Zulkarnain Hamid

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Menentang Badai, Menyongsong Tugas

Menentang Badai, Menyongsong Tugas

Pertengahan Agustus 1991. Pagi-pagi sekali usai shalat subuh, aku berkemas menuju satu rumah di kompleks asrama POM Batu Gajah Ambon bersama mas Bambang yang nampak gagah dengan seragam polisi militernya. Tak lama kemudian, muncullah pak Taufiq Pattimura, rekan dinas mas Bambang di Sub Denpom Kodam VIII Trikora di Masohi, ibukota Kabupaten Maluku Tengah. Sejurus kemudian, kami bertiga sudah muluncur di atas mobil angkot menuju pelabuhan Tulehu. Mobil angkot atau mikrolet Toyota Kijang warna kuning yang dari dalam terdengar musik menghentak cukup keras hingga suaranya terdengar sampai keluar angkot. Khas angkot kota Ambon dan Maluku umumnya.

Setibanya kami di pelabuhan Tulehu, kami segera membeli tiket dan naik ke kapal yang akan membawa kami ke pelabuhan Amahai di Masohi. Kapal motor yang bodinya dari kayu dengan kapasitas maksimal penumpang sekitar seratus empat puluhan. Ternyata di bagian kabin dalam sudah penuh dengan penumpang. Dua puluhan penumpang di antaranya adalah remaja-remaja dari Lampung yang mengikuti program Pertukaran Pemuda Antar Provinsi (PPAP). Kamipun terpaksa mendapat tempat di bagian luar kabin penumpang di dekat haluan kapal. Kira-kira empat meter di belakang moncong kapal. Kami duduk di atas bangku panjang bercat putih yang terbuat dari kayu Linggua. Semacam kayu jati kalau di Jawa. Aku duduk bersebelahan dengan mas Bambang. Aku dari Surabaya, mas Bambang dari Semarang. Dua kota yang tidak akur, setidaknya supporter sepak bolanya,. Gara-gara skandal Sepak Bola Gajah 3 tahun lalu, dimana Persebaya mengalah 0-12 terhadap Persipura Jayapura. Sehingga mengakibatkan PSIS Semarang tidak lolos ke babak final.

Jam tujuh tepat, kapal bertolak meninggalkan pelabuhan Tulehu. Ada satu perasaan aneh yang aku rasakan. Sebuah sensasi rasa yang aku sendiri tidak bisa menjelaskan apa itu. Mungkin, hanya perasaan seorang yang baru pertama kali merasakan naik kapal semacam ini. Setelah sebelumnya juga merasakan pengalaman pertama naik kapal PELNI, KM Tidar, yang dari segi ukuran dan fasilitas jauh lebih besar dan lengkap dari kapal yang saat ini aku tumpangi. Aku yang semasih di tanah Jawa tidak pernah bepergian jauh, paling jauh hanya ke Malang ketika rekreasi kelas tiga SMA, saat ini sudah berlayar di atas kapal yang membawaku menuju Masohi. Setelah sebelumnya juga berlayar mengarungi lautan selama tiga hari dari Surabaya ke Ambon.

Sementara aku dan mas Bambang duduk ngobrol berdua, pak Taufiq menghilang entah kemana. Mungkin jalan-jalan di bagian kapal yang lain. Suara mesin kapal terdengar sayup-sayup dari tempatku duduk. Bercampur dengan suara obrolan para penumpang.

Lima belas menit berlalu. Kurasakan desiran angin laut menerpa wajah dan rambutku. Kuhirup dengan sepenuh perasaan. Seketika terlintas di benakku sebuah lagu masa kecil yang penggalan liriknya masih kuingat hingga kini: “Nenek moyangku, seorang pelaut ….” Teringat juga apa yang pernah disampaikan guruku ketika SD bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa bahari. Kurang lebih berarti bahwa sejarah asal bangsa kita memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan segala hal yang berhubungan dengan lautan.

Kupandang langit dan cakrawala jauh yang terhampar di hadapanku. Langit lumayan cerah. Walau menurut orang sini bulan Agustus ini masih musim ombak angin Timur. Kira-kira tiga sampai empat jam lagi, kapal kami akan sampai di pelabuhan Amahai kota Masohi di pulau Seram. Terasa tak sabar hatiku untuk segera menginjakkan kaki di sana. Merasakan apa yang akan aku alami dan hadapi selama entah berapa lama nantinya aku menetap bertugas di sana. Sebagai guru mendidik anak bangsa. Di SMA Negeri 1 Masohi seperti yang tertera pada SK pengangkatanku.

Satu setengah jam sudah kapal berlayar. Semakin jauh meninggalkan pantai, kurasakan goyangan kapal akibat ombak semakin terasa. Walau masih kategori normal tidak mengkhawatirkan. Dari arah kabin penumpang, terdengar suara anak PPAP yang bernyanyi dengan penuh riang diiringi petikan satu-dua gitar. Mungkin mereka merasa senang berpetualang jauh dari bumi Andalas Sumatra ke bumi rempah-rempah Maluku. Mereka kompak menyanyikan lagu-lagu dari Iwan Fals, Nicky Astrea, Nike Ardilla, dan penyanyi lain yang lagu-lagunya sedang ngetop. Keriangan yang pasti juga dirasakan penumpang lainnya. Bukankah menyenangkan menempuh perjalanan tiga empat jam dengan diiringi lagu-lagu yang dinyanyikan dengan gembira oleh jiwa-jiwa muda seperti mereka?

