Lari dari Kenyataan
Lari dari Kenyataan
(Fiksi Ilmiah)
By: Kang Zae
Entah?
Mengapa aku dilahirkan sebagai "Gus." Di daerahku Gus biasa digunakan untuk panggilan orang terpandang. Seperti aku, putra Kiai Kampung. Meskipun Bapakku hanya mengasuh santri kalong, orang-orang tetap saja memanggilku "Gus Zae."
Santri kalong [kalong=kelelawar], para santri yang hanya menginap malam hari di asrama atau pemondokan. Siangnya, kembali ke rumah masing-masing. Beraktivitas membantu orang tua, atau belajar di sekolah formal.
Kemampuan Bapakku memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Berbagai ilmu agama seperti Tafsir Al-Qur'an, Nahwu, Shorof, Balaghah, Mantiki/ logika berpikir, Kajian Fiqh, dan lain-lain. Insya Allah 'dadal' dilahap Bapakku. Hal inilah yang membuat Para Kiai dan Masyayikh begitu takzim. Aku yang tidak bisa apa-apa, ikutan menerima penghormatan.
Aku sebenarnya 'risih' dengan panggilan kehormatan tersebut. Bapakku pun pernah memukul santri, gara-gara memanggilku "Gus Zae." Bapakku tidak ingin anak-anaknya merasa lebih terhormat dari anak-anak yang lain. Yang hidup, bermain dan besar bersama di lingkungan rumahku.
Bapak dan ibuku pun selalu mewanti-wanti, "Jangan dipanggil Gus atau Ning, pun Kiai maupun Bu Nyai. Cukup panggil Mas atau Mbak, Bapak dan Ibu." Sehingga praktis, semua santri Bapakku seperti keluarga sendiri. Mereka merasakan laksana ayah dan ibunya di rumah. Juga seperti kakak beradik denganku serta saudara kandungku.
Terkadang waktu senggang mereka sukarela membantu di sawah. Mencari rumput, atau sekedar membersihkan pelataran rumah. Kang-kang santri pun biasa keluar masuk dan makan di dapur rumah. Begitu juga sebaliknya, aku biasa bermain ke rumah para santri Bapakku. Sering kali aku tidur di kamar mereka. Ya, tidak ada masalah. Bukannya tidak hormat, cara seperti itu yang dikehendaki oleh Bapakku.
"Kita sama, tiada beda. Sama-sama manusia. Yang membedakan dihadapan Allah adalah taqwanya. Saya ulangi lagi, taqwa lah yang membuat perbedaan kemuliaan di hadapan-Nya." Suatu hari Bapakku berpesan.
Sambil menangis sesenggukan, Beliau berkata, "Saya takut, orang-orang menganggap saya lebih sholeh, lebih suci, seakan paling dekat dengan Allah. Padahal belum tentu. Justru resiko saya lebih berat. Saya takut disiksa Allah karena ilmu saya. Ilmu saya yang Kalian kira lebih banyak. Semakin banyak ilmu yang saya ketahui, memiliki potensi lebih banyak tidak saya amalkan. Semakin banyak dan berat yang akan saya tanggung. Karenanya, Kalianlah. Para santri lah yang dapat menolong. Menjadi saksi, dan mendoakan saya." Tangis Bapakku tidak terkira. Menangis seperti anak kecil kelaparan. Laksana melihat hantu di siang bolong. Menandakan Beliau benar-benar takut. Menghadapi hari pertanggung jawaban. Tanggung jawab sebagai orang yang dianggap alim. Ya, Allah, Ya Robby, Ighfirlana min adzabi dunya wal akhirat, amin....
Sikap Bapak Ibuku yang demikian tegas, seakan tidak didengar oleh masyarakat. Mereka tetap saja memanggilku "Gus Zae."
Aku berontak. Rambutku aku panjangkan seperti perempuan. Hingga pantat, bahkan lebih. Jarang sekali memakai sarung, apalagi memakai songkok. Tetap, mereka menyebutku jadab. Gila, saking cintanya kepada Sang Khalik. Justru semakin hormat. Sering diajak ziarah ke makam-makam. Masya Allah, bagaimana ini? Aku bingung.
Aku curhat pada salah satu santri Bapak. Aku bingung dengan kepangkatan ini. Kepangkatan yang justru membelenggu. Membuat saya dianggap alim. Lebih 'jaduk,' sakti dari paranormal. Aku ingin bebas, bebas, bebas sebebas-bebasnya. Diapun hanya tersenyum. Sampai sekarang, aku tidak faham makna dibalik senyumannya. Aku ingin hidup tanpa Gus. Panggil aku Mas saja! Atau langsung namaku saja!
Akupun diberi kesempatan kuliah oleh Allah. Niat sejak awal, tidak bergabung di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) keagamaan. Aku mencari yang dianggap paling jauh dengan agama. Terkesan urakan dan bebas berekspresi.
Pilihanku jatuh pada Pecinta Alam (PA) dan teater. Kesannya sangar, berambut gondrong, celana lubang-lubang, 'wira-wiri' dengan lawan jenis. Namun jangan suudzon, belum sekalipun aku mencium lawan jenis, apalagi sampai melakukan haha hi he. Tetap kukuh prinsip itu kupegang.
Semuanya kulakukan, tetap saja. "Gus Zae, Gus Zae, dan Gus Zae." Ingin rasanya menutup telinga ini. Kuingin lahir dari keluarga biasa. Dengan tata cara hidup sederhana. Justru berkumpul dengan PA dan teater, aku dianggap kiainya. Masya Allah! Rusak! Ajur! Kuingin pergi jauh. Tanpa nama besar Bapakku. Membuang jauh-jauh pangkat Gusku.
Hai Manusia! Kuingin seperti Kalian!
Hidup sederhana, dengan cara sederhana. Bebas bergerak kemanapun aku suka. Tanpa tatap menyelidik, sambil berkata, "Jalan menunduk. Itu Gus Zae, putra Kiai X, Pengasuh Pondok Y Kota Z." (*)
#Kang Guru tidak ingin dipanggil Gus.
20 Maret 2019
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Subhanallah Gus Zae, maafkan ketidaktahuan kami yg suka sembarangan pada Gus yang alim, ini, sekali lagi maafkan saya Gus
Astaghfirullah, ini fiksi Pak Haji. Ngarang, hehehe....