Zainuddin Lamari

Zainuddin lahir dari Ibu Apida dan Ayah Lamari di Pinrang Sulawesi Selatan, 16-11-1974. Pendidikan S1 Jurusan Ilmu Sejarah Fak. Sastra Univ. Hasanuddin. Pendidi...

Selengkapnya
Navigasi Web
Berdamai dengan Masa Lalu (4)

Berdamai dengan Masa Lalu (4)

Duduk di bangku kelas 4 membawa suasana baru bagi Salika dan teman-temannya. Ia kedatangan guru baru yang menggantikan guru yang mendapat perintah mutasi. Ibu guru yang tinggal di perumahan sekolah sudah memiliki teman se rumah. Salika dan teman-temannya tidak lagi harus menemani ibu guru pada malam hari. Mereka hanya sesekali datang berkunjung ke rumah ibu guru untuk belajar.

Salika kini lebih banyak belajar kelompok bersama teman-temannya dengan berpindah dari rumah ke rumah. Ketiadaan sarana menyebabkan Salika dan teman-temannya harus belajar berkelompok. Buku bacaan sebagai bahan belajar sulit untuk didapatkan. Satu buku untuk 4 atau 5 orang murid. Belajar berkelompok diluar jam pelajaran sekolah bukannya tanpa tantangan. Malam hari dengan penerangan seadanya menyebabkan Salika dan teman-temannya harus saling menunggu saat hendak belajar bersama di rumah salah satu anggota kelompoknya. Mereka berpindah dari satu rumah ke rumah teman lainnya. Salika yang tidak memiliki kendaraan (sepeda), lebih sering dikunjungi di rumahnya.

Berbagai cerita lucu pun terjadi dalam kelompok belajar anak-anak kampong itu. Ada yang alisnya terbakar api lampu minyak, lubang hidung yang hitam karena menghirup asap lampu teplok, berebut mangga yang jatuh ketika musim mangga berbuah, sampai kejar-kejaran ketika lewat kuburan.

Mengapa anak-anak kampong seusia Salika harus belajar kelompok di malam hari? Sore hari mereka harus membantu orang tua bertani atau beternak. Selain itu, mereka juga harus ikut belajar mengaji, dengan demikian mereka hanya memiliki kesempatan untuk belajar bersama kelompoknya di malam hari. Rutinitas seperti ini dijalani Salika bersama teman-temannya di kampong selama bertahun-tahun.

Kelas empat SD dilalui dengan prestasi yang membanggakan. Salika bersama teman-temannya kini sudah naik ke kelas lima. Timbul masalah, sekolah inpres yang di bangun pemerintah hanya memiliki 4 ruang kelas. Satu-satunya solusi, mereka harus melanjutkan sekolah di kampong sebelah. Kondisi yang sama juga dialami oleh kakak kelas mereka, bahkan mereka sudah harus pindah sekolah di kelas tiga. Bersyukur karena Salika dan teman angkatannya belajar di sekolah dasar di kampong sebelah nanti setelah mereka naik ke kelas lima.

Jarak sekolah di kampong sebelah kurang lebih 2 kilometer. Jarak itu, sesungguhnya bukan jarak yang jauh untuk ditempuh berjalan kaki bagi warga kampong, namun teman-teman sekolah Salika sudah memiliki sepeda yang digunakan ke sekolah. Awal masuk sekolah di kelas lima, Salika terpaksa harus berboncengan dengan temannya. Setelah beberapa kali berboncengan, Salika mulai merasa kurang nyaman dan agak malu kepada temannya. Ayahnya yang melihat gelagak itu kemudian berusaha untuk mencari sepeda yang terjangkau. Sumber pendapatan yang hanya mengandalkan pertanian dengan lahan terbatas, menjadikan kelurga Salika termasuk keluarga kurang mampu di kampungnya. Meskipun demikian, prestasi dan keinginan bersekolah yang tinggi mendorong ayah Salika untuk menfasilitasi anaknya sesuai kemampuan. Jadilah iya mendapatkan sepeda kumbang (sepeda onthel).

Palu, 15 Agustus 2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Makin asyik ceritanya,pak. Dilanjut...

15 Aug
Balas

Makasih bu...

16 Aug



search

New Post