Petromak
#Tantangan365
#Hari ke-144
Jangan pernah meminta kesulitan bertandang dalam kehidupan. Kau takkan sanggup untuk menghadapi kesedihan-kesedihan di dalamnya. Jiwamu takkan sanggup menampung pedihnya air mata kehidupan. Butuh rentetan kesabaran untuk menggaulinya, butuh hati yang kuat dalam penerimaannya. Tak ada yang pernah rela membukakan sedikit celah untuk menghadirkan kesulitan. Jika boleh meminta pada Tuhan jangan pernah izinkan kesulitan singgah dalam kehidupan. Perjalanan hidup ada dalam sepetak takdir Tuhan, kau takkan pernah menyangka akan ada tangan yang mampu melukis sebaris senyum, walau hanya lewat seberkas sinar. Sejatinya kebahagiaan adalah kesanggupan menata hati.
***
Sinar matahari belum menyelinap diantara rapatnya deretan pohon karet. Bau lateks sudah menyeruak sepagi ini dibawa hembusan angin. Mengusik udara yang kuhirup di sekeliling rumah. Seraut wajah laki-laki tua melintas dalam ingatanku sejak subuh ini. Pak Saman, nama yang kuketahui saat berkenalan dengan beliau. Laki-laki tua yang tidak sepantasnya lagi berada di luar rumah sepagi ini untuk menyadap karet dalam balutan udara yang menusuk. Kesanggupannya menaklukkan udara dingin dalam usia senja demi bertahan hidup.
Kuseret langkah kaki yang masih enggan beranjak dari kamar. Kulirik Imam masih mendengkur di atas kasur tipisnya. Kelelahan telah menghinggapi raganya setelah kemarin seharian bersamaku mengitari perkebunan karet milik petani. Jadwal penyuluhan berjalan lancar sesuai rencana yang disepakati bersama para petani.
***
Pagi ini kuurungkan membuat secangkir kopi, hasil pemeriksaan tekanan darahku seminggu yang lalu lumayan tinggi. Kuaduk secangkir teh dengan sedikit gula untuk mengusir udara dingin. Kurapatkan jaket yang membungkus tubuh, pergi keluar meregangkan otot-otot yang terasa penat. Tak kuhiraukan bau busuk yang menyengat terbawa hembusan angin dari lateks yang direndam petani. Sejauh mata memandang nampak pekat hutan karet di depan mata, di antara deretannya ada tubuh renta yang sedang menyambung hidup dari hasil sadapan karet. Sebuah lampu teplok kecil di tangannya sebagai penerang.
Perkebunan milik para petani ini sudah diusahakan secara turun temurun. Hanya Pak Saman yang tidak memiliki sejengkal tanah perkebunan. Lahan miliknya sudah lama dijual untuk membiayai keluarganya. Saat ini hidupnya bergantung pada lahan milik tetangga, menjadi buruh harian menyadap pohon karet setiap pagi
***
Pak Saman baru saja selesai menyadap pohon karet siang ini. Lelah menghiasi wajahnya yang tirus. Tetesan bulir-bulir keringat tak putus jatuh merembesi bajunya hingga basah.
“Assalamualaikum Pak Saman”
“Waalaikum salam”
“Gimana kabarnya hari ini pak, sehatkah?”
“Alhamdulillah Nak, Bapak sehat”
Sepuluh tahun yang lalu lahan perkebunannya telah dijual. Anak-anaknya pergi mengadu nasib ke kota. Hingga hari ini anak-anaknya tak pernah lagi pulang. Hanya doa yang dipanjatkan untuk keselamatan anaknya di perantauan. Kulihat gurat kesedihan menggantung di mata tuanya saat bercerita.
***
Kuikuti langkah kaki Pak Saman disela-sela pohon karet yang siap disadap pagi ini. Dengan gesit arit kecil di tangannya mulai menyayat pohon karet satu persatu. Tangan keriput itu sigap menderes deretan pohon karet yang sudah siap panen. Saat aku berbalik tubuh beliau sudah lenyap dari pandangan terhalang deretan pohon karet. Sorot lampu teplok tak mampu memberi tanda kemana arah langkahnya. Tanpa pamit aku melangkah pulang. Aku tak mau mengganggu pekerjaannya. Sebagai buruh harian hitungan upah akan diperoleh Pak Saman dari seberapa banyak hasil sadapan.
Belum begitu jauh kakiku melangkah, terdengar suara benda jatuh. Perasaanku tak enak, kusongsong bunyi tersebut. Pak Saman sudah terduduk di tanah, hasil sadapan karetnya tumpah di samping tubuhnya. Semprong lampu teploknya pecah terantuk akar pohon. Segera kuangkat tubuhnya, dingin menjalar ke seluruh tubuh, wajah Pak Saman nampak pucat. Rasa kecewa menggantung di wajahnya.
***
Penyadapan karet pagi ini membuatku khawatir dengan kondisi Pak Saman. Kemarin kuminta Pak Saman menyadap pukul 05.45 saja, di saat pohon karet mengeluarkan banyak lateks. Namun luasnya lahan yang harus dijangkau, Pak Saman sudah turun jam empat subuh. Tak jarang Pak Saman melaksanakan salat Subuh diantara deretan pohon karet.
Usai salat Subuh aku bergegas ke rumah Pak Saman, rupanya beliau sudah berangkat ke areal perkebunan. Kusibak gelap diantara deretan pohon karet untuk mencari seberkas sinar dari lampu teplok yang dibawa beliau. Nafasku sedikit terengah, namun sinar lampu teplok yang kucari belum kutemukan. Kemana Pak Saman?
Kuputuskan untuk beristirahat sambil menunggu sinar matahari masuk ke dalam area perkebunan. Tak sadar aku tertidur di bawah pohon karet. Sentuhan hangat menyentuh tubuhku yang kedinginan. Aku terjaga, kulihat sebaris senyum menyungging di wajah yang tak asing lagi. Pak Saman sudah berdiri di sampingku. Kulihat sadapan karetnya pagi ini hanya sedikit. Lampu teplok tanpa semprong di tangannya sudah kehabisan minyak. Aku tahu ada rasa kecewa di raut wajahnya, jika teringat upah yang akan diterimanya hari ini.
***
Malam ini kuhabiskan kantukku bersama Pak Saman di balai-balai kayu depan gubuk tuanya. Sorot lampu teplok tanpa semprong,satu-satunya penerang yang dimilikinya. Seberkas sinar lampu yang mulai meredup mencuri pandanganku pada laki-laki tua ini. Tak sanggup aku menghitung guratan yang ada di wajahnya. Tergambar betapa beliau sudah sangat lelah untuk melakukan pekerjaan ini. Puluhan tahun menjadi penderes karet tak mengubah nasibnya. Gubuk tua yang didiami saat ini merupakan harta satu-satunya. Jangankan untuk mengganti dinding yang sudah tak rapat lagi, untuk membeli semprong lampu teplok yang pecah pun Pak Saman belum bisa menyisihkan upahnya.
“Mengapa bapak masih bertahan dengan pekerjaan ini”
Suaraku membuyarkan lamunannya. Aku tahu ada yang sedang dipikirkannya. Upah sadapan karetnya beberapa hari ini sangat sedikit. Kondisinya tubuhnya mulai menurun.
“Karena hanya ini yang bisa saya lakukan, meski Allah memberi batasan rezeki hanya sedikit, namun harus tetap disyukuri”
***
Hari ini aku akan melakukan penyuluhan ke areal perkebunan karet yang lain. Sengaja aku berangkat pagi-pagi sekali menuju rumah Pak Saman untuk berpamitan. Beliau terkejut melihat kedatanganku dengan menjinjing lampu petromak. Sorotnya menerangi seisi rumah. Kugantungkan petromak dengan kawat di palang kayu yang melintang di dek rumahnya yang sudah bolong. Pak Saman masih keheranan melihat tingkahku. Matanya terlihat berbinar, senyum menyungging di wajah keriputnya.
Terima kasih untuk pelajaran hidup yang kudapat selama mengenalmu. Bahagia tidak harus selalu diukur dengan materi yang berlimpah. Satu sorot sinar petromak sudah mampu menghadirkan bahagia di wajah tuamu. Aku akan terus belajar dari kehidupanmu bagaimana menata hati agar selalu bersyukur menjalani hidup.
Belitung, 27062020
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren say. Terkadang kita merasa selalu kurang pdhl byk org lain di luar sana yg lebih menderita. Smg kita menjadi org yg selalu bersyukur.
Aamiin YRA, iye say tetaplah selalu bersyukur
Masyaallah bu..Cerita inspiratif,,
Makasih bu
Keren dan inspiratif, sukses untuk Ibu
Makasih pak apresiasinye
kebahagiaan yg tidak diuukur dari banyaknya materi dikupas dalam cerita penyadap karet ini..apik bu..salut
Makasih bpk sdh hadir mengapresiasi
Wow, keren Bunda..salam literasi
Makasih bund, salam literasi
Keren...belajar kehidupan dari Pak Salman dan petromak.
Iye kk, makase
Lampu di rumah saya waktu kecil Bunda.
Sm pak sy jg prnh merasakan