yusna affandi

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
KELAS AKSELERASI DAN LITERASI
https://www.google.co.id/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=images&cd=&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwj4-KX2jLXVAhUJpo8KHRudBbgQjRwIBw&url=http%3A%2F%2Fwww.bbc.com%2Findonesia%2Ftopik%2Fbuku&psig=AFQjCNFiEub2ESISEVk7ptp8-R-NdLP84Q&ust=1501644777376217

KELAS AKSELERASI DAN LITERASI

Shafa, seorang mahasiswi kedokteran gigi Universitas Gadjah Mada menuturkan bahwa dia masuk di universitas tersebut ketika umur 15 tahun. Normalnya umur 15 tahun masih akan masuk SMA. Tapi dia sudah mengalami orientasi mahasiswa baru, mulai memikirkan perkuliahan yang berbeda dengan pelajaran di sma, dan mandiri dengan tugas kuliahnya. Yang jelas dia bisa secepat itu karena katanya dia mengikuti kelas akselerasi ketika masih di sekolah menengah pertama dan menengah atas.

Usia 15 tahun sepertinya menjadi hits saat ini. Saya jadi teringat beberapa hari kemarin ada berita mengenai anak seumuran itu di persekusi, ada anak dalang begal motor, dan banyak lain yang seumuran telah melakukan hal-hal yang luar biasa. Berarti yang katanya Indonesia akan mendapatkan bonus demografi akan terwujud sebentar lagi. Namun untuk kelas akselerasi ini yang jelas adalah hal lain dan prestasi lain yang luar biasa.

Terlibat di dalam perihal kelas akselerasi bukan hal baru buat saya. Tahun 2007, untuk pertama kalinya saya mengajar sebuah kelas yang dinamakan kelas akselerasi di MAN 3 Malang. Kelas itu katanya terdiri dari anak-anak yang memilih kelas itu dan telah melalui proses seleksi khusus. Seleksi khusus itu melihat berapa tingkat kecerdasan IQ mereka serta komitmen yang mereka miliki.

Dua komponen tersebut memang hal yang mendasar sebagai pijakan untuk membimbing siswa-siswi akselerasi. Kecerdasan yang diatas rata-rata digunakan untuk kecepatan menyerap materi yang diberikan oleh guru mengingat waktu mereka sangat terbatas, dan tidak sama dengan siswa-siswi regular. Kecerdasan emosional atau motivasi serta komitmen mereka merupakan hal penting lain untuk menjaga mood serta track belajar mereka selama mengikuti kelas akselerasi.

Di sisi lain, mengetahui dan mengenal karakter setiap individu dalam kelas ini merupakan hal yang sangat menarik. Salah satu contoh sebut saja namanya inovan. Dia siswa generasi kedua kelas akselerasi di madrasah yang saya ajar. IQnya diatas rata-rata. Namun yang sedikit menjadi pertanyaan adalah tingkat kematangan emosinya kala itu.

Anak ini dalam mempelajari sebuah bahasa tidak membutuhkan waktu lama. Cukup tiga bulan untuk mengenal dasar sebuah bahasa dan selanjutnya hanya butuh pembiasaan. Cerdas dan luar biasa menurut saya. Untuk anak seumuran Inovan ini, memahami bahasa ibu saja perlu bertahun-tahun, tapi dia sudah bisa menilisik dasar sebuah bahasa asing dalam tiga bulan dan kemudian menguasainya. Sedang dalam bidang eksak, dia lebih jago lagi. Kemampuan logika dan berhitung tak diragukan lagi.

Hal lain yang saya perhatikan adalah tingkat emosional dia. Ini mungkin yang tidak bisa dipercepat atau diakselerasi. Saya sadar sesadar-sadarnya dia masih umur belasan tahun. Menghadapi teman-temannya yang lebih pandai atau lebih superior bisa jadi dia termotivasi dan bisa jadi pula terpuruk. Bagaimana menghadapi orang yang lebih tua ini yang menurut saya dia perlu pembelajaran yang lama. Sehingga dia membutuhkan tuntunan dan arahan yang baik.

Mengajar di kelas akselerasi memang mengajarkan banyak hal, terutama dalam menghandle anak-anak yang kecerdasannya (IQ) melebihi dari guru pengajarnya. Menghadapi siswa seperti itu memang membutuhkan ketekunan dan derajat permakluman yang luar biasa. Karena mereka tergolong anak BI dan CI. Bakat Istimewa dan Cerdas Istimewa. Masih ingat dibenak saya kala itu, ketika masih gencar gencarnya program akselerasi, salah satu narasumber pada pelatihan guru untuk kelas akselerasi membincangkan tentang keistemawaan anak-anak dalam kelas ini. Anak-anak ini memang harus diwadahi dalam sebuah layanan dan dioptimalkan kemampuannya. Bila dimasukkan dalam kelas regular maka yang terlihat adalah menonjolnya kemampuan akademis mereka.

Namun disisi lain, mungkin yang terjadi adalah penurunan komitmen mereka untuk belajar dan mengembangkan potensinya bila berada diantara teman-temannya yang direguler. Sebabnya mereka berada dalam suasana yang tidak dituntut lebih berkompetisi dan bagi mereka bila ada kompetisi maka hal tersebut kurang menjadi tantangan yang berarti. Terlepas dari kemampuan social mereka akan lebih terasah di kelas regular, ini sepengamatan saya pribadi.

