Nasi Goreng Melbourne
Kuperhatikan jarum jam di tangan. Pukul 11.30, sudah saatnya untuk mengisi lambung. Perjalanan panjang Jakarta Melbourne dan pemeriksaan ketat petugas bandara cukup melelahkanku. Virus Ebola, virus dari Afrika itulah penyebabnya. Setiap penumpang harus mengikuti serangkaian pemeriksaan. Tas bawaan diperiksa manual, sinar x security, dan terakhir ini yang membuatku ingin segera pulang ke Indonesia. Anjing hitam besar mengendus diriku.
Biodata. Setiap penumpang juga harus mengisi lengkap biodata. Semacam rekaman riwayat sakit. Juga jejak perjalanan tiga bulan terakhir. Jika dalam masa tiga bulan berjalan pernah berkunjung ke Benua Afrika. Lebih lama dan detail lagi. Bisa harus merasakan suntikan kontra ebola.
Pesawat Garuda yang kunaiki tiba di Tullamarine Airport pukul sepuluh pagi waktu Melbourne. Akupun melanjutkan perjalanan menggunakan bus. Tujuanku ke Maidstone. Penginapan mahasiswa Victoria University di Jalan Hampstead 71. Student Village ini sebenarnya lebih dekat ke Kota Maribyrnong. Namun posisi bangunannya masuk wilayah Maidstone.
Bus yang kutumpangi melaju sedang menyusuri jalanan Kota Melbourne. Bangunan-bangunan tua terlihat kokoh di sepanjang perjalanan. Kuperhatikan, tidak begitu banyak kendaraan yang lalu lalang. Hanya kendaraan umum bus, kereta api dan tram yang terlihat. Tram adalah kereta api satu gerbong. Yarra trams, perusahaan besar penguasa transportasi tram di seluruh jalanan Victoria.
Aku begitu menikmati perjalanan, kamera ponselku tidak henti-hentinya mengabadikan gambar di tepi jalan. Bangunan-bangunan rumah terlihat serupa berwarna merah bata. Tidak begitu tinggi dilengkapi dengan cerobong asap. Setelah lebih kurang setengah jam, bus melambat. Memasuki gerbang bertuliskan “Gate 3-Student Village-Victoria University.”
Barang-barangku (koper besar pakaian dan tas punggung laptop), untuk sementara aku taruh di lobi utama. Akupun menyusuri jalanan di sekitar Student Village. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan, mencari warung makan. Memenuhi hajat tubuh yang sudah begitu lelah. Apalagi suhu udara pada waktu itu mencapai 14OC. Hawa dingin yang membuat perut semakin keroncongan.
“Miss, i order number nine. Special fried rice!” kataku setengah tidak sabar. Setelah memasuki sebuah warung makanan. Di selatan Gate-5 student village. Pelayannya bermata sipit, berkulit putih bersih memperhatikan aku. Dia bertanya balik padaku, “Do you eat pork?” Waduh! Aku tersentak kaget. Spesial daging babi. Segera kugagalkan pesananku, “No, no i change!”
Pelayan berkebangsaan China tersebut, memperhatikan teman perempuan yang bersamaku. Mereka berjilbab, tentu muslim. Dan dugaannya benar, aku tidak makan daging babi. Untung saja pelayan warung berlabel “Noodle Zone” bertanya balik. Sehingga aku tidak terlanjur makan nasi goreng spesial daging babi. Masya Allah….
Akupun bergeser ke warung sebelah. Rasa laparku, membuat diriku semakin tidak tahan. Jam makan siang, waktu itu hampir bersamaan waktu istirahat siang. Antrian pembeli, saya hitung sekitar sepuluh orang. Yang membuatku lega, ini warung makanan muslim, insya Allah. Pelayan dan kasirnya gagah, tinggi, bercambang bauk. Sepertinya keturunan timur tengah.
Tetap saja hasratku ingin nasi goreng. Meskipun warung tersebut menjual berbagai jenis makanan. Warung “Food & Noodles,” tentu berbagai olahan makanan dan mi dijual. Lidahku belum terbiasa. Apalagi membaca namanya yang aneh-aneh. Uh, takut lidahku terpelintir. Food & Noodles hanya menyediakan dua meja, dengan masing-masing empat kursi. Praktis kebanyakan pembeli, membawa makanan pesanannya keluar.
“I order number eleven! Fried rice with shrimp.” Terjadi percakapan sekadarnya. Tampilanku mungkin terlihat aneh. Jaket rangkap tiga aku pakai semuanya. Masih ditambah penutup kepala dan sarung tangan. Pelayan tersebut menanyakan asalku. Dengan tersenyum, Dia memanggilku “Mr Ice.” Percakapan tersebut membuka sedikit tabir. Aku mengetahui, Dia mahasiswa dari Iran. Sambil kuliah, Dia dan temannya mengais rezeki di negeri orang.
“How much is it?” Pungkasku sebelum antrian di belakangku marah. “Eleven dollars,” jawabnya. Aku pun mengeluarkan dua lembar uang lima dolar Australia. Dan satu keping uang logam satu dolar bergambar Ratu Elisabeth II. “Thank you. See yaa.” Ucapku meninggalkan warung mahasiswa Iran.
Aku berjalan menuju Student Village. Sesegera mungkin akan menghabiskan nasi goreng udang istimewa. Dalam perjalanan pulang, otak matematikaku berputar. Satu dolar Australia sama dengan sepuluh ribu rupiah. Lima dolar Australia setara dengan lima puluh ribu rupiah. Nasi goreng udang harganya sebelas dolar Australia. Jadi, aku akan menghabiskan uang Rp 110.000,00 untuk setiap kali makan nasi goreng.
Waduh, tidak bisa dibiarkan. Harus dimanajemen ulang. Lebih baik, aku masak sendiri. Belanja bahan makanan di pasar Footscray, Queen Victoria Market, atau Asia Shop di pusat Kota Melbourne. Sambil belanja, bisa jalan-jalan melihat keindahan kota. Daripada untuk membeli makanan matang, lebih baik untuk mengisi pulsa transportasi. Aku dapat menyusuri seluruh wilayah Negara Bagian Victoria. [*]
Banyuwangi, 7 Maret 2019
Pukul: 21.00
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Wow..very expensive for a plate of fried rice..
Yes, sure! Salam sehat dan sukses selalu.