Zakiyah, M.Pd

Guru Bahasa Inggris di SMKN 2 Cilegon dan Dosen di STIT Al-khairiyah Cilegon. Usaha Jasa Make-up dan MC. Menulis adalah hobi baru saya, semoga bisa menjadi Penu...

Selengkapnya
Navigasi Web
Kupinang Kau Untuk Suamiku 2

Kupinang Kau Untuk Suamiku 2

Di sebuah sudut Yogyakarta, di sana Nizam tinggal. Tempat kostnya yang sederhana namun nyaman itu seolah memancarkan aura ketenangan. Rumah dengan beberapa kamar yang semuanya diisi oleh mahasiswa laki-laki ini senantiasa bersih dan rapi. Kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa UGM, dan Nizam adalah salah satu dari mereka. Dia kini tengah menginjak masa-masa awal sebagai mahasiswa Fakultas Hukum. Meski baru, aku tahu Nizam sudah terbiasa dengan kehidupan mandiri. Ada ketegaran dan kedewasaan dalam dirinya yang selalu membuatku kagum. Teman-temannya di sana menyukainya, bukan hanya karena kepintarannya, tetapi juga karena ketampanan dan pembawaannya yang selalu bersahaja.

Aku bisa membayangkan Nizam di kamarnya saat ini. Mungkin dia sedang duduk di dekat jendela, menatap langit senja yang mulai merona. Atau mungkin dia tengah membaca, tenggelam dalam buku-buku tebal yang selalu menemani harinya. Namun, dalam kesibukan dan kedalaman dunianya, aku tahu, ada ruang kecil di hatinya yang menyimpan rindu. Rindu yang kurasakan pula.

“Aku kok jadi kangen Dik Alifa, senyuman manisnya tak bisa lepas dari pandanganku,” gumamnya. Itu adalah kalimat yang sering terlintas dalam benaknya, kalimat yang kudengar dari sudut hatinya yang terdalam. Setiap kali telepon berdering, berharap itu aku, suaraku, kehadiranku. Mendengar suaraku tadi di telepon, seolah menghidupkan kembali kenangan-kenangan di Ponpes Al-Malik. Belum genap sebulan dia meninggalkan tempat itu, tapi rindu seolah sudah mengakar kuat.

Aku tahu dia tersenyum sekarang, menatap foto kami bersama di acara Muhadoroh, di mana aku menjadi MC. Dia menyimpan foto itu dengan baik, mungkin terselip di dalam buku catatan atau di atas mejanya, menjadi pengingat hangat akan saat-saat indah yang pernah kami lalui. Ponpes Al-Malik dengan segala ketenangan dan kedamaiannya, menjadi saksi bisu cinta yang mulai tumbuh di antara kami. Bagiku, tempat itu lebih dari sekedar pesantren. Itu adalah awal dari segalanya.

Seperti yang dijanjikan, pada pagi yang cerah, Nizam datang ke rumahku. Dia tidak sendiri, bersama Uminya, dia membonceng motor dengan membawa beberapa oleh-oleh khas Jogja. Dari kejauhan, aku melihatnya. Hatiku berdegup kencang, rasa bahagia bercampur haru menyergapku. Hari itu, keluargaku menyambut mereka dengan hangat. Nizam dan Uminya adalah tamu istimewa, dan aku merasakan suasana menjadi lebih cerah dengan kehadiran mereka.

Pandangan kami bertemu, dan senyum itu terlukis tanpa bisa ditahan. Aku melihat binar di matanya, senyum yang semringah. Ada getar halus yang merayap di hatiku. Nizam berdiri di sana, begitu kharismatik dengan senyumnya yang merekah, lesung pipinya yang membuatnya tampak semakin menawan.

Kami saling mencuri pandang dari kejauhan, seolah dunia hanya milik berdua. Dalam diam, kami berbicara. Dalam tatap, kami saling mengungkapkan rindu. Bibir kami terkatup rapat, namun hati kami berbicara lantang. Momen itu terasa abadi, seolah semesta pun ikut berhenti untuk menyaksikan pertemuan dua jiwa yang saling merindu.

Ah, Nizam... semoga waktu selalu berpihak pada kita. Seperti saat ini, di mana rindu dan cinta menjadi bahasa yang paling indah untuk kita sampaikan.

Hari itu terasa begitu hangat, lebih dari biasanya. Mungkin karena kehadiran Nizam dan Umi Faridah yang tiba-tiba membuat suasana rumah ini dipenuhi dengan kebahagiaan. Sejak pagi aku sudah bersemangat menyiapkan segala sesuatunya. Aku ingin memberikan yang terbaik untuk mereka, terutama untuk Nizam. Ada sesuatu yang berbeda dalam hatiku setiap kali aku memikirkan dia.

“Selamat ya, Nak Nizam, akhirnya perjuangan untuk bisa masuk ke UGM terwujud juga. Ikut senang dengernya,” ucap Pak Yai seraya menyalami Nizam dan memeluknya erat dengan penuh kebanggaan. Ada kebahagiaan yang terpancar dari wajah Pak Yai, kebanggaan yang tidak bisa disembunyikan.

“Makasih, Pak Yai. Semuanya berkat doa Pak Yai juga,” jawab Nizam dengan lembut, senyumnya merekah. Senyuman itu—ah, senyuman yang selalu membuat hatiku berdebar. Di tengah percakapan hangat itu, Umi Aminah dan Umi Faridah pun berpelukan. Sudah lama mereka tidak bertemu, dan rindu yang terpendam seakan meluap dalam pelukan itu. Mereka seperti saudara kandung yang terpisah oleh jarak, namun tak pernah jauh di hati.

“Ndok, kamu tambah cantik dan kelihatannya sudah dewasa,” Umi Faridah memeluk dan mencium keningku seperti pada putrinya sendiri. Sentuhan lembutnya, aroma khas dari dirinya yang selalu kurindukan.

“Makasih, Umi. Umi juga masih tetap cantik dan terlihat segar bugar. Umi sehat selalu ya,” jawabku sambil tersenyum. Kami tertawa bersama, bercengkrama dalam kerinduan yang telah lama tersimpan.

Aku tahu betapa Umi Faridah dan Nizam menyukai masakanku, terutama garang asem yang selalu kuhidangkan saat mereka datang. Hari ini, aku sudah menyiapkan masakan itu dengan sepenuh hati. Garang asem, makanan berbahan dasar ayam yang dimasak dengan santan dan dibungkus daun pisang. Rasanya? Pedas garang dari cabai dan asam nikmat, menciptakan sensasi unik yang selalu mereka rindukan.

“Masyaallah, ada menu garang asem dan mendoan... Ndok, kamu masih ingat saja ya kesukaan Umi sama Nizam,” puji Umi Faridah ketika melihat meja makan yang penuh dengan hidangan.

“Hehe... Iya dong, Umi. Aku ingat betul waktu kecil, tiap main sama Mas Nizam, Umi selalu masakin garang asem, tempe mendoan, dan sambal tomatnya,” kataku dengan nada ceria, mengingat masa kecil kami yang penuh kenangan. Saat rumah kami masih berdekatan, dan setiap hari adalah petualangan kecil bersama Nizam.

“Alifa sepertinya rindu masa kecilnya waktu rumah kita berdekatan, hehe... Dan hari ini spesial, yang masak Nak Alifa buat Dik Faridah dan Nak Nizam,” ujar Umi Aminah dengan lembut. Ada kasih sayang yang tulus terpancar dari matanya, seolah menyiratkan bahwa aku dan Nizam sudah dianggap seperti anak kandungnya sendiri.

“Makasih banyak ya, Ndok... Umi jadi tersanjung, hari ini spesial dimasakin buat Umi dan Nizam,” ujar Umi Faridah dengan tulus, membuatku merasa sangat dihargai.

