Yunita Kirnawati

Guru SMA Negeri 1 Tanjungpinang Kepulauan Riau...

Selengkapnya
Navigasi Web

Masih Perlukah Menyingkat Kalimat dengan Alasan Lebih Ringkas?

Belakangan muncul penulisan yang cukup mengganggu kenyamanan mata. Dengan alasan lebih praktis dan singkat, penulis membuat pesan sesingkat mungkin tanpa mengindahkan apakah penerima pesan paham atau tidak maksudnya.

Contoh yang banyak ditemukan adalah huruf x yang menggantikan fungsi akhiran nya. Kemudian penulisan 'ini' menjadi 'ne'. Dan penulisan kata 'mau' menjadi 'mw'.

Sebenarnya siapa sih yang memprakarsai penulisan seperti itu? Apa alasannya?

Sedang mencari informasi dari berbagai sumber, saya menemukan cuitan komika Raditya Dika tentang hal sama. Ternyata kegelisahan dan ketidaknyamanan itu juga dirasakan oleh sang komika. Padahal dia anak gaul pikir saya. Dalam cuitannya, Dika mempertanyakan mengapa sekarang x dibaca nya? @radityadika (13/10/2014). Cuitan itu direspon dengan berbagai macam komentar, seperti: @xdavf, "berawal dari tipo di hp jadul. Mau tulis nya, tertulis nxa, disingkat nx, dan disingkat lagi menjadi x. Sementara @IpunkTerus menulis, "anak alay zaman sekarang". Masih banyak komentar-komentar kocak lainnya yang kurang etis ditanyangkan pada tulisan ini.

Dari id.quora.com (9/11/2019), awal penyingkatan menggunakan huruf X bertujuan mengurangi jumlah karakter dalam penulisan pesan singkat (SMS). Waktu itu (tahun 1990an) berkirim pesan belum secanggih sekarang, masih pakai SMS yang memiliki batas maksimal sebanyak 250 karakter/SMS. Maka dicari huruf yang bisa mewakili. Untuk imbuhan nya dipilih karakter X.

Namun, zaman sudah berkembang, musim sudah berganti. Sudah sepatutnya kita mengikuti perkembangan zaman. Bukannya malah terkurung dengan kebiasaan masa lalu. Untuk anak ABG mungkin terkesan lucu dan unik dengan gaya berbahasanya. Apa jadinya jika emak-emak usia nyaris setengah abad masih ikut gaya ABG?

Berikut saya lampirkan hasil tangkap layar beberapa tulisan yang nyaris alay tersebut.

Saya langsung saja merespon seperti tertulis pada si ibu karena saya seperti membaca pesan bocil alias bocah heheheh. Setelah itu beberapa kali chat, tulisannya sudah pulih, eh ndilalah kejadian lagi sebagai berikut.

Hmm saya berpikir ibu ini perlu ikut kelas menulis di MediaGuru.

Tulisan terakhir ini saya temukan di postingan sebuah fanpage lokal yang penulisnya sudah tidak muda lagi.

Pertanyaan saya masih perlukah menyingkat penulisan ketika hitungan karakter itu tidak lagi digunakan seperti SMS tahun 1990an?

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Pusing y perkembangan zaman... Era anak digital... Salam Literasi

23 Feb
Balas

Salam literasi, bu Nur.

23 Feb

Ada-ada saja ya

11 Mar
Balas



search

New Post