Sayang, setengah jam kemudian keriangan itu berangsur surut seiring dengan cuaca yang mulai kurang bersahabat selepas perairan Tanjung Alang. Langit menjadi semakin gelap oleh awan mendung. Hujan turun walau tidak terlalu deras. Diiringi suara angin yang mendesau-desau. Tak ada lagi suara denting senar gitar dan dendang lagu. Hening menyeruap. Yang terdengar hanya suara mesin kapal yang seperti tersengal-sengal dan derit lambung bodi kapal yang bersuara kretek-kriyet akibat diombang-ambing ombak lautan yang mulai murka. Kulihat, moncong haluan kapal di depanku terangkat ke atas untuk kemudian seperti dihempaskan turun. Berikutnya badan kapal seperti miring ke kiri lalu ke kanan. Kemudian berulang terdongak ke atas dan terhempas ke bawah lagi secara berulang dalam interval waktu tertentu.

Sebuah bangku kayu panjang di sebelah ujung kanan dek haluan kapal, akibat gerakan kapal yang seolah mengangguk dan menggeleng akibat angin dan ombak, tiba-tiba berputar terpelanting di depanku dan mas Bambang. Seorang ABK yang mengetahuinya dengan sigap segera mengembalikan ke tempatnya dan mengikatnya pada pagar sisi kanan haluan kapal.

“Mbang, masukkan pistol dalam jaket!” Tiba-tiba pak Taufik sudah ada di dekat kami memberI perintah kepada mas Bambang.

“Siap Pak!”

Dengan sigap, mas Bambangpun mengambil pistol FN 46 kaliber 9 mm yang tergantung di pinggang kanannya dan memasukkannya ke dalam saku di bagian dalam jaketnya dan menutup rapat saku yang ada resluitingnya tersebut. Rupanya itu sebagai antisipasi kalau sampai terjadi apa-apa dengan kapal kami. Tenggelam misalnya. Maka jika mas Bambang tidak berhasil menyelamatkan diri dan ikut tenggelam, maka pistolnya tidak akan jatuh ke tangan orang lain yang tidak berhak.

Suasana terasa tegang mencekam. Aku yang tidak bisa berenang sama sekali, hanya bisa pasrah. Kalau harus mati dalam perjalanan ini, ya sudah. Aku hanya tiba-tiba merasa sedih membayangkan betapa ibuku akan sangat terpukul manakala menerima khabar kematianku akibat tenggelamnya kapal yang aku tumpangi. Mengingat, ibukulah yang lebih mendorongku untuk berangkat melaksanakan amanat SK penempatanku di Maluku ini. Sementara aku awalnya berencana tidak menindak lanjuti SK penempatanku karena ingin bergabung dengan sebuah pondok pesantren yang berpusat di Kalimantan Timur. Aku sudah minta persetujuan ayahku dan beliau membolehkan dengan alasan aku sudah dewasa untuk memilih jalan kehidupanku. Teman-teman remaja mushalla dan karang tarunapun sudah kupamiti. Tapi ketika menghadap dan mohon izin ibuku, beliau ingin aku menjalani SK penempatanku. Akupun tak kuasa menolak keinginan seorang ibu.

BYUUR …

Tiba-tiba sebagian ombak air laut melompati moncong haluan kapal dan menyiram bagai memandikanku dan mas Bambang. Kamipun gelagapan tidak mengira mendapat serangan mendadak seperti itu. Wajah, jaket yang kukenakan dan tas besarku basah oleh air yang mengandung garam ini. Asin sudah tentu. Seketika lamunanku buyar. Kapal masih terombang-ambing dipermainkan ombak laut Seram. Dari arah kabin penumpang, terdengar seruan doa bercampur tangis dari penumpang penduduk asli Maluku. Orang Ambon.

“Tuhan Yesus, tolong katong …”

Sio Tete Manise, lindungi beta …

Aku hanya menunduk pasrah. Sesekali melihat kearah haluan mengamati pergerakan kapal oleh ombak. Sambil dalam hati membaca al fatihah berulang ulang. Kudengar ada yang bilang sebuah kapal lain balik kembali ke pelabuhan Tulehu. Kapal kami masih melaju ke depan menentang ombak membelah lautan. Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai

Seorang ABK berbadan tegap dengan umur paruh baya kulihat berjalan ke ujung haluan kapal. Sesampainya di sana, kedua tangan kanan kirinya memegang erat pagar kiri kanan dekat ujung moncong kapal. Kepalanya tertunduk memandang ke arah bawah depan moncong kapal. Mulutnya komat-kamit seolah berkomunikasi dengan ombak lautan. Mungkin dia sedang bernegosiasi dengan jin penguasa lautan.

Setelah setengah jam lebih kapal kami bertarung dengan ombak, akhirnya nampak langit mulai memudar gelap mendungnya. Seiring laut yang mereda murkanya. Gempuran ombak tidak sehebat sebelumnya. Gerakan kapal juga semakin berkurang goyangannya. Berkurang lagi, dan akhirnya menjadi tenang seperti ketika awal berangkat dari pelabuhan Tulehu. Hujan yang agak lebat sebelumnya, sudah berganti gerimis tipis. Di depan kami di kejauhan, mulai kelihatan deretan atap-atap rumah dan bangunan di sepanjang garis pantai. Aku menghembuskan nafas lega. Pelabuhan Amahai sudah menjelang. Di arah depan sebelah kanan lambung kapal kami, sejarak kira-kira empat puluh meteran, nampak beberapa lumba-lumba berenang melompat-lompat riang searah dengan pergerakan kapal. Sebuah pemandangan yang menakjubkan bagiku. Alhamdulillah, badai telah berlalu. Kakiku siap menjejak bumi Masohi. Menyongsong tugas negara, mengabdi pada Ibu Pertiwi …

Catatan: beta = aku/saya

Katong = kita/kami

Sio = wahai

Tete Manis = ungkapan untuk Tuhan

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post