“Nggak apa-apa, Umi. Kan sekalian rayain kebahagiaan Mas Nizam diterima di UGM,” jawabku dengan nada manja, lalu memeluk Umi Faridah erat. Di pelukan itu, aku merasakan kehangatan yang selalu membuatku merasa aman.

“Makasih ya, Dik... dari kecil Dik Alifa memang nggak berubah, ya, Umi. Selalu manja, hehe...” kata Nizam pada Uminya, matanya bersinar lembut melihat kedekatanku dengan Umi Faridah.

“Justru dengan manjanya Nak Alifa itulah yang membuat Umi selalu kangen. Semoga kalian berjodoh ya, Nak...”

“Aamiin...” spontanitas kami menjawab, serentak, membuat suasana seketika riuh dengan tawa. Nizam dan aku saling pandang, lalu tertunduk malu, menyadari bahwa ucapan “Aamiin” tadi terucap begitu saja, mengungkapkan harapan yang mungkin tersimpan dalam hati kami. Seakan dunia berhenti sejenak, mengabadikan momen kecil itu di antara kami.

“Syukurlah... Kalau kalian sudah mengaminkan, berarti kalian sudah saling menerima satu sama lain. Betul nggak, Bu Ustadzah?” kata Umi Aminah menggoda, membuat pipiku semakin memerah.

“Betul, insyaallah nanti pembahasan ini berlanjut dengan Pak Yai dan Pak Ustad. Hehe...” jawab Umi Faridah. Ada kebahagiaan yang menguar di udara, membungkus kami dalam doa dan harapan.

“Semoga anak kita berjodoh ya, hehe...” bisik Umi Faridah pada Umi Aminah.

“Aamiin...” jawab Umi Aminah sambil tersenyum bahagia, menepuk pelan tangan Umi Faridah.

Kami pun duduk di meja makan, menikmati hidangan dengan penuh syukur. Kebersamaan ini, canda tawa, dan kebahagiaan yang sederhana namun begitu bermakna. Setelah makan siang, adzan dhuhur berkumandang, dan kami bergegas menuju masjid untuk shalat berjamaah.

Hari itu di Ponpes Al-Malik, seperti biasa kegiatan tetap berjalan. Setiap hari Ahad siang, ada kegiatan Mudhiif, di mana para santri bebas menerima kunjungan keluarga mereka. Ada santri yang berbincang dengan orang tua di teras masjid, ada yang di teras asrama, dan ada juga di pendopo. Kehangatan dan kasih sayang terpancar di mana-mana.

