zuni

Guru SLB Maarif Muntilan Magelang Jawa Tengah...

Selengkapnya
Navigasi Web

Elegi Rinduku

“Hai anak pungut! Baru pulang sekolah ya?” sapa Bu Mini tetangga dekat Sita. Sita menoleh ke belakang ingin tahu siapa yang dimaksud anak pungut itu, tetapi tidak ada orang lain yang lewat jalan itu. Sita pun hanya tersenyum. Dia tidak paham apa maksud Bu Mini tetangganya yang selalu menyapanya begitu. Sita anak kelas lima SD itu pun tak pernah berpikir macam-macam dengan label yang disematkan padanya. Baginya yang penting sekolah, belajar, tak ingin mempedulikan apa yang dikatakan orang lain. Hari-hari berjalan seperti biasa. Tidak ada yang istimewa. Hingga suatu saat liburan sekolah, Sita bermain bola di depan rumah bersama teman-temannya. Sita dan teman-temannya bermain lempar bola. Tak ada lapangan pun jadilah di depan rumah perumahan. Pada giliran Sita, bola melambung jauh dan mengenai kaca salah satu rumah warga. “Pyar…!” suara kaca pecah hingga berkeping-keping. Tuan rumah berteriak keras dari dalam rumah, hingga terdengar sampai halaman. “Apa ya itu? Siapa yang memecahkan kaca rumah saya?” Semua hanya saling berpandangan. Ada rasa takut, cemas, dan berbagai rasa campur aduk. Semua diam membisu. Maka salah satu dari mereka memberanikan diri menemui pemilik rumah yang terlihat sudah berkacak pinggang. “Maaf Bu, saya yang memecahkan kaca jendela milik Ibu. Saya akan menggantinya Bu. Nanti saya akan ke sini bersama orang tua. Sekali lagi mohon maaf Bu, telah membuat rumah Ibu berantakan,” kata Sita dengan memohon penuh rasa bersalah. “Oh kamu ya. Dasar anak pungut yang tak tahu sopan santun! Memecahkan kaca dengan seenaknya. Ayo ganti! Awas ya jika kata-katamu tak bisa kupegang! Nanti suruh ke sini orang tuamu, ganti semuanya!” kata Bu Sumi panjang lebar membuat anak-anak yang bermain ketakutan dan membubarkan diri. “Iya Bu, pasti nanti saya akan ke sini lagi, mengganti ganti biaya kacanya.” Sore hari, Sita memenuhi janjinya bersama ibunya. Bu Siska memohon maaf pada tetangganya, Bu Sumi. Mungkin Bu Sumi sudah kecewa berat atas kelakuan Sita dan teman-temannya yang memecahkan kaca jendela rumahnya. “Kedatangan kami ke sini yang pertama ingin memohon maaf Bu atas kesalahan Sita dan teman-temannya ketika bermain bola sampai membuat kerusakan kaca jendela milik Ibu. Selanjutnya kami juga siap akan mengganti semua biaya kerusakan dan pemasangannya, Bu,” kata Bu Siska dengan sopan. “Ya Bu. Saya tadi juga kaget kok tiba-tiba ada suara sesuatu yang pecah. Kebetulan saya sedang masak di dapur. Terus saya lihat, eh, kok ternyata kaca jendela pecah kena lemparan bola anak pungut ini,” kata Bu Sumi sambil menunjuk ke Sita dengan kalimat nada agak tinggi. Sita hanya menunduk karena merasa bersalah. “Maka ajari sopan santun dong Bu, anaknya. Sudah anak pungut, eh gak punya aturan lagi. Gimana nanti jadinya jika besar!” Rupanya Bu Sumi masih merasa sakit hati pada Sita. Nada bicaranya selalu tinggi dan ketus sekali. Tak mau berlama-lama, setelah semua diberesi, Bu Siska dan Sita minta pamit pada Bu Sumi. Dalam perjalanan pulang, Sita hanya diam membisu. Hatinya sedikit gundah pada kata-kata yang disampaikan Bu Sumi padanya ketika bertamu tadi. Di telinganya masih terngiang-ngiang kata anak pungut yang belum dipahaminya sampai kini. Maka Sita pun memberanikan diri bertanya pada Bu Siska setelah sampai di rumah. “Ibu, boleh Sita bertanya?” “Ya ada apa sayang?” “Apa arti anak pungut itu?” Hati Bu Siska seketika menjadi kaget, tetapi tidak ditampakkan. Dia takut Sita mengetahui latar belakangnya ketika masih kecil. Mungkin belum saatnya Sita mengetahui identitas diri dan keluarganya. Bu Siska masih terdiam mendengar pertanyaan Sita. “Ah, Ibu kok malah diam sih. Kan Sita tanya apa arti anak pungut,” ucap Sita tak sabar. “Oh ya, ya, Ibu sedang berpikir mencari arti kata yang pas. Hm … apa ya?” “Anak yang diambil ya Bu?” “Ya mirip itulah,” kata Bu Siska mencoba menutupi kegalauan hatinya. “Apa Sita diambil dari panti ya Bu?” “Gaklah, Nak. Sita itu anak Ibu. Coba lihat di akta kelahiran, kan anak ibu. Masa anak panti.” “Masa sih Bu. Kan tadi Bu Sumi bilang ke saya anak pungut begitu,” protes Sita karena merasa belum puas dengan jawaban ibunya. “Sudah besuk saya jelaskan lagi ya. Sekarang Sita harus bersiap-siap mengaji kan?” Pagi hari, ketika ibu-ibu ramai membeli sayuran pada (PSK) pedagang sayur keliling, meraka pun berbisik-bisik tentang keberadaan Sita. Percakapan mereka pun terdengar oleh Sita yang sedang berangkat ke sekolah. “Ya itu dia anak pungut yang kemarin memecahkan kaca Bu Sumi.” Mereka pun memperhatikan Sita dengan mata penuh kebencian. “Mari ibu-ibu, permisi,” Sita menyapa mereka dengan sopan. Tatapan mata kebencian mereka tak mampu mengalahkan kesopanan Sita. Bahkan ada yang berani mengatakan pada Sita. “Huh, sok sopan anak pungut itu!” Sita pura-pura tidak mendengar apa yang mereka katakan. Percuma meladeni ibu-ibu yang terlanjur benci padanya. Tak ada gunannya *** Waktu kian merambat. Sita pun tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik dan menarik. Meski demikian, pandangan masyarakat terhadapnya tak berubah. Dengan kebesaran hati Sita menerima perlakuan yang tidak adil padanya. Mungkin kini saatnya Bu Siska menjelaskan asal usul Sita. Dengan penuh pertimbangan yang cukup matang, Bu Siska akhirnya menyampaikan jati diri Sita. “Sit, kini kau sudah cukup dewasa, mungkin saat inilah waktu yang tepat untuk menceritakan siapa sebenarnya dirimu.” Teringat peristiwa tujuh belas tahun yang lalu, dengan mata berkaca-kaca Bu Siska pun menyampaikan asal usul Sita sebenarnya. “Memang benar Sit kau bukan anak Ibu, namun sepenuh hati dan dari hati terdalam Sita tetap menjadi anak Ibu." “Jadi selama ini Ibu berbohong ya? Aku benci sama Ibu.” Sita pun menangis dengan keras, karena merasa dibohongi. “Untuk apa sih Ibu berbohong pada Sita. Lalu Sita anak siapa, Bu? Pengemis, gelandangan, atau anak panti yang diambil oleh Ibu?” “Bukanlah Sit. Sita bukan anak pengemis, pemulung, gelandangan atau anak panti. Ada seseorang yang menitipkan pada Ibu untuk mengasuhmu. Kelak kau akan tahu sendiri.” “Bu, Sita ingin tahu siapa orang tuaku. Mengapa tega membuangku dan tidak mau memelihara aku, anaknya?” “Tujuh belas tahun yang lalu, ada seseorang yang menitipkanmu pada Ibu. Pagi hari ketika kubuka pintu depan, ada sebuah kotak bekas mie instan, di situlah dirimu diletakkan. Berbekal sebuah selimut tipis dan pakaian bayi perempuan seadanya, serta sebuah surat yang disertai alamat. Bayi cantik manis itu tidur pulas, tak sanggup aku membangunkannya.” Bu Siska kembali menangis tak sanggup melanjutkan ceritanya. “Bu, apakah suratnya masih disimpan?” Bu Siska mengangguk pelan. “Di mana Bu sekarang suratnya. Sita pingin sekali bertemu dengan bapak ibuku.” “Sis, mungkin saatnya kini Ibu harus kehilanganmu. Kau meski bukan anak kandungku, tetapi Ibu memperlakukanmu sama seperti anak sendiri. Beberapa kali Ibu keguguran, hingga setua ini Ibu juga belum mengandung. Ibu jadi takut kehilanganmu, Sis,” ucap Bu Siska terbata-bata. Tujuh belas tahun Bu Siska menyimpan rahasia besar ini. Bu Siska akhirnya mengambilkan surat yang sudah disimpannya selama tujuh belas tahun. Diberikannya surat itu pada Sita. Sita menangis membaca surat itu. “Masa sih Bu, hanya karena ramalan orang pintar sampai membuangku? Tak mau mengasuhku! Gila, benar-benar gila. Orang tua macam apa!” Sita memukul-mukul tembok karena emosinya memuncak. “Sudahlah Sit, bagaimana pun mereka adalah orang tuamu yang wajib kau hormati. Sudah carilah alamat itu, semoga belum pindah alamat.” “Ibu, jangan khawatir atau takut kehilangan Sita. Ibu tetaplah jadi ibuku. Gak mungkinlah Sita meninggalkan Ibu.” “Terima kasih, Sit. Ibu jadi senang mendengarnya.” “Besuk Sita akan menemui bapak ibu berbekal alamat ini, Bu.” “Baguslah, Sit. Semoga mereka dapat menerimamu dengan baik.” 1Zuni Awe Suka

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post