Sekelebat Bayangan Hitam
Saking senangnya Dias menonton kesenian kubro, maka di mana pun ada jadwal main, dia tak pernah ketinggalan menyaksikan. Malam minggu besuk kebetulan kesenian itu tampil di tetangga desa. Dias berencana menonton bersama teman sebangkunya yang sama-sama suka juga. Setelah selesai salat isya di musala, Dias menuju rumah Iwan yang berdekatan.
Tak perlu mengendarai sepeda motor, mereka berdua menuju tempat pentas. Biasanya pada tengah malam, kesenian itu memberikan atraksi entah pakai api yang disulut atau atrak bentuk lain.
“Yas, yuk beli makanan kecil. Duh perutku protes, nih,” ajak Iwan yang berbadan gemuk, tetapi tak tahan kelaparan.
“Ok, siap, yuk.”
Keduanya keluar dari kerumunan penonton kesenian kubro dan mencari makanan kecil. Ada beberapa penjual gorengan dan makanan yang direbus, seperti kacang rebus, pisang rebus dan ubi rebus.
“Dah ini saja. Beli pisang dan kacang saja,” pinta Iwan.
“Minumnya gimana?”
“Wedang jahe dibungkus plastic saja ya,” kata Dias bersemangat.
Beberapa saat kemudian, keduanya sudah menempatkan diri mencari posisi yang nyaman sambil ngemil makanan yang dibelinya.
“Bentar lagi atraksi, Yas.”
“Bagus gak ya atraksinya? Jangan-jangan hanya seperti kemarin. Bosanlah jika itu-itu saja.”
“Lihat saja dulu. Mungkin agak beda. Pemainnya kan banyak yang orang baru. Mungkin regenerasi.”
Kesenian kubro merupakan kesenian tarian tardisional yang diiringi lagu solawat atau nasihat dalam bahasa Jawa. Menurut para pendahulu, tarian ini merupakan tradisi baca solawat nabi, namun sekrang lebih berkembang. Kadang ada lagu campur sarinya, meski diubah liriknya. Lirik merupakan nasihat agama.
Iwan dan Dias menonton kubro sampai tengah malam, setelah kantuk menyerang keduanya.
Rumah keduanya berdekatan dan sejalur, sehingga dapat selalu bersama.
Malam minggu yang cukup panjang dan cuaca juga mendukung. Mereka pulang melwati sebuah makam yang terkenal angker. Banyak peristiwa terjadi di luar nalar manusia ketika melewati makam itu, meski sudah berdoa atau mengucapkan salam.
Pernah ada cerita, seorang tukang becak yang lewat jalan itu, entah bagaimana ternyata dituntun ke suatu tempat yang asing. Tahu-tahu sudah siang hari. Ketika ditanya tukang becak tadi seakan dia tidur di ranjang yang empuk di suatu tempat, tak tahunya ternyata hanya semak belukar. Orang yang menemukan juga merasa heran.
Iwan dan Dias sebenarnya juga merasa takut atas kebenaran cerita mistis itu, tetapi apa daya harus melewati jalan itu ketika pulang ke rumah. Saat itu pukul 24.20 menit. Tengah malam mereka baru pulang dari menonton kesenian kubro. Bulan nampak bersinar, karena tanggal dua belas. Makam Puroloyo memang terkenal angker, dan menakutkan. Dias dan Iwan berjalan agak cepat ketika melewati makam itu. Ada rasa deg-degan yang sangat kuat. Makam itu meski terang karena cahaya lampu listrik, namun aroma mistis tercium sejak memasuki kawasan tersebut.
Mereka bergandengan tangan. Keringat dingin pun keluar. Mereka berjalan dipercepat. Dari kejauhan terdengar suara aneh, seperti suara sebuah langkah sandal yang diseret-seret seakan berat melangkah.
“Sret … sret … sret,” suara itu makin membuat hati keduanya miris.
“Yas, kau dengar itu. Suara langkah kaki di belakang kita,” kata Iwan mulai ketakutan.
“Iya, ayo kita berdoa semampunya. Jangan sampai kita ditakuti hantu.”
“Ayat kursi Yas, ayat kursi,” Iwan mengingatkan.
“Iya, baca keras saja, biar makhluk itu mendengar, dan menjauh dari kita.”
Keduanya pun serempak membaca ayat kursi, namun hatinya tetap saja timbul rasa ketakutan.
“Ayo Yas, kita lari saja,” kata Iwan tak sabar.
“Jalan cepat saja gak apa-apa.”
“Suara itu main mendekati kita Yas.”
“Ayat kursi tambah surat-surat pendek, ayo, cepat!”
Tak disangka keduanya dari arah depan sekelebat bayangan hitam mendekati keduanya. Akhirnya keduanya pun menjerit ketakutan dan berlari.
“Hantu …!”
Dias dan Iwan lari tunggang langgang menjauhi bayangan hitam itu.
Dengan napas masih terengah-engah keduanya sampai di perbatasan desa. Mereka rupanya sudah merasa aman dengan sampainya di dekat rumah.
Ternyata bayangan hitam itu masih terus mengikuti Iwan dan Dias.
“Aduh napasku putus Yas. Betul-betul takut saya. Gila bener, lewat makam itu tak berani aku jika sendirian.”
“Yalah. Saya juga sangat takut. Angker sekali makam itu.”
“Apalagi jika malam Jumat Kliwon ya?”
Bayangan hitam itu berkelebat lagi. Keduanya kini langsung berlari dan menuju rumah masing-masing dengan perasaan yang bercampur aduk.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar