Sudah sebulan lebih warga desa Anakdara mengalami kelangkaan minyak goreng. Di pasar mau pun warung-warung kecil tidak lagi ditemukan benda yang saat ini bagai barang mewah dan eksklusif itu. Semua stok bagai lenyap ditelan bumi. Warga terpaksa mengolah makanan dengan cara merebus, membakar, atau menjadikannya lalap.

Di tengah paceklik minyak goreng tersebut, bu Hartawan muncul sebagai pahlawan. Di kelompok-kelompok arisan dia menawarkan minyak goreng. Awalnya ibu-ibu menyambut gembira tetapi wajah mereka seketika murung mengetahui harga minyak goreng tersebut dinaikkan tiga kali lipat, bahkan untuk merek tidak terkenal sekali pun. Hanya ibu-ibu yang memiliki kondisi ekonomi menengah ke atas yang sanggup membeli.

Bu Tedjo, yang dikenal sebagai ibu terkepo di desa itu penasaran darimana minyak itu diperoleh dengan mudah oleh bu Hartawan. Tengah malam, bu Tedjo bersama tiga orang temannya mengendap-endap, mengintip ke ventilasi rumah bu Hartawan dari ketinggian. Mereka terkejut melihat sebuah ruangan difungsikan sebagai gudang minyak goreng. Jumlahnya banyak sekali bahkan mencapai ventilasi kamar tersebut.

Tanpa berpikir panjang, bu Tedjo dan teman-temannya turun. Dengan murka dia menyabet leher bu Hartawan dengan parang. Bu Hartawan yang kala itu sedang ngobrol cantik di teras rumahnya dengan pemasok dari kota lain langsung tumbang bersimbah darah. Tidak hanya itu. Sejak saat itu keluarga bu Hartawan diusir warga karena mereka marah mengetahui keluarga tersebut selama ini hidup senang berlimpah harta yang diperoleh dari menaikkan harga minyak goreng setinggi-tingginya. Mereka tidak punya empati untuk membantu warga sedikit pun.