Sehingga sangat beralasan kala itu potensi-potensi ini diwadahi dalam kelas akselerasi. Karena kelas akselerasi menciptakan suasana kompetitif yang positif. Karena memudahkan pula bagi para pengajar untuk benar-benar fokus membimbing mereka.

Saya pun teringat ketika mengadakan sebuah tes harian di kelas akselerasi semacam ini. Ketika soal mulai dibagikan dan mereka kerjakan, saya mencoba untuk meninggalkan kelas dan melihat dari luar jendela. Dan hampir seluruh waktu yang mereka pakai adalah untuk mengerjakan soal bukan untuk berusaha bekerjasama mengerjakan soal, yang biasanya saya temui di kelas regular. Artinya adalah komitmen mereka untuk meningkatkan kemampuan akademis mereka benar benar teruji, dan komitmen itu untuk diri mereka sendiri.

Jadi saya berpikir bila ada pendapat kelas akselerasi ini cenderung diskriminatif hingga dibubarkan dan dihentikan programnya, maka saya bisa katakan tidak. Karena yang saya alami dan lihat tidak menunjukan seperti itu. Karena yang saya terlibat didalamnya menunjukkan kemampuan dan perilaku yang luar biasa dalam akademis. Sehingga saya pun masih mengharapkan ada regulasi khusus untuk mewadahi potensi-potensi peserta didik tersebut seperti layaknya sekolah mutant di film “X-MEN”.

Mungkin yang cenderung gagal dalam kelas akselerasi itu karena ada peserta didik yang memaksakan diri untuk masuk dikelas itu. mungkin karena keinginan orang tua mereka sedangkan mereka sendiri tidak berkeinginan. Sehingga pengaruhnya adalah komitmen individu yang kurang dalam kelas akselerasi tersebut. Peranan stakeholder sekolah atau madrasah juga amatlah penting sebagai fasilitator dan peranan memberikan pemahaman kepada peserta didik lain yang tidak termasuk dalam kelas akselerasi tersebut. Bahwa kelas akselerasi adalah wadah layanan, seperti mereka dilayani masuk jurusan ipa, ips, atau bahasa sesuai kemampuan mereka.

Saya pun mulai melebar membayangkan bila komitmen di kelas akselerasi ini bisa terjadi dikehidupan sehari-hari. Bahwa setiap individu adalah istimewa yang dapat mengembangkan potensi terbaik mereka. Saya berfikir akselerasi ini bisa terjadi dalam dunia literasi, dunia kesastraan, dan dunia dongeng yang bisa membentuk karakter anak menjadi lebih baik.

Alasannya cukup sederhana yaitu teknologi mendukung semua itu. dulu ketika belum boomingnya gawai seperti saat ini, buku cetak merupakan sesuatu yang sangat berharga untuk dipegang. Namun saat ini setiap anak tidak akan asing dengan smartphone atau gawai baik itu punya sendiri atau punyanya orang tua. Punyanya sendiri bisa jadi mereka mengumpulkan uang saku mereka dan membelinya. Kepunyaan orang tua mungkin karena orang tuanya ganti gawai atau sekedar pinjam. Namun yang pasti, gawai itu sekarang bisa menjadi lompatan dan akselerasi yang bisa dimanfaatkan di dunia literasi.

Memang gawai memiliki dua mata anak pisau. Bila dikontrol dengan baik maka barang tersebut bisa menjadi baik. Namun bila salah atau kurang baik dalam mengontrol barang tersebut akan menjadi hal yang merepotkan.

Dalam dunia literasi, akselerasi ini bisa dilakukan dengan mengoptimalkan keunggulan atau kecanggihan gawai. Penyebaran virus literasi ke anak atau peserta didik bisa melalui gawai ini. Anak-anak bisa mendapatkan dengan mudah cerita-cerita yang berbobot dari gawai yang mereka punya dan tugas pendidik adalah memfasilitasi pasca membaca cerita-cerita tersebut.

Diskusi tatap muka ataupun dalam jaringan dapat dilakukan sebagai bentuk fasilitas pasca membaca cerita-cerita tersebut. Dan hal ini jauh lebih cepat daripada cara konvensional seperti meminjam buku di perpustakaan dan membacanya. Selanjutnya alangkah bagusnya bila perpustakaan juga menyediakan perpustakaan digital sehingga bisa menyeimbangkan antara yang menggunakan teknologi dan yang konvensional. Karena yang konvensional diperlukan juga untuk memberikan warna humanis dalam literasi.

Sekiranya akselerasi diatas adalah contoh yang bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya. Yang bisa digunakan untuk mengakomodir potensi manusia yang berbeda-beda sehingga dikotomi kelas akselerasi yang hanya diperuntukkan bagi peserta didik yang memiliki kecerdasaan diatas rata-rata bisa dibiaskan. Diambil hikmahnya dan diadopsi prinsipnya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Setuju untuk mengambil hikmahnya dari peristiwa yang ada.

01 Aug
Balas

Mungkin ada yang lebih cepat lagi ? .. Model paket.

01 Aug
Balas



search

New Post