Jeritan Seorang Ibu
Seorang ibu mempunyai 2 orang anak laki-laki. Yang besar tinggal di perantauan. Hidupnya sudah sukses. Namun dia jarang pulang, kasih kabarpun dalam hitungan setiap tahunnya tak menentu sesekali dia kirim uang untuk keperluan sang ibu.
Saat ini ibu tinggal bersama anak kedua. Meski tinggal satu atap, ibu tidak mau merepotkan putranya. Karena cucunya banyak, ibu tidak mau bergabung untuk kelangsungan hidupnya. Ibu tetap masak sendiri termasuk soal keuangan.
Ibu sekarang sudah tidak bekerja. Dia hanya mengandalkan kiriman anak pertamanya dari rantau. Tidak mungkin ibu menggantungkan nasibnya pada anak yang kedua. Karena kondisi ekonominya belum stabil.
Lebaran sudah dekat, ibu masih berharap banyak akan kepulangan anaknya yang dirantau.
"Belum ada kabar dari Mas Iwan, Na?" tanyanya padaku.
"Belum Bu. Gimana Ibu mau telpon, saya sambungkan," jawabku.
"Ya sudah, gak perlu. Kemarin sudah telpon adikmu, nunggu cair baru kirim," katanya penuh kecewa.
"Sudahlah, Bu. Tuhan Maha Tahu. Semoga Tuhan melimpahkan rezeki pada Ibu. Buktinya kemarin ibu dapat rezeki nomplok kan. Sementara berhentilah berharap dulu," kataku.
"Bukan begitu,. Na. Ibu kangen banget pada Iwan," sambung ibu.
"Iya, tapi kan ibu tahu sendiri, karakter Mas Iwan," kataku.
Pupus sudah untuk bisa telpon dengan Iwan. Hatinya menangis, menjerit menahan rasa rindu pada Iwan. Di sela-sela menunggu keajaiban dari Iwan.
Semarang, 22 Mei 2020
.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar