Anak yang Hilang
“Yu, kau tahu belum?” tanya Yu Jiyem tergopoh-goph sambil menyibakkan kain batik yang dipakainya.
“Apa sih Yu, kok sajak wigati banget?” Yu Srini balik bertanya karena merasa tidak paham dengan pertanyaan tetangganya.
“Walah, kamu itu ketinggalan info. Itu, tuh anaknya Mardan kan masuk penjara.”
“Hah, apa Yu? Masuk penjara? Lo memang salah apa to kok bisa masuk bui?”
“Huh, kamu itu mbok ya sok keluar rumah gitu lo. Jadi tahu info terkini tentang kanan kiri kita.”
“Yu, gaweyanku itu banyak. Habis mandang gawe ya kesel leyeh-leyeh terus kadang tertidur. Nek gak ya dengarkan campur sari Didi Kempot itu lo. Gak sempat aku tanya berita terkini,” balas Yu Srini cukup menohok Yu Jiyem.
“Sini tak critani. Anaknya Mardan yang mbiyinge pol itu sekarang masuk penjara. Gara-gara ikut-ikutan mabuk-mabukan terus mencuri sepeda motor di desa tetangga sana, ketangkep, gitu.”
“Ealah, kok mesakke tenan. Terus gimana itu kasusnya? Langsung ditangani polisi ya?”
“Masyarakat kan wes kesel, jengkel dan sejuta rasa tumplek bleg jadi satu dengan anak itu. Kandhani ya gak nggugu. Omongane juga kasar. Genknya kan bocah gak nggenah itu to. Malah katanya dikeluarkan dari sekolahnya to Yu.”
“Wah mesakke mbokne itu. Suwe le mengandung membesarkan mengasuh, merawat, eh kok jebule mbasan besar seperti itu. Jan mesti mbokne kelara-lara atine.”
“Ya mesti wae to Yu. Orang tua mana yang gak sedih lihat anaknya gak bisa diatur. Wong orang tua itu gak minta apa-apa to dari anak, hanya jadi anak yg solih dan solihah saja. Apa-apa kan sudah dituruti to Win itu. Minta sepeda motor lanang ya dituruti. Eh, kok ternyata nyolong pethek.”
“Oalah, ya muga-muga nanti sesudah keluar dari penjara sadar ya. Insaf dan jadi anak yang baik.”
“Aamiin. Eh ngomong-ngomong mau ke mana to Yu kok bawa tas kresek besar itu?”
“Mau buang sampah Yu. Biasa sampah rumah tangga ini. Saya menanti pengambil sampah kok gak datang-datang apa sakit ya?”
“Ya wes sana Yu, nanti keburu hujan lo. Itu sudah mendung sekali. Mungkin sebentar lagi hujan.”
“Ya Yu. Semoga tetap sehat ya Yu.”
Mardan seorang wiraswatawan yang cukup sukses, memiliki beberapa anak termasuk Win yang dikabarkan masuk penjara. Win masih kelas dua SMA, tetapi salah pergaulan, hingga mengikuti genk yang sering keluar masuk penjara. Istri Mardan membuka warung kelontong di rumah. Selain Win, masih ada dua adiknya yang semua masih bersekolah SMP dan SD.
Mardan kadang sudah merasa kewalahan mendidik Win yang sering membolos sekolah. Uang SPP juga sering ditilep untuk membeli minuman keras dan berpesta bersama genknya.
Beberapa kali uang yang berada di warung amblas diambil oleh Win. Ibunya pernah menangis tersedu-sedu karena uang yang akan digunakan untuk membayar hutang penyuplai barang hilang diambil Win. Akhirnya Lastri, istri Mardan harus mencari uang lagi.
“Win, mbok ya kamu itu sing apik tingkah lakune, karena dicontoh adik-adikmu,” kata Lastri suatu siang ketika Win pulang dari bermain di rumah teman.
“Mak, aku tuh sebel dinasihati terus. Aku sudah besar, tahu jalanku sendiri,” jawab Win dengan nada yang tinggi.
“Ya kamu saya nasihati karena anak Mak. Banyak berita miring tentangmu, Mak dan Bapak jadi prihatin, Win. Kamu kok gak berubah jadi baik. Apa kamu ingin Bapak dan Mak cepet mati ya?”
“Hah! Bosan Mak! Telingaku sudah bosan dengarnya itu-itu saja yang diomongkan.”
“Win, mumpung Mak dan Bapak masih sehat, segeralah kamu berubah. Umur manusia itu tiada yang tahu. Mak dan Bapak itu setiap hari mendoakanmu dan adik-adikmu, semoga menjadi anak yang salih dan salihah. Tidak seperti ini balasanmu terhadap Mak, menyakitkan dan membuat hati Mak tidak tenang,” kata Lastri sambil terisak.
“Sudah, Mak, aku mau pergi lagi ke rumah Tono. Gak usah dicari, kunci aku bawa satu. Minta uang Mak!”
“Mau ke mana lagi to Win? Mbok sudah, sini di rumah saja bantu Mak melayani pembeli biar Mak gak terlalu capai.”
“Aku sudah janjian Mak sama teman. Udah Mak minta uangnya, gitu saja banyak ceramah!”
“Nih.”
“Hah, masa segini Mak. Anak TK saja gak mau uang segini.”
“Ya Allah, Win. Mak harus menyisihkan uang untuk membayar macam-macam. Pokoknya itu saja Mak sudah gak punya uang lagi.”
“Bener ya Mak. Jangan bohong lo. Atau mau ini Mak?” kata Win sambil mengalungkan pisau di leher ibunya.
“Gh … gh … gh ….”
“Nah makanya mau kasih uang lebih gak Mak? Tinggal pilih. Pisau ini beraksi atau atau saya ambil perhiasan Mak,” ancan Win.
“Ya Allah, maafkan hamba-Mu ini,” tangis Lastri kembali pecah.
“Cepat, Mak. Sudah hampir sore ini,” kata Win seakan tidak mau mengerti kondisi ibunya.
“Ya, sudah, ini cukup gak cukup Mak hanya kasih ini. Mak banyak kebutuhan. Adik-adikmu juga belum bayar SPP segala, Win.”
“Bodo amat! Sudah Mak, aku pamit ke rumah teman.”
“Ya Allah lindungilah anakku. Bukakan hatinya, jadikanlah dia anak yang salih,” ucap Lastri lirih sambil mengusap air mata yang masih mengalir.
***
Malam berselimut dingin. Jangkrik bernyanyi. Katak pun mengaji sehabis hujan sore tadi. Tepat pukul sepuluh malam terdengar kabar bahwa Win dan genknya ditangkap polisi karena kedapatan mencuri sepeda motor di desa sebelah. Muka Win sudah tak karuan babak belur karena tertangkap basah oleh warga yang main hakim sendiri.
Lastri yang mendengar kabar itu langsung pingsan dan tak sadarkan diri.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar