Pesona Tangan-tangan Absurd
Malaikat?
Nabi?
Setan atau sebangsa Jin kah?
Mereka adalah sederet makhluk yang diyakini keberadaannya, namun selalu malu untuk menampakkan jati diri yang sesungguhnya.
Budi Darma merupakan salah seorang tokoh prosa Indonesia angkatan 1970-an. Selain itu, beliau dikenal sebagai seorang pengarang yang revolusioner pada waktu itu, terutama dalam aspek prosa fiksi. Budi Darma, Danarto, Putu Wijaya dan Iwan Simatupang dapat diklasifikasikan sebagai pengarang yang paling menghasilkan pembaharuan khususnya dalam teknik fiksi dan juga isinya.
Budi Darma juga dikenal sebagai seorang penulis yang fleksibel karena keupayaannya sebagai tokoh cerpenis, novelis, dan juga pemikir. Hal tersebut dapat dibuktikan dari karya-karyanya yang berupa cerpen, novel, esai, atau makalah-makalah untuk berbagai pertemuan. Tambahan pula, hasil karya sastra yang dinukilkan oleh beliau mempunyai pemikiran tersendiri selari dengan matlamat untuk melahirkan pembaca yang kritis. Budi Darma juga dikenal sebagai pengarang absurd karena karya-karya yang dihasilkan membicarakan mengenai sesuatu yang aneh. Hal ini membuat beliau menjadi tokoh penulis yang unik dalam prosa Indonesia.[1]
Absurditas sebuah karya sastra adalah sesuatu yang paling bisa membuat para pembaca lebih dalam mengintip karya tersebut. Cerpen dengan judul Laki-laki Pemanggul Goni karya novelis ternama Budi Darma adalah sebuah cerpen yang sangat menarik hati meskipun absurditas dari cerpen tersebut memaksa pembaca untuk berfikir kritis bahkan menebak-nebak apakah inti dari cerpen ini? Dan bagaimana akhir dari kisah ini?.
Cerpenis kelahiran Rembang, 77 tahun yang lalu itu mencoba memberi kesan absurditas yang mendalam. Kesan absurditas yang terlukis di dalam cerpen tersebut mampu membawa pembaca ke dunia nyata. Sungguh aneh bukan? Bayangkan saja jika hanya dengan dilihat oleh seorang Laki-laki yang memanggul goni, orang yang dilihatnya bisa meninggal. Sungguh menakutkan bukan? Kira-kira siapakah gerangan pemanggul goni itu?
Cerpen Laki-laki Pemanggul Goni tidak jauh beda dengan cerpen Kisah Pilot Bejo yang jenis ceritanya juga memaksa pembaca untuk berfikir kritis. Pengarang Absurd adalah julukan yang sesuai dengan sifat Budi Darma jika dilihat dari hasil-hasil karyanya. Selain itu, jika dilihat dari kacamata Psikologi Sastra, karya prosa fiksi milik Budi Darma lebih pada kesan monolog. Kepribadian yang dimiliki oleh seseorang dilukiskan dalam wujud tokoh di dalam karya prosa fiksi. Tokoh tersebut biasanya digambarkan melalui nama yang diberikan pada tokoh dalam karya prosa fiksi.
Absurditas dalam cerpen Laki-laki Pemanggil Goni lebih pada kesan absurd yang bersifat irasional. Imajinasi dan setting pada cerpen Laki-laki Pemanggul Goni juga sangat mendukung suasana dalam cerpen tersebut.
Cerpen Kisah Pilot Bejo merupakan karya Budi Darma yang terbit pada tahun 2007 juga memiliki kesan absurd di dalamnya. Namun, kesan absurd yang terdapat dalam cerpen ini lebih pada kesan absurd yang mampu membuat pembaca tertawa. Singkat kata absurditas yang humoris. Banyak kesan-kesan humor di dalam cerpen tersebut. Meskipun humor yang digambarkan tidak pernah ada dalam dunia nyata.
Cerpen Kisah Pilot Bejo memiliki alur cerita yang unik kemungkinan besar dilatarbelakangi oleh keadaan jiwa pengarang yang mungkin pada saat itu unik pula. Keadaan sekitar tempat pengarang bertempat tinggal mungkin juga menjadi inspirasi untuk membuat cerpen tersebut. Misalnya mitos kepercayaan terhadap arti dari sebuah nama. Perhatikan potongan cerpen di bawah ini;
“Karena pekerjaan mengangkut orang dapat memancing bahaya, maka, turun menurun mereka selalu diberi nama yang menyiratkan keselamatan. Dia sendiri diberi nama Bejo, yaitu “selalu beruntung” ayahnya bernama Slamet dan karena itu selalu selamat, Untung, terus ke atas, ada nama Sugeng, Waluyo, Wilujeng, dan entah apa lagi. Benar, mereka tidak pernah kena musibah.”(cerpen Kisah Pilot Bejo paragraf 3)
Penggalan tersebut menjelaskan bahwa masyarakat beranggapan sebuah nama mampu mengubah nasib seseorang. Kebiasaan tersebut biasanya diwariskan melaui tradisi lisan masyarakat sekitar. Sebenarnya jika ditinjau dari segi kelogisan, hal itu sangat tidak logis. Nasib manusia itu memang sudah ada yang mengaturnya. Bukan nama atau apapun itu.
Kesan absurd yang digambarkan dalam cerpen ini nampak jelas dalam kalimat-kalimat yang digunakan oleh pengarang. Misalnya nama tokoh dokter dalam cerpen ini Gemblung, nama lembaga AA (Amburadul Airlines), SA (Sontholoyo Airlines). Secara logika, di dalam kehidupan nyata tidak ada nama-nama yang seperti itu. Hal tersebut benar-benar diciptakan secara unik oleh pengarang untuk lebih menarik perhatian para pembaca sastra. Selain unsur absurditas di dalam cerpen tersebut, tampak pula unsur humoris yang di selipkan pengarang di dalam cerpen tersebut. Perhatikan penggalan cerpen di bawah ini;
Pesawat beberapa kali berguncang-guncang keras, beberapa penumpang berteriak-teriak ketakutan. Semua awak pesawat sudah lama tahan banting, tapi kali ini perasaan mereka berbeda. Dengan suara agak bergetar seorang awak pesawat mengumumkan, bahwa pesawat dikemudikan oleh pilot bernama Bejo, dan nama ini adalah jaminan keselamatan.
“Percayalah, Pilot Bejo berwajah kocak, tetap tersenyum, tidak mungkin pesawat menukik.”
Pilot Bejo sendiri merasa penerbangan ini berbeda. Hatinya terketar-ketar, demikian pula tangannya. Meskipun wajahnya kocak, hampir saja dia terkencing-kencing. (cerpen Kisah Pilot Bejo paragraf 19-21)
Siapa yang tidak ingin tertawa jika melihat deretan kalimat di atas. Sebenarnya, deretan kalimat tersebut sengaja dimunculkan oleh pengarang untuk menimbulkan kesan humoris.
Sebenarnya kesan absurditas di dalam cerpen juga tertuang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya pada cerpen Laki-laki Pemanggul Goni, kisah yang ada dalam cerpen tersebut pernah terjadi pada zaman dahulu. Dahulu seorang nabi yang bernama nabi Khidr membunuh seorang anak kecil. Bukan hanya membunuh anak kecil, beliau juga menghancurkan perahu di lautan. Jika kita tidak tahu alasan mengapa anak kecil tersebut dibunuh, mengapa kapal tersebut dihancurkan mungkin kita akan berfikiran bahwa nabi Khidr adalah nabi yang jahat, tidak berperikemanusiaan dan pikiran negatif lainnya. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh nabi tersebut memiliki makna tersendiri. Anak tersebut dibunuh karena nabi Khidr mengetahui bahwa kelak dia akan memiliki perangai yang buruk. Selain itu beliau juga tidak ingin orang tua dari anak tersebut menjadi kafir akibat dari perangai buruk dari anaknya. Maka dari itu, nabi Khidr membunuh anak tersebut. Pembunuhan tersebut telah mendapat izin dari Allah dengan dasar Al_Quran surat Al-Kahfi ayat 65-82 (Depag, 1998: 454-456), sebagai berikut.
“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”(QS. 18:65)
“Musa berkata kepada Khidhr:` Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu? `”(QS. 18:66)
“Dia menjawab:` Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.”(QS. 18:67)
“Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu? `”(QS. 18:68)
“Musa berkata:` Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun `.”(QS. 18:69)
“Dia berkata:` Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu `.”(QS. 18:70)
“Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melubanginya. Musa berkata:` Mengapa kamu melubangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? `Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.”(QS. 18:71)
“Dia (Khidhr) berkata:` Bukankah aku telah berkata: `Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersamaku`.”(QS. 18:72)
“Musa berkata: `Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku`.”(QS. 18:73)
“Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang pemuda, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: `Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang munkar`.”(QS. 18:74)
“Khidhr berkata: `Bukankah sudah ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?`”(QS. 18:75)
“Musa berkata: `Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku`.”(QS. 18:76)
“Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: `Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu`.”(QS. 18:77)
“Khidhr berkata: `Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”(QS. 18:78)
“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.”(QS. 18:79)
“Dan adapun anak muda itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.”(QS. 18:80)
“Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).”(QS. 18:81)
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak muda yang yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya`.”(QS. 18:82)
Kesan absurdistas dalam cerpen Kisah Pilot Bejo juga pernah bahkan sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya orang-orang tua zaman dahulu memberi nama anak, cucu atau keponakannya berdasarkan mitos-mitos atau tradisi lisan. Misalnya nama Ayu, orang tua berharap agar anaknya cantik rupawan. Bukan hanya cantik jasmani tetapi juga rohani. Selain itu orang tua juga terkadang bahkan sering mengubah nama anaknya jika anak tersebut sering sakit-sakitan. Misalnya nama Diyah Ayu Wulandari. Jika dilihat dari segi arti, nama tersebut baik. Tapi siapa sangka, pemilik nama tersebut sering sakit-sakitan. Orang pintar, katakanlah seperi itu, menyarankan agar nama Diyah Ayu Wulandari diubah. Kata Diyah pada nama tersebut disarankan untuk dihilangkan. Konon katanya karena keberatan nama. Katanya keberatan nama bisa mendatangkan sial. Itu hanya opini dari mitos-mitos zaman dahulu. Tetapi jika kita mampu berfikir pada logika dan takdir tuhan, kita akan menerima dengan ikhlas apa yang telah tuhan takdirkan untuk kita.
Absurditas dan Pengarang
Istilah absurditas menurut Akhkam & Wibisono (2003) itu sendiri berasal dari kata dasar absurd yang bersumber dari bahasa Latin; ab berarti “tidak” dan surdus berarti “dengar” atau secara harfiah dapat diartikan dengan “tidak enak didengar”, “tidak masuk akal”, “tidak sesuai dengan akal”, atau “tidak logis” (Bagus, 2000:1). Penjabarannya oleh Camus dilakukan dengan suatu perspektif metafisik, yaitu relasionalitas antara kehendak dan rasio manusia dengan kenyataan dunia (Solomon dan Higgins, 2002:552).[2]
Menurut KBBI online, secara etimologis, absurd berasal dari dua kata dari bahasa latin, ab dan surbus, yang berarti tidak dan dengar. Makna harafiahnya adalah tidak mendengar atau tuli. Dalam konteks kehidupan, absurd berarti irasional atau tidak logis. Absurditas Camus menekankan adanya kontradiksi antara hasrat individu dengan realita. Situasi irasional ini ditemukan manusia di kehidupannya ketika adanya keinginan dari dirinya yang tidak terbendung untuk mencari sebuah kejelasan di antara ketidakjelasan dunia ini. Manusia sebagai sebuah eksistensi memiliki kebebasan akan dirinya, tapi keadaan dunia membatasi kebebasannya sebagai seorang manusia. Hubungan antara manusia dan kehidupan dinilai absurd oleh Camus. Paradigma inilah yang menyatakan kesadaran manusia menggambarkan penderitaannya.[3]
Absurditas adalah segala sesuatu yang yang mustahil bagi manusia. Manusia sangat sulit untuk memahami sebuah absurditas. Beda pemahaman dengan masyarakat awam yang hanya mengartikan absurditas sebagai sesuatu yang tidak masuk akal, berbeda dengan pandangan sastrawan yang menjadikan absurditas sebagai media untuk menuangkan imajinasi. Dengan absurditas seorang sastrawan mampu menarik perhatian pembaca, tetapi dengan absurditas pula sastrawan bisa mendapatkan kritikan pedas dari pembaca .
Absurditas berhasil dituangkan dalam karya sastra cerpen oleh cerpenis terkenal Budi Darma. Keingintahuan tentang dunia dan kecintaannya kepada sang Maha Pencipta kemungkinan besar adalah hal yang melatarbelakangi terciptanya cerpen ini. Terbukti dari penggalan-penggalan cerita yang penuh dengan teka-teki. Lihatlah penggalan cerpen di bawah ini:
......”Mereka saya ambil. Saya tahu, kalau mereka tidak saya ambil, pada suatu saat kelak dunia akan gaduh. Gaduh karena, kalau tetap hidup, mereka akan mengacau, membunuh, dan menyebarkan nafsu besar untuk berbuat dosa. Saya tidak mengambil kamu karena kasihan. Kamu habis kehilangan ayah. Ayah bejat. Pada saat seharusnya dia di masjid, bersembahyang, dan kemudian membantu orang-orang menyembelih kambing, ayahmu berkeliaran di hutan. Bukan untuk menyembelih kambing, tapi mengejar-ngejar babi hutan untuk dibunuh. Ingatlah, pada hari Idul Adha, ketika Nabi Ibrahim sedang menyembelih anaknya sendiri, Ismail, datang keajaiban. Bukan Ismail yang disembelih, tapi kambing.”(cerpen Laki-laki Pemanggul Goni paragraf 29)
Pada penggalan cerpen tersebut, saya mulai bertanya-tanya. Sebenarnya siapa laki-laki pemanggul goni tersebut? Mengapa dia bisa mengetahui masa depan dan masa lalu manusia? Apakah memang ada manusia yang seperti itu? ataukah itu hanya imajinasi penulis yang sangat kental?
Tidak mudah untuk mengatakan siapa sebenarnya tokoh laki-laki pemanggul goni tersebut. Jika dikaitkan dengan interpretasi dalam kehidupan nyata, laki-laki tersebut bisa saja seorang nabi Khidir yaang bisa mengetahui masa depan dan masa lalu seseorang. Akan tetapi bisa juga dia adalah jelmaan dari Malaikat utusan Allah. Bisa pula Jin atau setan menjelma menjadi manusia.
Setelah menganalisis potongan dari cerpen tersebut, bisa saja kesan absurd yang dituangkan dalam cerpen merupakan aktualisasi pengalaman pengarang atau juga latar belakang kehidupan pengarang yang memang kental dengan kehidupan yang bersifat absurdisme. Oleh karena itu, perlu ketelitian dan pembacaan referensial dalam menerapkan kritik berpendekatan ekspresif. Hal ini senada dengan penjelasan Suroso et al. (2009:27) bahwa berdasarkan teori kritik ekspresif, ada 8 problem dasar yang dihadapi manusia, yaitu, maut, tragedi, cinta, harapan, pengabdian, kekuasaan, makna dan tujuan hidup, serta hal-hal yang dalam kehidupan manusia. Selain 8 problem kehidupan tersebut, kritik ekspresif juga membahas tentang latar kehidupan pengarang yang menjadi motif penciptaan karya sastra. Kritik ekspresif berusaha mencari asal-usul (genetika) teks karya sastra.
Absurditas dan Pembaca
Pembaca merupakan media yang tepat sebagai sarana untuk mengkritik sebuah karya sastra. Akan tetapi tidak semua pembaca mampu menjadi seorang krikitus. Beberapa pembaca yang bersifat kritis mampu menjadi kritikus bagi karya sastra dan sastrawan.
Dipandang secara teori kritik Pragmatik, Cerpen yang berjudul Laki-laki Pemanggul Goni dapat memberikan efek-efek yang beragam bagi pembaca. Dilihat dari segi estetis (keindahan) cerpen, bahasa yang digunakan sudah mampu mewakili. Tingkat kerumitan alur juga merupakan efek estetis dalam cerpen tersebut. Selain memberikan efek estetis bagi pembaca, cerpen tersebut juga memberikan pendidikan bagi pembaca. Di dalam cerpen tersebut, kita diajarkan untuk melaksanakan ibadah secara rutin, taat pada perintah agama dan saling menghargai antar sesama. Dalam kriktik pragmatik, pembaca juga bisa mendapatkan manfaat pengembangan kejiwaan atau kepribadian. Secara tersurat, kesan-kesan tersebut tidak bisa dilihat secara kasat mata. Akan tetapi, jika pembaca tersebut kritis, kesan tersebut akan mucul. Hal itu dikarenakan kesan yang disuguhkan di dalam cerpen tersebut berupa kesan yang tersirat. Lihatlah penggalan cerpen di bawah ini:
Karmain kembali ke lantai sembilan, masuk ke dalam apartemen, kemudian mencari berkas-berkas lama yang sudah lama tidak ditengoknya. Setelah membuka-buka sana dan sini, Karmain menemukan album lama. Ada foto ibunya ketika masih muda, seorang janda yang ditinggal oleh suaminya karena pada hari raya Idul Adha, suaminya tertembak ketika sedang berburu babi hutan bersama teman-temannya di hutan Medaeng. Ada lima pemburu, termasuk dia, ayah Karmain. Mereka berlima masuk hutan bersama-sama, kemudian melihat seekor babi hutan berlari kencang, menabrak beberapa semak-semak. Untuk mengejar babi hutan itu, mereka berpisah, masing-masing lari ke berbagai arah. Siapa di antara empat temannya yang dengan tidak sengaja menembak ayah Karmain, atau justru dengan sengaja menembaknya, tidak ada yang tahu. (Cerpen Laki-laki Pemanggul Goni paragraf 17)
Dari penggalan cerpen di atas. Tokoh dari Ayah Karmain merupakan tokoh yang taat pada agama, tidak bisa menghargai sesama. Berdasarkan penggalan cerpen tersebut kita bisa mengambil pelajaran bahwa kita harus taat pada perintah agama dan saling menghargai antar sesama. Dari cerpen tersebut pembaca bisa mendapatkan wawasan yang lebih dari sebelumnya.
Absurditas dalam menuangkan Ilustrasi yang sangat baik untuk menjebak para pembaca dalam menikmati sebuah karya sastra. Pada kedua cerpen dengan pengarang yang sama dan judul yang berbeda, ilustrasi yang digunakan benar-benar beragam. Meskipun sama-sama memiliki unsur absurditas yang sama, namun bahasa yang digunakan untuk menyampaikan maksudnya berbeda. Pada cerpen pertama lebih membuat pembaca berfikir kritis dan menyimpang, sedangkan pada cerpen kedua lebih pada hal yang santai dan humoris.
Absurditas memang suatu hal yang membingungkan pembaca, mungkin kata-kata dari Adjip Rosidi “Kalau tidak salah, semoga saja benar” itu pantas digunakan untuk memahami sebuah karya sastra yang bersifat absurd.
Alur di dalam cerpen tersebut memang sulit ditebak dan dimengerti. Sebenarnya apakah yang membuat pengarang menggunakan alur yang sulit ditebak oleh pembaca? Saya jadi teringat akan istilah suspense dalam sebuah karya sastra. Mungkin pengarang ingin menjadikan karyanya penuh dengan suspense, sehingga dia menggunakan alur sebagai medianya. Meskipun alur yang digunakan dalam cerpen tersebut sulit ditebak, akan tetapi bahasa yang digunakan merupakan pilihan kata yang baik meskipun terkesan rumit untuk dipahami.
Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas. Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau melawan. Ini kata Sutardji dalam kredo puisinya dalam pembukaan dan pengantar O Amuk Kapak.
Paragraf di atas cukup menarik perhatian. Jika sedikit kita korelasikan konsep absurditas ke dalam pengertian ini, maka menurut saya tidak akan ada kata yang mulia atau yang laknat, karena kata tercipta bukan untuk mulia dan laknat. Kata itu dia sendiri. Kalaupun kita menyusupkan makna dan keindahan kedalamnya itu sesuai kehendak kita. Setelah itu kita akan mendapat respon yang bebas dari pendengar atau pembaca kata-kata.
Daftar Rujukan
Akhkam, S., & Wibisono, K. 2003. ABSURDITAS MANUSIA DALAM PERSPEKTIFPEMIKIRAN ALBERT CAMUS ( Evaluasi Kritis Atas Pandangan Antropologi Filosofis). SOSIOHUMANIKA. 16B (2): 345-355.
Departemen Agama Republik Indonesia. 1998. Al Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Al-hidayah surabaya.
Suroso, Santosa, P., & Suratno, P. 2009. Kritik Sastra Teori, Metodologi, dan Aplikasinya. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
[1] http://budidarma2009.blogspot.com/
[2] Saepul Akhkam dan Koento Wibisono, “ABSURDITAS MANUSIA DALAM PERSPEKTIF PEMIKIRAN ALBERT CAMUS (Evaluasi Kritis Atas Pandangan Antropologi Filosofis)”, Sosiohumanika, No. 2/12B, 2003, hlm. 345-355.
[3] http://ismoyojessy.blogspot.com/2013/04/orang-asing-sebuah-kajian-pendek.html
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Membaca tulisan ini bak berselancar di samudera nan luas. Terimakasih telah hadirkan kesejukan di tengah kehausan ini. Salam kenal, bu dari bumi Gresik. Sangat menginspirasi
Salam kenal juga bapak. Terima kasih atas apresiasinya
Aku follow, njih. Kalau berkenan bisa follback.
Saya SDH follow...Tapi pak Ahmad blm follback sy...Monggo...hhh
Barokallaah...
Itulah bu, kalau sok sibuk .Sibuk ngurus banyak hal yang tidak perlu diurus. Hihihi. Udah aku follback