Kucuri Rumput Kiai
****
Kisah bukan nyata. Tapi ada, Kiainya ada, santri juga. Rumput apalagi. Banyuwangi ijo royo-royo. Tersangka? Maaf, bukan aku atau saya.
Lho? Judulnya? Aku ingin jadi pahlawan, tapi tidak mau kesiangan. Kata Kiai "Jangan menjemur qunut!"
Kututupi kasus tercela ini. Hanya aku dan dia. Kuungkapkan saat ini. Pak Kiai sudah menghadap Sang Robbi.
Al Fatihah....
Kumulai dengan bismillah.
****
Panas, terik. Kukempit, glangsi, arit. Berjalan menuju TKP. Sawah dengan rumput ketel, hijau. Kesukaan kekasihku. Hush! sapi.
****
Aduh! Ada Pak Kiai sedang merumput. Aku mengendap-endap. Tumpukan rumput Pak Kiai, sudah banyak. Kutunggu sampai posisi Kiai menjauhi.
Yah! Waktunya tepat. Kuambil glangsi Kiai. Dekat tumpukan rumput. Kumasukkan, secepat kilat. Flash! Wush!
Beres! penuh, satu glangsi sandal pleret.
Pak Kiai? Jauh tak terlihat. Terhalang rimbunan rumput, pagar, dan alang-alang.
Kupanggul, tanpa ba bi bu. Jangan sampai Pak Kiai tahu. Bisa diruqyah, sumpah pocong. Atau membersihkan WC, empat puluh hari empat puluh malam.
Waktu berlalu, aku tetap merumput. Amit amit! cari lokasi baru dung!
Pak Kiai? Aku tidak tahu. Mungkin semua bacaan zikir dilafalkan. Masya Allah! Subhanallah! Allahu Akbar! . . .!
Kalau aku jadi Pak Kiai. Sumpah serapah terucap. Syetan alas! Kurang kerjaan! Mbelus!...!#@&#!
****
Tiga hari raya berlalu, aku tetap tidak mengaku. CCTV tiada, pembuktian tidak mungkin dilakukan. Kegiatan ngaji berjalan lancar seperti biasa. Tidak sedikit pun tanda-tanda Pak Kiai menyinggung, apalagi marah.
****
Satu Syawal, hari raya terakhir sebelum Pak Kiai mangkat. Aku memberanikan diri. Malam hari, menunggu sepi. Hanya aku dan Pak Kiai.
Aku sujud dekat kaki Beliau. Tanpa kata, tiada suara. Hanya air mata. Air hangat begitu saja keluar dari kelopak mataku.
Aku pasrah. Kalaupun Pak Kiai menginjakku. Nyawa pun siap kulepas. Sebagai penebus dosa. Kurelakan semua, inna lillahi wa wainna ilaihi rojiun. Sungguh semua dari Allah, untuk Allah, dan akan kembali pada Allah.
Pak Kiai merangkulku. Mengangkat tubuhku. Yang seakan sudah lengket dengan lantai. Aku menyeka pipiku, basah air mata.
"Sudahlah, ugh...ugh...huk..." suara parau, berat Pak Kiai terdengar. Batuknya tidak kunjung reda. Dua tahun, bahkan lebih, Beliau divonis sakit paru-paru kronis.
****
Pak Kiai mafhum benar diriku. Bagaimana aku tega? Melihat Pak Kiai yang sudah uzur. Mencari rumput untuk sapinya.
Hanya santri tidak beradab, melihat Pak Kiai mengangkat satu karung penuh rumput.
Diam saja, bergeming. Leha-leha. Apalagi sambil udut, ungkang-ungkang.
Bull...bull...ah...
Harus, kupaksa memanggul rumput Pak Kiai. Diam-diam. Kutaruh di kandang sapi Beliau.
****
Pak Kiai telah pergi. Temanku pasti tidak baca cerita ini. Kudoakan semua, semoga damai di alam sana. Menikmati indahnya cicilan nikmat surga.
Aku? Biarkan berkelana. Dalam gurusiana. Penuh doa, nasihat, canda, apa saja ada.
Kelak, semoga kita bersua. Aamiin.
Ijo royo-royo= tanaman hijau, segar di mana-mana.
Ketel= Melimpah, Rimbun.
Kempit= Membawa dengan menaruh barang di bawah ketiak.
Glangsi= Karung plastik.
Arit= Sabit.
Glangsi sandal pleret= Karung plastik besar bekas tempat sandal.
Leha-leha= Santai.
Ungkang-ungkang= Duduk santai, sambil salah satu kaki ditaruh di atas kaki satunya.
Udut= Merokok.
Rumah ibu-Jajag Banyuwangi.
Sabtu, 02.03.2019, 16:17.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar