Hari ini adalah hari yang berbeda dari biasanya. Ada seyum yang hilang dari wajah para santri, guru dan pegawai pondok. Seolah hati kami masih merintih dalam diam. Atmosfir disini pun bercerita hal yang sama. Sepi, bahkan mentari pun enggan terlalu menampakkan wajahnya dan langitpun ikut menangis mengiringi kepergiannya.

Warga pondok tengah berkabung. Kami kehilangan sosok ibu yang sudah sepuh, tapi selalu membersamai kami sebagai kawan. Namanya Mbah Surti. Begitu kami akrab menyapanya.

Beliau memang bukan seorang guru di pondok pesantren kami. Tapi kami banyak belajar keikhlasan dan akhlak mulia dari beliau. Beliau adalah petugas laundry di asrama putri. Semenjak pondok ini berdiri beliau sudah turut andil membangun pondok. Meskipun tidak memiliki kemampuan mengajar ilmu agama, tapi tekad beliau adalah ingin menghabiskan hidup bersama para santri. "Menghabiskan hidup di pondok dan melayani para penghafal Al Qur'an adalah penghargaan buat Mbah. Itu amal jariyah." Begitu tuturnya dulu.

Pesantren bukannya dzolim mempekerjakan orang tua yang sudah sepuh, tapi memang Mbah Surti yang enggan untuk berhenti bekerja.

"Mbah, bagaimana kalau mbah pensiun aja. Bisa istrahat saja di rumah, kan bisa setiap hari juga berkunjung ke pondok Mbah." Pinta kepala asrama kepada Mbah Surti.

"Orang masih sehat kok di suruh istrahat. Mbah mah suka kerja di sini, banyak anak-anak. Tiap hari dengerin anak-anak ngaji."

"Tapi kan kerja laundry capek mbah."

"Siapa bilang capek? Cuma lipat-lipat baju aja kok capek"

"Ya sudah terserah Mbah aja. Tapi kalau capek harus istrahat ya."

"Hmmm." Angguk Mbah Surti.

Kepala Asrama putri adalah cucu pertama dari Mbah Surti. Mbah memiliki 3 orang anak dan semuanya menyelesaikan pendidikan di pondok pesantren ini.

Wajar saja kalau hatinya sudah sangat melekat dengan pondok. Bagi beliau pondok adalah rumahnya.

Bersambung......

Berau, 25 Mei 2021

pictured by: kerandajenazah.com

#Fiksi

#BelajarMenulis

#TantanganGurusiana

#TagurHariKe-04