Yelvia Septi Mayenti, M.Pd

saya Yelvia Septi MayentiMPd guru Sosiologi Aktif di SMA N 1 Seberida Kabupaten Indra giri Hulu Propinsi Riau memiliki impian meninggalkan Jejak

Selengkapnya
Navigasi Web
KAUM GOYANG & VALIDASI VIRTUAL (Ketika Tubuh Menari, Akal dijual)
File pribadi

KAUM GOYANG & VALIDASI VIRTUAL (Ketika Tubuh Menari, Akal dijual)

KAUM GADJAH GOYANG & VALIDASI VIRTUAL: Sebuah Ode untuk Era Scroll & Syahwat

Selamat datang di zaman di mana tubuh adalah kurikulum wajib dan otak adalah opsi langka. Kita hidup di era ketika etika gugur sebelum sempat ikut ujian, dan harga diri bisa di-cicil 15 detik-an. Tak kenal nama belakangmu? Tak masalah, selama ada filter, ring light, dan komentar “🔥🔥🔥”.

Kita menari, katanya untuk ekspresi diri, padahal algoritma-lah sang koreografer. Kita mengaku "merayakan budaya", padahal kita sedang menggelar pesta pora sisa teknologi yang kehabisan nurani. Dan ketika seseorang berkata, "Lho, ini cuma hiburan kok", saya balas: "Benar, dan Titanic juga awalnya cuma pelayaran santai".

Menurut data tahun 2024—karena kita cinta validasi statistik 71% pengguna medsos Asia Tenggara tak sedang belajar, melainkan lomba menjadi billboard digital. Dari situ, 58% memilih bahasa tubuh sebagai strategi utama, karena ya… otak kadang terlalu berat untuk diangkat.

Anak-anak kita belajar lebih cepat menirukan joget TikTok daripada membaca Pancasila. Dan ketika mereka di-bully atau nilai rapornya membisu, orang dewasa berkata, “Yang penting happy.” Padahal yang mereka cari bukan bahagia, tapi tepuk tangan dari akun tak bernama.

Kita membangun zaman di mana penyanyi tak lagi menggubah lagu, tapi jebakan goyang, dan live streaming jadi ladang jualan waktu dan paha kiri. Ini bukan karena bodoh, tapi karena sudah terlalu sering dibiasakan tak sadar.

Sementara itu, guru sejati kalah pamor dari guru joget, dan buku pelajaran kalah cepat dari scroll tanpa tujuan. Jangan heran logika mati muda, karena otak kita lebih familiar dengan beat daripada debat.

Lalu, agama pun diportal. Ada yang sibuk memantau celana dalam dalam khutbah, tapi lupa jemaahnya sedang jadi latar konten “dance challenge” demi hadiah stiker.

Di layar kaca? Tak ada yang lebih viral daripada kegoblokan yang dikemas apik. Rating naik, akal turun. Politisi pun joget demi suara, dan berkata, “Ini strategi kekinian!”—padahal cuma nyasar ke algoritma yang salah kaprah.

Dan ketika kritik datang? Mereka minta sopan dan berlapis emas, seolah luka digital tak boleh disentuh kecuali oleh dokter berjas gliter. Mereka tak tahan jika ilusi mereka disentil, tapi mereka tahan melihat anak-anaknya menari di depan kamera untuk akun tak dikenal.

---

Ini Solusi? Bukan Balsem Viral, tapi Vitamin Nalar:

1. Literasi digital, bukan literasi dansa. Karena yang viral belum tentu bernilai, dan yang estetis belum tentu etis.

2. Ajarkan anak bukan cuma berani tampil, tapi kapan dan untuk siapa. Panggung itu tempatnya bukan siapa yang nekat, tapi siapa yang paham nilai.

3. Media sosial bukan rumah ibadah validasi. Jangan tersesat di labirin like dan lupa pintu keluar yang bernama martabat.

4. Joget itu boleh, tapi jangan lupa isi. Kalau tidak, dia hanyalah promo diskon tubuh yang dibayar atensi recehan.

5. Bangun ruang kritik yang sehat. Karena kalau kita tak bisa dikritik, kita cocoknya hidup di cermin, bukan di masyarakat.

Perubahan itu memang berat. Tapi hei, video 15 detik pun bisa merusak martabat seabad. Bukan karena kita dijajah, tapi karena kita sendiri rela menjadi tontonan dalam drama digital yang tak pernah kita tulis naskahnya

Jadi jika hari ini kamu masih menyebut ini "ekspresi", mungkin kamu perlu tanya ulang: “Apakah aku sedang menari... atau sedang mengantar masa depan ke jurang sambil tersenyum?”

BELILAS, awal Mei 2025

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post