Rusmi Oh Rusmi
Minggu pagi yang cerah. Matahari menyapa dengan sinarnya yang cukup menyengat. Setelah menbereskan sarapan pagi, Rusmi bergegas mengambil baju trining dan mengajak Iwan dan Hesti ke lapangan desa untuk lari pagi.
“Mas, aku keluar dulu ya bersama anak-anak,” pamit Rusmi pada suaminya.
“Hem…” jawab Hendra suami Rusmi tanpa menoleh kepadanya.
Dia asyik membersihkan sepeda motor bututnya yang setia menemaninya ke mana pun selama kurang lebih tujuh belas tahun. Waktu yang tidak singkat. Harusnya dia sudah ganti kendaraan seperti teman-teman sekantornya. Mujib, Ronal, Wahyu sudah berapa kali saja ganti sepeda motor, mulai model yang ini itu semua pernah dimiliki.
Hanya Hendara saja yang terlihat ketinggalan zaman . Bukan karena ingin irit, tapi memang kondisi keuangan yang belum mencukupi.
“Assalamualaikum!” sapa Santi teman Rusmi.
“Waalaikum salam warah matullah.”
Hendra menoleh dan menghentikan aktivitasnya. Dia tersenyum dan mempersilakan masuk ke rumah pada tamunya.
“Mari, Mbak silakan masuk.”
Hendra mencuci tangan dan mengelapnya.
“Ini Mbak Santi kan?”
“Iya, gak pangling dengan saya to Mas?”
“Ha … ha … gaklah. Kok tumben Mbak ke sini. Pasti ada hal yang penting. Ada perlu dnegan saya atau Rusmi?”
“Sama saja Mas. Hanya mau nagih utang kok.”
“Utang? Maksudnya utang apa ya Mbak, kok saya kurang paham,” tanya Hendra sedikit bingung.
“Gini Mas. Sebenarnya Rusmi itu punya hutang dengan saya sudah satu bulan yang lalu. Dia berjanji tanggal satu akan dikembalikan, tetapi kemarin minta diundur tanggal lima saja begitu.”
“Hm … begitu. Boleh saya tahu berapa besarnya?”
“Lima ratus ribu, Mas.”
“Hah! Sebesar itu? Untuk apa sih? Kok Rusmi gak pernah cerita ke saya ya. Ada catatannya gak Mbak? Nanti kan saya bisa langsung ngecek.”
“Oh ada kok Mas,” jawab sambil Santi mengeluarkan buku kecil motif batik berisi beberapa nama dan kolom.
Kening Hedra berkerut ketika mengamati catatan dalam buku itu. Tak berapa lama dia mengamati buku itu , langsung diberikannya pada Santi.
“Mbak. Sudah berapa lama istriku sering pinjam uang? Untuk apa? Duh bikin geregetan!”
“Wah sudah lama Mas. Ya sering bilangnya untuk beli ini itu. Katanya uang dari Mas gak mencukupi gitu.”
“Huh!” Hendra mendesah pelan.
Ada sesuatu yang dia simpan.
“Oh ya Mbak jadi ini harus nyicil berapa?”
“Biasalah, Rusmi pinjam lima ratus ribu. Terus ada sedikit jasanya dong. Jadi itu dicicil lima kali pulus jasa gitu.”
“Ya, jadi berapa?”
“Seratus dua puluh. Ini cicilan kedua ya Mas.”
Hendra masuk ke kamar mengambilkan uang yang diminta Santi.
“Ini Mbak.”
“Ya makasih Mas. Sekalian aku minta pamit ya. Salam saja untuk Rusmi,” kata Santi sambil mengemasi buku catatannya.
“Hem.”
Sepulangnya Santi, Hendra merasa ada yang harus dikatakan pada Rusmi.
**
Siang ini Rusmi punya rencana bertemu dengan teman-teman arisannya. Ketika Rusmi minta pamit, dia pun dicegah oleh Hendra.
“Rus, sebentar. Aku ingin bicara.”
“Ada apa sih Mas. Aku keburu ditunggu teman-teman ini,” Rusmi mulai beralasan.
“Rus selama ini apakah aku kurang memberi uang, hingga kau berhutang pada Santi segala, hah?”
“Kurang apa sih kau ini. Untuk apa kau pinjam uang ke sana sini. Untuk pamer, atau sekedar ikut-ikutan teman-temanmu?”
“Mas, aku kan juga butuh komunitas. Ingin bisa bareng-bareng teman. Suntuk terus di rumah.”
“Komunitas? Memang kau punya komunitas apa? Itu yang suka mejeng-mejeng, foya-foya, makan ke sana sini dolan ke sana-sini terus foto diupload di medsos gitu?”
“Huh ibu macam apa kau ini. Kau ini harusnya memberi contoh pada anak-anak jangan malah ikut-ikutan gaya kayak anak muda saja. Ingat Rus! Sadar, kau ini sudah tua. Kau sudah berkepala empat,” cerocos Hendra makin keras.
“Sudah, sudah Mas. Bilang saja jika kau tak setuju. Terus maumu apa?” Rusmi seakan menantang suaminya.
“Kau gak usah ikut komunitas yang gak jelas itu. Makin tua tua kok gak karuan Rus!”
“Memang apa aktivitas di komunitas itu, hah?”
“Ya ngumpul-ngumpul Mas. Masa belajar!”
“Pasti ngrumpi itu. Nambah dosa Rus.”
“Sudah pokoknya aku gak ikhlas jika kau mengikuti komunitas yang gak jelas itu. Suka pamer di medsos, eh gak tahunya hanya uang hutangan!”
“Sudah … sudahlah, Mas. Sebel aku dengarnya,” nada bicara Rusmi meninggi.
Nampaknya dia sekarang mulai marah pada suaminya.
“Hari ini kau kumaafkan, dan jangan ulangi lagi suka berhutang pada orang. Malu aku, Rus, dikira tidak dapat mendidik istri!”
Hendra berlalu.
Rusmi masih dengan emosi yang tinggi tetap menjawab apa yang dikatakan suaminya.
“Suami macam apa itu. Istri punya teman gak boleh. Punya acara gak boleh. Lama-lama aku bisa gila di rumah, Mas!”
Dari belakang Hendra mendengar luapan kemarahan istrinya.
“Terserah!”
“Pokoknya akau bilang terserah. Tapi aku ingin kau tetap jadi ibu yang baik bagi anak-anakku. Jadi istri yang baik buat aku suamimu.”
Kursi di depan tempat duduk Rusmini pun ditendangnya hingga berdecit.
Suaranya mengagetkan kedua anaknya yang sedang bermain di halaman depan.
Iwan dan Hesti lari berhamburan.
“Ada apa Pak, Bu, kok kursinya ditendang?”
Dengan sigap Hendara mencari alasan untuk menjawab pertanyaan kedua anaknya.
“Gak apa-apa. Hanya tadi ada tikus yang lewat dan Bapak berusaha mengejarnya,” jawab Hendra bohong.
“Oh, saya kira ada yang rusak atau apa. Bapak gak marah kan?”
“Gak kok. Bapak capai saja, pingin istirahat sebentar.”
'Ya sudah aku bermain lagi di depan.”
Iwan dan Hesti berlomba menuju halaman rumah.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Wah, gambaran ibu milenium. Tapi kebablasan...
he..iya bu banyak gambaran kayak gini di tengah masyarakat.