Bertemu dengan siswa yang kini telah menjadi guru. Kenangan duapuluh tahun lalu kembali menari. Dia salah seorang dari tiga penari. Lincah menari tanpa pelatih. Manakala tampil menari, semua kan memuji. Mereka siswi-siswi andalan tapi memilih masuk kelas yang kadang dianggap pembuangan.Dua temannya memilih kelas bahasa sedangkan dia sendiri memilih kelas IPS.

"Kalau boleh ibu tahu, mengapa siswa-siswa bangga memilih kelas bahasa waktu itu?" tanyaku. Dia lalu menjelaskan bahwa kelas bahasa dibina oleh guru hebat. Guru yang mampu mengubah paradigma berfikir saat itu tentang jurusan bahasa sebagai jurusan terbelakang menjadi jurusan terdepan. Halaman depan ruang kelas telah disulap menjadi taman bacaan. Lomba-lomba bahasa menjadi kegiatan rutin memacu adrenalin. Berbagai prestasi membanggakan mampu diraih dengan sangat memuaskan.

Kelas ini berisi siswa-siswi istimewa. Mereka kreatif, kritis, mandiri, percaya diri dan selalu bekerjasama memajukan kelasnya. Barulah sekarang ada istilah profil pelajar Pancasila. Sebenarnya sudah sejak lama di sekolah ada siswa-siswa seperti itu karena dididik oleh guru-guru penggerak yang sebenarnya. Mereka yang memilih menjadi guru dan mendidik dengan hati serta konsisten membangun kompetensi siswa. Sepanjang hari senantiasa memikirkan muridnya.

Aku melihat sang penari telah menjadi guru di sekolah penggerak. Dua puluh tahun yang lalu lincah menari. Tampil kembali dalam tarian inovasi. Jika dulu mampu bekerjasama dengan baik dalam setiap tariannya, kini berkolaborasi harmonis dengan rekan-rekan kerjanya. Pengalaman terbaik di masa lalu akan menjadi bekal di masa kini.