Dan aku, di antara semua itu, duduk di samping Nizam. Dalam diam kami berkomunikasi, saling bertukar rasa, saling memahami bahwa di balik semua senyuman ini, ada doa-doa yang tersimpan untuk satu sama lain. Semoga waktu selalu berpihak pada kita, pada cinta yang mungkin akan segera menemukan jalannya.

~~~ ~~~ ~~~

Beberapa bulan telah berlalu sejak kepergian Nizam, dan tahun pun berganti. Kini, aku mulai terbiasa tanpa kehadirannya. Walaupun rindu masih sering berdesir dalam hati, kami tetap menjaga komunikasi melalui ponsel. Aku terus menjalani aktivitas di Pondok Pesantren Al-Malik seperti biasa, hingga akhirnya masa pengabdianku di sini berakhir bersamaan dengan kelulusanku.

Suatu hari, Abinya Nizam, Ustadz Rasyid Sulaiman, datang ke masjid Pondok untuk memberikan mujahadah—zikir bersama. Aku sangat menghormati beliau. Setelah kegiatan selesai, aku menyalaminya dan mempersilakan masuk ke rumah. Seperti biasanya, setelah ada kegiatan di pondok, Ustadz Rasyid selalu berkunjung ke rumah Yai Akbar, Abiku.

Di ruang tamu yang sejuk, Pak Yai duduk berhadapan dengan Ustadz Rasyid. Aku dan Umi duduk di kursi terpisah, menyimak perbincangan mereka. Sore itu, dengan suara lembut dan penuh perhatian, Pak Yai bertanya tentang Nizam.

"Oh iya, bagaimana kabar Nak Nizam sekarang, Pak Ustadz? Sudah lama tidak bertemu, semoga betah di Jogja," tanya Pak Yai dengan hangat.

Ustadz Rasyid tersenyum dan menjawab, "Alhamdulillah, baik. Nak Nizam sekarang aktif sekali di kampus. Dia jarang pulang, kadang Uminya cemas dan menelepon untuk pulang saat liburan."

Aku bisa merasakan kerinduan seorang ibu yang menginginkan kehadiran anaknya di rumah, meski hanya sesaat.

"Nak Nizam memang anak yang pintar. Wajar kalau dia aktif di kampus. Semoga ilmu agama yang dia dapatkan di sini bisa dipakai juga di sana," kata Pak Yai dengan bangga.

"Insya Allah, Pak Yai. Kalau ada acara di kampus, dia sering diminta untuk memimpin doa," ujar Ustadz Rasyid.

Aku ikut merasa bangga mendengar pencapaian Nizam. Sebagai teman yang mengenalnya sejak kecil, aku tahu bagaimana kerja keras dan dedikasinya.

"Alhamdulillah, ikut senang mendengarnya," kata Pak Yai sambil tersenyum.

"Oh iya, bagaimana kabar Nak Alifa? Mau dilanjutkan ke mana setelah ini?" tanya Ustadz Rasyid sambil menoleh ke arahku.

Aku tersenyum penuh syukur. "Alhamdulillah, Alifa mendapatkan beasiswa di Universitas Al-Azhar Mesir, Pak Ustad," jawabku dengan lembut.

"Masya Allah... Mabruk alal minhati darosiyah. Selamat ya, Nak. Pak Ustad jadi ikut bangga mendengarnya. Semoga dimudahkan dan dilancarkan kuliahnya di sana," doa Ustadz Rasyid dengan tulus.

"Aamiin... Terima kasih, Pak Ustad. Mohon doanya," balasku, hati ini terasa penuh dengan kebahagiaan dan harapan.

Setelah berbincang-bincang cukup lama, Ustadz Rasyid pamit. Aku kembali ke kamar, menikmati keheningan yang menenangkan. Tidak lama kemudian, ponselku berbunyi. Sebuah pesan dari Nizam. Ternyata, dia sudah mendengar kabar tentang beasiswa yang kudapatkan.

"Assalamualaikum, gimana kabarnya Dik?" suara Nizam terdengar lembut di seberang sana.

"Waalaikumsalam, eh Mas Nizam... Alhamdulillah, baik, Mas. Mas sendiri gimana?" tanyaku sambil tersenyum.

"Alhamdulillah, Mas juga baik. Semua berkas dan persyaratan beasiswanya sudah beres belum Dik?" tanya Nizam penuh perhatian.

"Sudah, Mas. Tinggal nunggu jadwal keberangkatan saja ini," jawabku sambil berusaha menahan kegembiraan.

"Kapan rencana berangkat ke Mesirnya, Dik?" tanyanya lagi.

"Minggu depan, insya Allah berangkat, Mas," jawabku, mencoba menyembunyikan gemuruh di dadaku.

"Tabarakallah... Semoga dilancarkan dan dimudahkan segala sesuatunya," kata Nizam, suaranya penuh kehangatan dan ketulusan.

"Aamiin..." balasku pelan, merasakan haru yang memenuhi hati.

Cita-citaku untuk belajar di Kairo, kota seribu menara, akhirnya akan terwujud. Aku tak henti-hentinya bersyukur. Semua ini berkat kegigihanku dan dukungan dari orang-orang tercinta di sekitarku. Beasiswa dari Universitas Al-Azhar, yang disponsori oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam, Kementerian Agama, menjadi jalan bagiku untuk menuntut ilmu di negeri para ulama.

Mesir, aku datang. Bismillah, dengan semangat dan keyakinan penuh, aku siap menapaki langkah baru dalam perjalanan hidup ini.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post