek mesti numpang di rumah tetangga. tiap gajian ayah membayar cicilan ke toko itu. Ayah akan ambil jika sudah lunas. Ayah tak beritahu ibu. Nanti gak kejutan lagi katanya. Ayahku penuh perhatian dan penyayang. Jika menyisir rambutku pelan sekali, ia takut aku merasa sakit. Setiap saat bersama ayah selalu indah dan takkan dapat kulupa.
Saat itu ayah harus pergi jauh menunaikan tugas negara. Dinas ke tempat yang untuk anak seusiaku jauh sekali, ke Timor Timur. Aku sedih sekali tapi ayah menguatkanku. Takkan lama katanya. Tahun depan kita pasti berkumpul kembali. Selama di medan perang ayah selalu berkirim surat pada ibu bercerita tentang kegiatan disana (tentu ayah cerita yang bagus saja karena ia tak mau kami risau), berkirim foto. Karena disana tidak ada tukang pangkas ayah jadi gondrong dan brewokan. Tapi tetap gagah. Tak lupa ayah bertanya kabar kami di rumah. Bertanya perkembangan anak anaknya. Menitipkan pesan agar ibu menjaga kami baik baik, jangan suka duduk ngerumpi di rumah tetangga karena lama - lama pasti obrolannya kemana - mana. Surat surat itu masih ku simpan sampai sekarang dan ku ulang ulang membacanya.
Tibalah hari kepulangan prajurit. Upacara penyambutan sangat meriah. Sampai di asrama semua prajurit turun dari mobil nissan. Anak anak berlarian mencari ayahnya dan saling berpelukan. Aku mencari wajah yang selalu ku rindukan namun tak ku jumpa. Apakah ayah akan memberi kejutan ataukah ayah ikut mobil berikutnya. Hati ku dipenuhi tanda tanya. Kemudian datang keluarga nenek dari kampung menjemput kami. Aku heran kenapa harus pulang kampung. Aku ingin menunggu ayah. Nanti ia mencariku. Aku sudah rindu sekali. Kata kerabat itu, nanti kita tunggu di rumah kampung aja, karena ayah pulangnya langsung kesana. Ternyata sampai di kampung ku jumpai suasana duka. Orang - orang tua dan saudara semua menangis. Aku heran. Ada apa gerangan. Adik-adik ayahku berkejaran memelukku. Aku tak paham maksudnya. Ternyata ayahku takkan pernah kembali. Tanah Timor menjadi peristirahatan terakhirnya. Hancur luluh hatiku terasa. Akupun menangis meratapi kepergiannya. Hidupku terarasa sepi. Sejak saat itu kami pindah ke kampung dan tinggal bersama keluarga besar ibu. Aku dibesarkan dibawah asuhan kakek dan nenek. Kakekku pensiunan tentara. Tegasnya persis sama dengan ayah. Ia sangat menjaga dan menyayangiku karena sebelum berangkat ayah menitipkan kami (aku dan adikku) pada kakek jika nanti ayah tidak kembali. Urusan sekolah kakek selalu memilihkan yang terbaik meskipun jaraknya lumayan jauh. Kakek ingin aku berhasil.
Sekarang alhamdulillah aku sudah berhasil. Meskipun tidak menjadi angkatan seperti cita - cita kakek. Keberhasilanku sudah pasti karena didikan dan tempaan seperti prajurit. Semua serba disiplin. Serba tepat waktu. Aku bangga menjadi anak prajurit. Meski semua serba pas pasan tapi ditempa untuk selalu menghargai waktu, harus tekun dan bekerja keras. Karena ketekunan, kerja keras dan disiplin adalah kunci keberhasilan.
(Kutipan kisah nyata)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar