Hati adalah tempat bermuara semua rasa, baik rasa sedih, gembira, risau, penasaran, marah, iri, maupun dengki. Hati harus diberdayakan dengan hati-hati. Jika salah, akan mencederai diri sendiri.

Beberapa orang menggunakan hati sebagai landasan memutuskan sesuatu. Hasilnya bisa jadi lebih baik, atau malah memburuk. Contoh: Ketika seorang hakim memvonis bebas seorang laki-laki tua berusia 96 tahun yang melanggar peraturan lalu lintas (ngebut di area sekolah). Sang hakim bergetar tatkala mendengar penuturan si kakek bahwa dia tidak akan ngebut jika tidak terpaksa. Ketika ditanya alasannya ngebut, kakek itu mengatakan setiap dua pekan sekali dia mengantar anaknya cuci darah. Hakim makin terharu ketika kakek tersebut mengatakan usia anaknya 63 tahun dan menderita kanker. Hal itu membuat hakim memutuskan kasus kakek tersebut ditutup tanpa tuntutan hukuman. Semua orang di ruang sidang larut dalam suasana haru tersebut. Sang hakim mengambil keputusan memakai hati nurani.

Sementara kisah lain menceritakan seorang remaja perempuan berusia sekitar 15 tahun memilih kabur dari rumah setelah berkenalan dengan seseorang melalui sosial media. Ketika ibu dan kakaknya melarang meninggalkan rumah, dia memilih keluar rumah secara diam-diam. Dia mengikuti kata hatinya tanpa memikirkan akibat di kemudian hari. Hal yang terjadi adalah kasus pelecehan seksual dan perampasan ponsel serta uang. Dia ditemukan warga di sebuah rumah usang dalam keadaan luka di beberapa bagian tubuh.

Dari dua kisah di atas bisa kita tarik inti sarinya bahwa menggunakan hati haruslah dibarengi dengan logika. Berdiskusilah dengan hati sebelum memutuskan sesuatu. Pepatah mengatakan beraja di hati, mati. Beraja di mata, buta.

Semoga bermanfaat.